PARBOABOA, Pematang Siantar - Dewan Pers memberikan tanggapannya terkait kasus ancaman adu preman yang dilakukan seorang oknum pegawai Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Sumatra Utara terhadap IL, salah satu jurnalis media online Parboaboa.
Saat itu, jurnalis IL tengah meminta konfirmasi terkait kasus kejahatan peretasan di ranah digital dan mempertanyakan pertanggungjawaban BRI terhadap nasabah yang telah menjadi korban kejahatan daring tersebut.
Menurut anggota Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro atau akrab disapa Sapto, jurnalis memiliki hak untuk mencari informasi sesuai dengan Pasal 6 huruf a Undang-Undang Pers. Jurnalis, lanjutnya, berhak meminta konfirmasi kepada lembaga negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk BRI.
"Kalau berpegang pada UU Pers pasal 6 huruf a, wartawan berhak untuk menyampaikan informasi yang mana masyarakat berhak untuk tahu. Jadi jurnalis bisa mencari informasi apapun, termasuk di BUMN," ungkap Sapto kepada PARBOABOA, Senin (03/07/2023).
Sapto juga menegaskan jurnalis IL telah menjalankan tugasnya dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip jurnalistik yang benar.
Ia menyatakan tindakan yang dilakukan oleh oknum pegawai BRI Sumut tersebut merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers.
"Kalau jurnalis sudah menyampaikan bahwa dirinya adalah orang media yang meminta konfirmasi, maka ia harus mendapatkan jawaban dari perusahaan BRI. Tindakan yang dilakukan jurnalis tersebut sudah benar sesuai UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, karena jurnalis memberikan ruang untuk konfirmasi atau mencakup kedua belah pihak. Jelas bahwa tindakan yang dilakukan oleh pihak BRI tersebut telah mengancam kebebasan pers," jelasnya.
Sapto juga mendorong jurnalis IL yang mendapatkan ancaman untuk tetap melanjutkan upaya mendapatkan konfirmasi dari BRI Sumut dengan menghubungi bagian Humas BRI Sumut atau BRI pusat.
Sementara untuk mengatasi dugaan kasus pengancaman, jurnalis IL dapat melaporkan kejadian tersebut kepada asosiasi jurnalis yang memiliki divisi advokasi, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), atau Serikat Perusahaan Pers (SPS).
"Jurnalis bertugas mengemban amanah sebagai fungsi kontrol. Ada orang yang jurnalis perjuangkan karena merasa dirugikan. Ketika di lapangan, jurnalis tidak mendapat jawaban, tulis saja bahwa ada kasus ini, lalu sudah ada konfirmasi tapi tidak mendapat tanggapan yang semestinya. Jika masih ingin melanjutkan, saya sarankan jurnalis tersebut untuk menghubungi BRI pusat. Pasti akan ada perbedaan pendapat. Jika kemudian jurnalis tersebut berhenti membela nasabah yang dirugikan dan mengganti fokus dengan masalah kekerasan yang dialaminya, itu akan menjadi dua hal yang berbeda. Soal kekerasan yang dialami jurnalis dapat dilaporkan ke PWI, AJI, SPS, atau SMSI bagian advokasi," imbuh Sapto.
Sebelumnya, Manajer Senior Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kantor Wilayah Medan, Sumatra Utara, Nartha Simamora melarang jurnalis Parboaboa, IL meliput saat mencoba konfirmasi maraknya kasus pembobolan mobile banking yang dialami nasabah hingga ratusan juta rupiah.
Pada proses konfirmasi tersebut, anak buah Erick Thohir tersebut tidak menunjukkan etikanya sebagai pejabat dengan menunjuk muka jurnalis Parboaboa, IL dan mengancam adu preman.
Menanggapi itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim menilai apa yang dilakukan jurnalis Parboaboa sudah tepat untuk menghasilkan berita yang berimbang.
"Sebenarnya hal yang wajar seorang jurnalis untuk melakukan wawancara. Saya pikir yang dilakukan IL (Jurnalis Parboaboa) dalam konteks sesuai dengan kode etik jurnalistik, meminta konfirmasi," katanya.
Dijelaskan Sasmito, konfirmasi adalah bentuk kerendahan hati jurnalis.
“Apa yang kita tulis kemudian di masa yang akan mendatang ada yang salah makanya kita perlu cover both side,” imbuh Sasmito.
Ia menambahkan, jurnalis merupakan pekerjaan yang dilindungi undang-undang, sehingga narasumber tidak boleh melakukan kekerasan dalam bentuk apapun kepada pekerja media ini.
"Pihak terkait tidak perlu melakukan intimidasi atau kekerasan verbal kepada teman jurnalis. Tentu itu bertentangan dengan Undang-undang Pers," pungkas Sasmito Madrim.