PARBOABOA, Jakarta - Indonesia memiliki beberapa wilayah perbatasan yang menarik untuk dikunjungi wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kota Sabang di Pulau Weh, Aceh, misalnya tidak hanya terkenal karena keindahan alamnya, tetapi juga memiliki ikon menarik lainnya, yaitu Monumen Kilometer Nol Sabang.
Terletak di Desa Iboih Ujong Bau, Kecamatan Sukakarya, monumen ini berdiri setinggi 43 meter dan menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Monumen dengan warna biru-putih tersebut berdiri megah di tengah hutan lindung di ujung tebing dan menghadap langsung ke Selat Malaka.
Desainnya yang unik, dengan empat pilar yang melambangkan empat kota/kabupaten terujung Indonesia—Sabang, Merauke, Miangas, dan Pulau Rote tentu mencuri perhatian banyak wisatawan.
Selain itu, ornamen segi delapan yang terinspirasi dari seni Islam dan motif rencong tradisional Aceh menambah keindahan monumen.
Wisatawan yang berkunjung dapat menikmati pemandangan indah Selat Malaka dari atas monumen.
Akses menuju lokasi cukup mudah meski harus melalui jalan berkelok. Perjalanan dari pusat Kota Sabang hanya memakan waktu sekitar satu jam.
Angin laut dan pepohonan rindang di sekitar tugu menjadi pelengkap sempurna bagi mereka yang ingin mengabadikan momen.
Tidak banyak yang tahu, Monumen Kilometer Nol Sabang awalnya tidak berada di ujung tebing.
Pada 1997, monumen Nol Kilometer berada dekat hutan Desa Iboih sebelum dipindahkan dan diresmikan kembali oleh Wakil Presiden ke-6 RI, Try Sutrisno.
Pembangunan lokasi baru dimulai pada 2015 dan selesai pada 2017. Pemerintah setempat juga menyediakan area bagi UMKM untuk berjualan guna mendukung perekonomian warga sekitar.
Zulfikar, anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Sabang, menyebutkan bahwa tiket masuk kawasan ini dipatok Rp5.000 per orang tanpa perbedaan harga bagi wisatawan lokal atau asing.
Sementara biaya parkir kendaraan bermotor juga diterapkan dengan tarif Rp10.000 untuk mobil dan Rp5.000 untuk motor.
Wisatawan yang ingin menuruni tebing untuk menikmati pantai Selat Malaka tidak dikenakan biaya tambahan, meski kebanyakan memilih mengabadikan momen dari monumen saja.
Dampak Bagi Perekonomian
Keberadaan Monumen Kilometer Nol Sabang memberikan dampak positif bagi perekonomian warga Desa Iboih Ujong Bau.
Wisatawan seringkali membeli oleh-oleh dari pedagang setempat setelah berfoto di monumen.
Mulai dari baju, daster, kemeja, hingga miniatur monumen dari kayu dengan harga yang terjangkau. Berbagai aksesoris khas Sabang dan batik bercorak khas juga tersedia.
Selain itu, kios makanan dan minuman serta pedagang kaki lima menjual kudapan di sekitar monumen sehingga memastikan wisatawan tidak kelaparan.
Sebuah masjid juga tersedia dekat area parkir untuk kenyamanan pengunjung, terstimewa bagi mereka yang hendak shalat.
Sejarah Monumen Kilometer Nol Sabang
Monumen Nol Kilometer awalnya dibangun setinggi 22,5 meter dan diresmikan pada 9 September 1997 oleh Wakil Presiden Try Sutrisno.
Desain pertama berbentuk lingkaran dengan puncak yang menyempit dan dihiasi patung Burung Garuda yang menggenggam angka nol.
Pada 2015, Badan Pengawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS Sabang) melakukan renovasi besar-besaran untuk meningkatkan daya tarik wisatawan.
Hasilnya, monumen ini kini menjulang setinggi 43,6 meter dengan desain yang lebih modern.
Patung Burung Garuda masih menghiasi puncak monumen dan diapit oleh dua lingkaran yang menyerupai angka nol dan dilengkapi ornamen rencong.
Pembangunan Monumen Nol Kilometer terinspirasi dari slogan terkenal "Dari Sabang sampai Merauke" yang dipopulerkan oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno.
Desain monumen ini sarat dengan simbolisme, antara lain empat pilar yang melambangkan batas-batas negara, dari Sabang sampai Merauke dan Miangas hingga Pulau Rote.
Sementara lingkaran besar yang mewakili angka 0, sebagai simbol awal dan titik terjauh barat Indonesia.
Lebih lanjut, motif rencong menyimbolkan peran Aceh dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Terakhir, ornamen segi delapan mewakili ajaran Islam, budaya Aceh, dan kebudayaan nusantara yang meluas sesuai delapan penjuru mata angin.
Monumen yang menghadap langsung ke laut memberikan pemandangan spektakuler Samudera Hindia.
Panorama senja dari atas monumen menjadi momen yang sangat indah untuk dinikmati, dengan angin sejuk yang membuat pengunjung betah berlama-lama.
Di bagian bawah monumen, terdapat para pedagang yang menjual berbagai souvenir khas Aceh, mulai dari miniatur monumen hingga berbagai aksesoris tradisional.
Monumen Nol Kilometer yang berwarna biru dan putih ini hadir sebagai ikon kota Sabang dan menarik banyak wisatawan lokal maupun asing.
Kawasan ini sering dipadati pengunjung terutama saat libur nasional, akhir pekan, dan libur sekolah.
Fasilitas yang tersedia cukup lengkap, termasuk mushola yang menyediakan mukena bagi perempuan yang ingin menunaikan shalat.
Monumen Nol Kilometer Sabang juga memiliki kembaran di Merauke, Papua, yang berada di Distrik Sota, Kabupaten Merauke.
Dengan segala keunikannya, monumen ini tidak hanya menjadi simbol geografis, tetapi juga pusat budaya dan sejarah yang memperkaya keindahan dan keragaman Indonesia.
Editor: Defri Ngo