PARBOABOA, Jakarta – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan bahwa peristiwa pematokan lahan di Pulau Rempang yang dilakukan personel gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP pada 7 September 2023 lalu, merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dari hasil investigasi YLBHI yang tergabung dalam Solidaritas Nasional untuk Rempang, ditemukan bahwa pematokan itu dilakukan dengan pengerahan pasukan berlebih sehingga mengakibatkan tindakan kekerasan terhadap warga.
“Setidaknya terdapat 60 kendaraan yang dikerahkan menuju lokasi di tanggal 7 September 2023 disertai dengan setidaknya 1.010 lebih personel,” ujar Pengurus YLBHI Bidang Advokasi dan Jaringan, Edy Kurniawan, Senin (18/9/2023).
Menurut Edy, pengerahan personel secara berlebihan tidak sesuai dengan asas profesionalitas dan masuk akal sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Lebih lanjut, Edy menjelaskan, bentuk-bentuk pelanggaran HAM pada peristiwa tersebut di antaranya penembakan gas air mata di dekat SDN 24 dan SMPN 22 Galang yang mengakibatkan ketakutan, hingga luka fisik pada anak-anak.
Padahal menurutnya, dari keterangan guru sekolah, mereka sudah mengimbau aparat agar tidak menembakkan gas air mata ke arah sekolahan, tetapi tidak dihiraukan.
Edy menjelaskan, dalam peristiwa 7 September itu, terjadi penangkapan sewenang-wenang terhadap 8 masyarakat yang menggelar aksi protes penolakan pematokan lahan.
“Penangkapan massa aksi kami anggap sebagai bentuk kriminalisasi masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya," tegasnya.
Padahal, menurut Edy, pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 secara jelas menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Belum lagi, kata Edy, warga di 16 kampung tua Pulau Rempang diusir secara perlahan atas nama relokasi. Warga diminta untuk mendaftarkan dirinya serta membawa bukti-bukti kepemilikan tanah dari tanggal 11-20 September 2023 di dua tempat yakni kantor Kecamatan Galang dan Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI).
“Sosialisasi relokasi itu hanya dilakukan satu arah, bukan partisipasi kepada warga, dan dilakukan dua kali dalam beberapa bulan terakhir. Dan, akhirnya warga ‘dipaksa’ mendaftar ke posko,” ucapnya.
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya menyebut bahwa pasca peristiwa 7 September itu aparat gabungan terus berjaga-jaga di perkampungan warga.
Dari hasil pemantauan, kata Dimas, setidaknya terdapat 5 posko penjagaan di Pulau Rempang, baik di Jalan Trans Barelang hingga daerah Sembulang, yang dijaga oleh sekitar 20-30 aparat gabungan di masing-masing posko.
"Kehadiran aparat membuat warga ketakutan, apalagi mereka rutin berpatroli di Pulau Rempang tanpa alasan jelas,” papar Dimas.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City juga berpotensi merampas ruang hidup masyarakat. Semestinya, kata Dimas, perusahaan harus memperhatikan, memastikan jaminan, dan perlindungan bagi masyarakat yang terdampak.
Menurut Dimas, negara dalam proyek ini telah gagal melaksanakan kewajiban melindungi rakyat dari tindakan pihak ketiga.
“Negara lewat aparat gabungan justru menjadi perpanjangan tangan perusahaan dan mengabaikan prinsip-prinsip HAM,” tegasnya.
Atas dasar investigasi tersebut, Solidaritas Nasional untuk Rempang menyimpulkan bahwa peristiwa kekerasan di Rempang pada 7 September lalu harus dinyatakan sebagai pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Solidaritas Nasional untuk Rempang mendesak Komnas HAM untuk segera menetapkan peristiwa Rempang sebagai pelanggaran HAM sehingga dapat diusut dan diproses di pengadilan HAM.
Adapun investigasi ini dilakukan pada 11-13 September lalu dengan pengumpulan data melalui observasi dan wawancara serta analisis.
Untuk diketahui, Solidaritas Nasional untuk Rempang tergabung dari berbagai organisasi sipil, seperti YLBHI, KontraS, Walhi, Amnesty International Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Trend Asia.
Editor: Andy Tandang