PARBOABOA, Jakarta - Wabah infeksi bakteri pemakan daging atau Streptococcus Pyogenes sedang melanda seluruh wilayah negara Jepang.
Berdasarkan data dari Institut Nasional Penyakit Menular Jepang (NIID), jumlah kasus terus meningkat dengan total 977 kasus sindrom streptococcal toxic-shock syndrome (STSS) yang tercatat sejak Januari 2024 lalu.
Bakteri ini dikenal sebagai "pemakan daging" karena mampu menghancurkan kulit, lemak, dan jaringan otot dalam waktu singkat.
Gejala awal infeksi yang termasuk dalam Group A Streptococcus (GAS) meliputi demam, nyeri, dan radang tenggorokan.
Namun demikian, infeksi ini dapat berkembang dengan cepat dan mengancam nyawa melalui kegagalan organ dalam hitungan hari.
Infeksi yang parah terjadi ketika bakteri memasuki aliran darah dan jaringan dalam yang sanggup memproduksi eksotoksin dan merusak sel serta jaringan tubuh.
Kelompok usia paruh baya serta orang yang berusia di atas 50 tahun lebih mudah terkena STSS.
Setelah gejala awal muncul, kondisi pasien dapat memburuk dengan cepat dalam 24 hingga 48 jam.
Pakar penyakit menular dari Tokyo Women’s Medical University, Ken Kikuchi menjelaskan bahwa sebagian besar kematian terjadi dalam 48 jam.
Saat pasien merasakan kaki mereka bengkak di pagi hari, lanjut Ken gejala tersebut dapat menyebar ke lutut di siang hari dan mengancam nyawa mereka dalam waktu 48 jam.
Meskipun demikian, Kementerian Kesehatan Jepang belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait kasus STSS.
NIID menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi bentuk Streptococcus yang parah dan mendadak, namun mekanismenya belum sepenuhnya dipahami.
Wabah infeksi ini juga terjadi bertepatan dengan ancaman penyakit musim panas.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo mengimbau warga negara Indonesia (WNI) di Jepang untuk menjaga imunitas tubuh dengan pola makan sehat, minum banyak air putih, serta melindungi diri dari sengatan panas.
Tanggapan Kemenkes
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia menyatakan bahwa belum ada laporan kasus bakteri pemakan daging di Indonesia.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi membenarkan Jepang sedang dilanda infeksi STSS yang disebabkan oleh bakteri streptococcus pyogenes kelompok A.
Nadia menambahkan bahwa bakteri ini dapat menular melalui pernapasan dan droplet dari penderita.
Meski kasus STSS dapat berakibat fatal dengan risiko sepsis dan kegagalan multi organ, gejala biasanya ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu singkat.
Sejak 1999, Jepang telah mencatat kasus infeksi streptokokus dalam sistem pemantauan mereka.
Pada 2023 lalu, tercatat 941 kasus, dan jumlah tersebut meningkat menjadi 977 kasus pada Juni 2024.
Meskipun berdampak mengkhawatirkan, tingkat penyebaran STSS lebih rendah dibandingkan COVID-19.
Masyarakat disarankan untuk terus menjalani gaya hidup sehat, menggunakan masker ketika sakit, dan rutin mencuci tangan.
"Kebiasaan baik yang sudah terbentuk selama pandemi COVID-19, seperti mencuci tangan dengan sabun dan menggunakan masker, sangat penting untuk terus dijaga," ujar Nadia.
Saat ini, tidak ada pembatasan perjalanan dari dan ke Jepang terkait STSS.
Menurut laporan WHO mengenai peningkatan kasus streptokokus Group A invasif (iGAS) di Eropa pada Desember 2022 lalu, tidak ada rekomendasi pembatasan perjalanan ke negara-negara yang terdampak.
Adapun pengobatan STSS dilakukan dengan antibiotik, namun hingga kini belum ada vaksin khusus untuk mencegah penyebaran bakteri pemakan daging tersebut.
Editor: Defri Ngo