PARBOABOA - Heri Sofyan, 45, caleg DPRD Kota Bekasi Dapil 2 dari Partai Buruh tidak punya banyak uang untuk maju Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024. Pria yang tinggal di Cakung ini bahkan menyebut dirinya sebagai caleg dhuafa.
Heri adalah salah satu caleg yang tidak mengandalkan uang besar di tengah hiruk pikuk mahar dan biaya kampanye yang tinggi. Dia tidak mengandalkan uang sebagai modal politiknya, sama sekali tak menyetor uang sebagai mahar politik kepada Partai Buruh. Bahkan, dia didorong oleh buruh di Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) untuk nyaleg.
Gajinya sebagai pengurus serikat hanya sekitar Rp 4 juta, pas-pasan untuk menghidupi keluarga. Modal yang Heri punya adalah tekad dan pertemanan. Para buruh itu patungan untuk memodali Heri maju Pileg.
Saat awal mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bekasi, Mei lalu, Heri dimodali oleh buruh untuk ongkos memenuhi syarat administrasi pencalonan.
Ia total menghabiskan uang sebesar Rp1 juta untuk membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), cek bebas narkoba, membuat surat bebas pidana dari pengadilan, hingga cek kesehatan jiwa di rumah sakit.
“Kita mengajak teman-teman dekat buat patungan, ada yang ngasih Rp 100 ribu,” ujar Heri kepada Parboaboa.
Tak hanya itu, Heri juga mempersilahkan teman-temannya membuat sendiri alat peraga kampanye seperti baliho dan poster. Sebab, ia tak punya uang untuk memodali itu semua.
Ia hanya bisa menjanjikan akan memulangkan modal kampanye teman-temannya itu dalam bentuk keberpihakan pada buruh jika terpilih kelak.
“Itu kwitansinya kita kumpulkan, nanti kalau kita menang kita ganti. Tapi, kalau kalah ya jadi pembelajaran—ikhlasin,” ujarnya.
Solidaritas pertemanan menjadi satu-satunya modal Heri untuk mengimbangi kekuatan finansial caleg lain dari partai besar.
Ia meyakini kedekatannya dengan buruh bisa membawanya melenggang ke kursi parlemen. “Yang paling penting kita pikirkan ada anggota yang jumlahnya banyak kemudian mereka merasakan selama ini aku dibela oleh serikatku pada saat aku berkasus, baik itu persoalan PHK maupun upah.”
Menurut Heri, pertemanan menjadi modal kuat ketimbang uang. Ia mengandalkan strategi kampanye door to door, yang mana akan menyentuh langsung secara personal.
Heri akan menyosialisasikan ide dan gagasannya sebagai caleg kepada buruh secara langsung. Nantinya, ia mengajak setiap buruh mendukung dirinya, kemudian buruh itu diminta mengajak keluarga dan tetangga sekitarnya.
“Kita kampanyenya lewat personal sih. Diorganisir secara personal. Jadi nggak perlu modal uang banyak. Lebih dahsyat itu personal touch, organisir secara door to door itu mengurangi biaya baliho dan stiker,” jelasnya.
Ia pun menyadari, keterbatasan uang membuat dirinya harus bekerja keras meluangkan waktu berkeliling menemui warga dan buruh. Dalam seminggu, Heri selalu berkeliling menemui warga.
“Kalo kita punya uang ya tinggal kasih aja warga Rp100, nanti tinggal bilang, hey pilih aku ya.”
Waluyo Ribowo Mengandalkan Rekan Sesama Buruh
Waluyo Ribowo, 41, tidak jauh berbeda dari Heri. Caleg DPRD Kabupaten Bekasi ini tak punya amunisi besar untuk mengarungi Pemilu 2024.
Pria yang bekerja di pabrik kardus di kawasan industri MM2100 ini hanya mengandalkan basis serikat buruh saja. Gajinya pas-pasan untuk membiayai anaknya yang masih sekolah.
“Basis massa serikat buruh, pertemanan yang luas. Apalagi SPSI sendiri punya anggota yang banyak, kita sama-sama berjuang untuk kepentingan buruh,” ujar Ribowo kepada Parboaboa.
Ia harus merogoh kocek sendiri untuk biaya pencalonan. Untuk biaya syarat administrasi saja dia menghabiskan uang Rp 800 ribu. Itu digunakan untuk mengurus SKCK, surat bebas narkoba, surat bebas pidana, dan surat kesehatan.
Untuk kebutuhan kampanye nanti, Bowo mengandalkan jaringan pertemanan. Ia akan meminta teman sesama buruh untuk patungan.
“Jadi, saling bantu baik itu teman serikat dan juga yang ada di Partai Buruh. Kalau kita punya uang sendiri ya pakai uang sendiri. Kalau nggak ada, ya didukung dari kawan-kawan,” ucapnya.
Patungannya tak hanya berupa uang, juga tenaga. Misalnya, Bowo meminta temannya yang mempunyai usaha percetakan untuk membuat poster kampanye, tetapi hanya membayar biaya bahan saja.
“Jadi, dari teman-teman ada yang punya usaha percetakan. Ongkos bahan ajalah, tenaga gak usah dihitung.”
Selain solidaritas, Bowo juga bermodalkan tekad untuk memperbaiki kesejahteraan buruh dan warga. Ia bertekad mengawal Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bekasi—jumlahnya Rp 6,6 triliun tahun 2023—agar maksimal digunakan untuk kebutuhan warga.
Bowo menyoroti fasilitas publik di desanya, Jatisampurna yang juga menjadi Dapil 1 tempatnya bertarung di Pileg.
“Desa saya baru sekitar 8 tahun lalu itu tersentuh pembangunan, tadinya terisolasi. Banyak kebutuhan masyarakat di situ masih minim. Banyak hal yang memang tertinggal,” ujarnya.
Dia mencontohkan, di desanya jumlah sekolah negeri sangat minim. Hanya 1 banding 10 dengan sekolah swasta yang biayanya mahal. Padahal, mayoritas warga di sana merupakan buruh pabrik yang gajinya hanya Rp 5,1 juta.
“Ini menjadi masalah, buruh ingin anaknya sekolah gratis, tapi sekolah negerinya terbatas, jadi mau nggak mau warga menyekolahkan anaknya di swasta yang bayarannya itu hampir 20 persen dari UMK (upah minimum kota) kita,” jelas Bowo.
Dalam hal fasilitas kesehatan, wilayah Bowo juga tertinggal. Menurutnya, fasilitas kesehatan di sana masih sangat jarang. Klinik yang bisa mengcover BPJS di desanya tidak ada.
Warga jika ingin berobat dengan BPJS harus menunggu pagi ke Puskesmas kecamatan yang jaraknya jauh atau ke Puskesmas desa yang bukanya setiap hari Rabu dan Kamis saja.
“Jadi, anggaran bisa diserap untuk kebutuhan warga. Terus akses jalan. perbaikan layanan kesehatan, khususnya ambulance. Itu ambulance cuma ada satu di setiap desa, itu pun tidak terawat, sementara kalau ada keadaan genting karena sakit harus dibawa ke kota,” tegas Bowo.
Menakar Peluang Caleg Grassroots
Bukan cerita baru bahwa untuk dapat duduk sebagai anggota legislatif membutuhkan biaya tidak sedikit. Riset dari Prajna Research Indonesia menyebutkan, caleg DPRD tingkat kabupaten/kota saja harus merogoh kocek Rp250 juta hingga Rp300 juta.
Sementara untuk caleg DPRD tingkat provinsi minimal harus punya modal uang Rp500 juta – Rp1 miliar. Caleg DPR RI minimal mengeluarkan uang Rp1 miliar – Rp2 miliar.
Angka di atas itu hanya modal untuk kampanye, seperti membuat kaos, bendera, baliho, dan alat peraga kampanye lainnya.
Belum lagi biaya mahar politik. Tak jarang partai politik mematok harga untuk para caleg yang ingin diusung maju pada kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Persoalan mahar politik bukan isapan jempol belaka. Para caleg pun mengaku dimintai sejumlah uang oleh partai pengusungnya sebagai mahar politik.
Misalnya, kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kota Bandar Lampung, Nely Farlinza, mengaku dimintai mahar sebesar Rp70 juta untuk penentuan nomor urut sebagai bacaleg DPRD Bandar Lampung.
Eks Ketua DPD NasDem Kabupaten Indramayu, Husen Ibrahim juga mengaku diminta uang mahar Rp3,5 miliar untuk menjadi caleg DPR RI nomor urut 2.
Begitu juga dengan kader Partai Demokrat, Didin Supriadin yang mengaku diminta uang Rp500 juta untuk mendapatkan nomor urut 1 sebagai caleg DPR RI Dapil Kota/Kabupaten Tasikmalaya.
Tidak ingin terjerumus dalam politik uang itu, muncul caleg dari kelas bawah yang memiliki kemampuan uang terbatas, tetapi punya visi yang tidak kalah bagus. Lalu, bagaimana peluang mereka untuk menang dalam pertarungan politik itu?
Pengamat politik Ujang Komarudin masyarakat kelas bawah juga mempunyai hak untuk masuk ke parlemen baik itu di DPR RI maupun DPRD provinsi dan kota/kabupaten. Dia pun mendorong masyarakat kelas bawah agar berani mencalonkan diri di Pileg 2024.
“Tentu ini harus didorong dong, masa parlemen atau anggota DPRD provinsi atau kabupaten/kota diisi oleh orang yang beruang saja. Masa para pengusaha terus yang mengisi wajah parlemen kita di pusat maupun daerah, ya mesti diisi orang-orang yang berlatar belakang kelas bawah atau grassroots,” jelas Ujang kepada Parboaboa.
Dia menilai bahwa caleg grassroots yang tidak punya modal politik besar bisa saja menang Pileg dan melenggang ke parlemen.
Namun, Ujang menilai peluang itu bisa setengah-setengah atau mencapai 50 persen. Bisa menang dan juga tentu tumbang. Yang menjadi persoalan, menurutnya, di tengah sistem politik Indonesia yang terlalu liberal banyak memunculkan money politic. Sehingga itu menjadi tantangan bagi caleg yang tak punya uang.
“Saya sih melihatnya agak berat kalau tidak punya uang, kalau nggak punya isi tas. Tetapi itu tadi, peluang menang selalu ada, tapi agak berat dibandingkan caleg-caleg yang punya kantong lebih tebal,” jelas dosen Universitas Al Azhar Jakarta tersebut.
Lebih lanjut, Ujang menjelaskan, masyarakat Indonesia masih pragmatis dalam berpolitik. Kebanyakan pemilih cenderung memilih caleg berdasarkan siapa yang memberikan uang. Bahkan, kata dia, yang memberi uang saja belum tentu menang apalagi yang tidak memberi.
“Kan ini fakta dan realita sosiologis dan psikologis masyarakat kita di lapangan, saya melihat peluang menangnya agak sulit,” ujarnya.
Sehingga menurutnya, caleg tak berduit harus bekerja lebih keras untuk memenangkan Pileg melawan caleg-caleg lain yang menebar uang di masyarakat.
Padahal, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, telah melarang praktik money politic. Pada Pasal 523 ayat (1-3) diatur sanksi pidana yang bervariasi mulai dari paling ringan 2 tahun hingga terberat 4 tahun penjara tergantung kondisinya.
Laporan ini merupakan bagian pertama dari liputan khusus ‘Caleg minoritas’.
Reporter: Achmad Rizki Muazam