PARBOABOA, Pematang Siantar - Maraknya alih fungsi lahan pertanian untuk kebutuhan perumahan di Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara terus menuai sorotan.
Terbaru, pengamat pertanian Sumatra Utara, Roeskani Sinaga menduga ada campur tangan pejabat di lingkup Pemko Pematang Siantar terkait pemberian izin alih fungsi lahan tersebut.
Apalagi selama ini, peraturan terkait alih fungsi lahan tidak dijalankan dengan ketat oleh Pemko Pematang Siantar.
"Sebenarnya yang bisa menyaring apakah bisa dialihfungsikan atau tidak adalah pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat," ungkapnya kepada PARBOABOA, Jumat (20/10/2023).
Akademisi Universitas Simalungun (USI) itu meminta Pemko Pematang Siantar mengambil langkah tegas dengan berpedoman pada Undang-Undang UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
"Aturan itu mempertegas larangan alih fungsi lahan yang strategis untuk pertanian, sehingga tidak berimbas pada produktivitas hasil produk pertanian yang stagnan," ungkap Roeskani.
Ia mengatakan, banyaknya petani yang mengalihfungsikan lahan pertaniannya, bisa jadi karena ketidaksanggupan petani melakukan budidaya pertanian yang harganya juga tidak murah.
Mensiasati itu, lanjut Roeskani, saatnya Pemko Pematang Siantar mencanangkan pertanian modern, yang memadukan berbagai kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan dan ilmu lainnya untuk memaksimalkan potensi lahan.
"Di sinilah peran universitas dan pemerintahan sebagai pemberi kebijakan berkolaborasi memberikan bimbingan dan arahan menuju pertanian modern tersebut, supaya di kemudian hari tidak terjadi krisis pangan," kata dekan di Fakultas Pertanian USI itu.
Roeskani juga mengingatkan Pemko dan DPRD Pematang Siantar segera menuntaskan pembahasan dan mengesahkan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) tahun 2021-2041 yang selama ini berimbas pada kekhawatiran masyarakat atas desain tata ruang kota untuk masa depan.
"Jadi setiap perubahan atas bangunan atau penambahan dan lainnya disesuaikan dengan desain dan perda tersebut. Sebab melihat kondisi saat ini harga beras sudah mengalami kenaikan karena El Nino, termasuk juga penurunan luas lahan untuk padi dan palawija lainnya," tambahnya.
Meneruskan sorotan pengamat pertanian izin alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman, PARBOABOA mencoba menghubungi Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP), Christina Risfani Sidauruk. Namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada jawaban dari yang bersangkutan.
Masih Tunggu Penegasan Batas Wilayah
Sementara menanggapi tak kunjung dibahasnya raperda RTRW Pematang Siantar 2021-2041, Kepala Badan Perencana dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dedi Idris Harahap mengakui pembahasannya memerlukan waktu yang panjang.
Salah satunya, kata Dedi, masih menunggu hasil penegasan batas yang diajukan ke dua kepala daerah. Setelah itu, baru akan diajukan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk dilakukan revisi atas Permendagri Nomor 119 Tahun 2022 Tentang Batas Daerah Kabupaten Simalungun dengan Kota Pematang Siantar Provinsi Sumatra Utara.
"Untuk saat ini kita menunggu hasil tembusan yang kami berikan pemerintah provinsi, jika rekomendasi sudah dikeluarkan dari mereka, penandatanganan antarkepala daerah akan segera dilakukan, tahapannya masih panjang," katanya kepada PARBOABOA.
Jika Raperda RTRW disahkan, kata Dedi, Pemko Pematang Siantar akan memberikan ruang untuk investasi pada sektor seperti kawasan hortikultura, perkebunan, perdagangan dan jasa, serta kawasan permukiman, perkantoran dan pendidikan.
Namun, lanjut dia, Pemko Pematang Siantar tidak akan melakukan pembiaran terhadap kawasan yang dianggap tidak produktif, dikarenakan akan menjadi kawasan permukiman atau perdagangan dan jasa.
"Lain halnya pada kawasan hortikultura yang produktif, kami masukkan pada status LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan). Namun kalau sudah disahkan, maka kawasan yang menerima status tersebut tidak boleh beralih fungsi," imbuh Dedi Idris Harahap.
Sebelumnya, Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, luas lahan pertanian dan sawah di Pematang Siantar berkurang setiap tahunnya. Jika dirinci, pada 2022, lahan pertanian seluas 2.155 hektare, menurun dibandingkan 2021 seluas 2.483 hektare dan pada 2020 seluas 2.391 hektare.
Beberapa penyebabnya yaitu maraknya pembangunan properti atau real estate di Pematang Siantar. Sebagian besar dari pembangunan perumahan itu dilakukan di atas lahan pertanian.
Editor: Kurniati