parboaboa

Mengenal Sosok Andreas Simangunsong, Guru dan Penginjil di HKBP Ressort Pematang Siantar

Putra Purba | Daerah | 18-08-2023

Makam Andreas Simangunsong, sosok guru dan penginjil HKBP di Jalan Bahagia, Kota Pematang Siantar, terdapat tulisan Dison do Maradian, Radja Ihoetan. (Foto: PARBOABOA/Putra Purba)

PARBOABOA, Pematang Siantar - Nama Andreas Simangunsong merupakan sosok yang tak bisa dilepaskan dari HKBP Ressort Pematang Siantar di Sumatra Utara.

Meski dokumen dan catatan sejarahnya sangat terbatas, namun masyarakat Pematang Siantar-Simalungun mengenal sosok Andreas Simangunsong sebagai guru dan penginjil di HKBP Ressort Pematang Siantar.

"Agak sulit kalau mencari catatan sejarah ini, karena dokumennya terbatas. Tidak banyak yang tahu ceritanya itu. Sosok Andreas Simangunsong kan hanya alat (pegawai) kolonial Belanda saja," kata sejarawan Universitas Simalungun (USI), Jalatua Habungaran Hasugian, kepada PARBOABOA, Kamis (17/8/2023).

Jalatua lantas menjelaskan awal mula masyarakat Pematang Siantar-Simalungun mengenal Andreas Simangunsong.

Pada 1911, Belanda membangun perkebunan teh di Simalungun di atas lahan konsesi dari Raja Simalungun. Saat itu, Belanda kesulitan mencari pekerja, karena orang Simalungun enggan bekerja untuk Belanda, karena merasa memiliki tanah luas yang harus digarap.

Mengatasinya, Belanda kemudian mendatangkan pekerja beretnis Tionghoa dan India dari semenanjung Malaka dengan sistem kontrak (contract coolie).

"Waktu itu, teh menjadi komoditas paling penting setelah karet, tembakau dan kelapa sawit. Setelah habis masa kontraknya, banyak pekerja Tionghoa dan India di masa itu tidak memperpanjang kontraknya. Mereka meminta kepada Belanda untuk diizinkan menjadi pedagang bahan makanan atau pengelola tempat hiburan bagi kuli kebun," ujarnya.

Di masa itulah perubahan besar-besaran terjadi di Simalungun dengan ditandatanganinya Perjanjian Pendek antara pemerintah kolonial Belanda dengan tujuh kerajaan besar Simalungun, yakni Siantar, Tanah Jawa, Dolok Silou, Panei, Raya, Purba dan Silimakuta.

Dengan perjanjian itu, Simalungun sah menjadi daerah jajahan Belanda dan membuat hak kepemilikan tanah banyak yang mengalir ke berbagai perkebunan swasta.

"Hal pertama yang diubah melalui perjanjian ini oleh Pemerintah Hindia Belanda yakni didatangkan orang-orang Jawa ke Simalungun untuk kepentingan perkebunan sebagai imigran yang pertama kali yang dipekerjakan sebagai kuli kontrak, mengisi kekosongan pekerja dari Simalungun. Kemudian, kedatangan orang-orang Jawa semakin meningkat dipicu tingginya harga komoditas karet pada 1911-1912, sehingga dibutuhkan banyak pekerja untuk peningkatan produksi. Kegiatan mendatangkan pekerja dari Jawa berlangsung sampai 1920," jelas Jalatua.
 
Demi menghindari krisis pangan, Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mendatangkan imigran Toba dalam jumlah besar ke Simalungun.

Jalatua mengatakan, banyak pendatang warga Toba dari Tapanuli, yang masuk ke Simalungun berkat ajakan Andreas Simangunsong, seorang zending dan pegawai Raja Purba, yang diangkat Pemerintah Belanda sebagai kepala urusan untuk migrasi orang Toba (Hoofd der Tobanezen).

"Bahwa dia seorang Guru dan juga pernah membantu proses penginjilan di Pematang Siantar sehingga dia dimakamkan di kompleks HKBP tersebut sebagai bukti atas usahanya," katanya.

Pada tahun 1914, Belanda kemudian membentuk kantor urusan orang Toba yang mengatur imigrasi mereka ke Simalungun, bernama Imigratie Buerau der Tobanezen, yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan migrasi dan membangun sarana irigasi yang dapat mengairi persawahan seluas 35.540 hektare di Sidamanik dan Tanah Jawa pada 1915-1930.

"Dia (Andreas Simangunsong) ditugaskan menjalankan Biro Urusan Migrasi Toba untuk mengatur proses perpindahan orang-orang Batak Toba. Sebab pemerintah Belanda begitu menghargai keberadaan imigran Toba," kata dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Simalungun tersebut.

Dengan demikian, orang Batak Simalungun, Toba, Tionghoa, dan India telah tinggal di satu kawasan sehingga memungkinkan mereka untuk berinteraksi. Dengan orang Jawa dan Batak Toba datang secara bergelombang dalam jumlah yang masif.

Makam Andreas Simangunsong di komplek HKBP Ressort Pematang Siantar tidak terurus, dipenuhi semak dan ilalang. (Foto: Parboaboa/Putra Purba) 

Lanjutnya, Jalatua menjelaskan sampai tahun 1938, sepertiga dari seluruh tanah Simalungun telah menjadi perkebunan asing, dan jumlah orang Jawa dan Batak Toba yang bekerja di Simalungun telah melampaui jumlah seluruh orang Simalungun. Hal ini ditandai menjelang tahun 1920, sudah 26.000 jiwa orang Batak Toba yang bermukim di Simalungun.

"Gelombang besar orang Toba dan orang Jawa ke Simalungun membuat penduduk asli Simalungun menjadi minoritas. Orang asli Simalungun tersisih ke daerah Simalungun atas (Pematang Raya), sedangkan Simalungun bawah (Pematang Siantar hingga Pematang Bandar) didominasi oleh penduduk Toba dan Jawa, sehingga macam-macam kalau soal marga yang datang ke wilayah Simalungun. Sebab tidak ada lagi wilayah kekuasaan secara formal diberikan," timpalnya.

Belum lagi, atas kemahiran Orang Toba dalam pertanian di lahan basah, imigran Toba diberi lahan-lahan khusus (kampung) untuk bermukim dan bertani. Salah-satunya adalah lahan seluas 2000 hektare di daerah Bah Korah I dan Bah Korah II.

"Orang Toba yang bermigrasi tak sepenuhnya adalah petani, sebagian dari mereka adalah lulusan sekolah-sekolah Kristen yang didatangkan ke Simalungun untuk bekerja sebagai penginjil, guru, staf perkebunan dan pegawai pemerintahan. Hal ini menjadi kecemburuan sosial bagi warga Simalungun sendiri," tuturnya.

Ditolak di Tanah Simalungun Hanya Cerita dari Mulut ke Mulut

Jalatua melanjutkan, terjadi pergolakan dominasi Batak Toba di Simalungun dimana masyarakat Toba menolak status tunduk kepada raja-raja Simalungun.

"Sebab, di daerah asal (Toba), kecenderungan rakyat diperintah langsung oleh kolonial Belanda, tanpa perantaraan raja. Para imigran Toba menyatakan keberatan terhadap status mereka yang berada di bawah raja-raja yang belum beragama (heiden) ataupun beragama Islam dan masih rendah pendidikannya di Simalungun. Sebaliknya, pengangkatan Andreas Simangunsong sebagai kepala orang Toba (Hoofd der Tobanezen), tidak dapat diterima raja-raja di Simalungun," katanya.

"Ada juga yang mengatakan amarahnya orang Simalungun juga ketika mobil miliknya (Andreas Simangunsong) dipasangi bendera kuning, hal yang lazim dipakai pada mobil raja-raja Simalungun. Tindakan ini dianggap sebagai hal yang melecehkan kedudukan para Raja Simalungun," tambah Jalatua.

Ia menambahkan, masyarakat Toba memandang Andreas Simangunsong sebagai raja di samping ketujuh raja Simalungun. Sentimen antara Toba dan Simalungun juga membesar karena banyak orang Simalungun yang mengaku dirampok ketika melewati kampung-kampung imigran Toba.

"Namun, hanya karena dia (Andreas) perpanjangan tangan Belanda untuk mengurusi perpindahan migrasi orang Toba aja, makanya dianggap dan disalahartikan statusnya sebagai kepala biro (Hoofd der Tobanezen) sebagai "raja" sama orang-orang yang diurusnya. Belanda enggak ada memberikan gelar itu, itu hanya gelar-gelar sebutan orang-orang Batak Toba aja, bukan gelar resmi. Namun, ini jadi peluang bagi pemerintah Belanda, yang sifatnya kan selalu mengadu domba," tegasnya.

Kondisi-kondisi penolakan di antara masyarakat itu tidak memiliki bukti yang kuat.

"Kalau dibilang melecehkan raja-raja di Simalungun tidak benar juga, karena dia juga pernah menjadi pegawai Kerajaan Purba. Enggak pernah ada dokumen otentik soal itu (penolakan masyarakat Simalungun), baik foto maupun catatan sejarah yang lain, hanya ada cerita turun temurun dari orang tua bahwa leluhur mereka pernah menolak statusnya, namun sampai saat tidak ada buktinya," ungkapnya.

Jalatua berharap dalam catatan sejarah yang bisa ditemukan yang menunjukkan perannya dalam sejarah pembangunan peradaban di wilayah Pematang Siantar-Simalungun.

"Nilai historisnya memang minim, namun kita coba gali lagi ada tidak dokumen otentik yg menyatakan beliau resminya sebagai apa di wilayah Pematang Siantar-Simalungun ini, ini perlu dikaji lebih perannya dalam sejarah pembangunan peradaban disini (Pematang Siantar-Simalungun)," imbuhnya.

Saat ini makam Andreas Simangunsong di komplek HKBP Ressort Pematang Siantar tak terurus. Makamnya penuh semak dan ilalang.

Editor : Kurniati

Tag : #andreas simangunsong    #penginjil    #daerah    #guru    #hkbp pematang siantar    #simalungun    #berita sumut   

BACA JUGA

BERITA TERBARU