PARBOABOA - Jaya Pancasila Sitompul tak menunggu ba-bi-bu. Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Garut itu memberondong Parboboa yang baru saja tiba di ruang kerjanya.
"Sudah baca siaran persnya belum? Kan udah dijawab, terus apalagi? Kan udah resmi nih, udah sah. Apa yang mau ditanyakan lagi? Kan udah dijawab semua,” ia spontan melontarkan rentetan pertanyaan itu tanpa jeda.
Jaya merujuk pada siaran pers Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan (Korpakem) Kabupaten Garut. Di Tim Korpakem, Jaya menjabat sebagai wakil ketua.
Siang pertengahan Juni lalu, Parboboa hendak mewawancarainya perihal keputusan Korpakem menyegel Masjid Babussalam di RW01 Kampung Nyalindung, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (2/7/2024). Masjid itu merupakan milik komunitas penganut Ahmadiyah.
Dalam keterangan tertulisnya, Tim Korpakem menyebut dua alasan penyegelan. Masjid Babussalam dinilai tidak memiliki izin pendirian sebagai tempat ibadah. Selain itu, masjid disinyalir menjadi tempat penyebaran pemahaman Ahmadiyah.
Kabar yang Parboboa peroleh, keputusan penyegelan juga diambil karena tekanan dari Gerakan Anti-Ahmadiyah (Geram). Ali Nugraha, Ketua RW 01 Kampung Nyalindung, mendapat informasi ada mobilisasi dua truk massa dari Tasikmalaya, Jawa Barat, ke Kampung Nyalindung di hari penyegelan.
Ketua MUI Garut, KH. Sirojul Munir dan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Garut, Maman Suryaman, juga mendengar kabar bahwa Geram sempat beraudiensi dengan otoritas setempat beberapa hari sebelum penyegelan. Namun, mereka tidak mengetahui siapa orang yang memobilisasi Geram. Keduanya mengaku tidak mendapat undangan ke pertemuan itu.
Tim Korpakem, menurut Maman, khawatir Masjid Babussalam memicu gesekan dan konflik horizontal. Itu sebabnya keputusan penyegelan diambil.
“Karena isunya malam itu akan terjadi penyerangan,” kata Maman menjelaskan salah satu pertimbangan penyegelan.
Ketika dikonfirmasi mengenai informasi tersebut, Jaya Pancasila Sitompul berkilah. "Ya udah, kalian konfirmasi ke yang kasih informasi," sergahnya.
Ia bahkan menutup rapat informasi seputar pelapor yang membuat aduan terkait aktivitas Ahmadiyah di Kampung Nyalindung. Yang jelas, laporan itulah yang kemudian ditindaklanjuti Tim Korpakem dan berujung penyegelan Masjid Babussalam.
Parboaboa berusaha mencari orang-orang yang berada di balik Geram. Namun, upaya itu belum membuahkan hasil. Kami kesulitan menelusuri keberadaan sejumlah nama yang disebut-sebut sebagai motor gerakan ini.
Geram sebenarnya bukan fenomena baru di Kabupaten Garut. Kiprah kelompok ini telah membentang sejak 14 tahun lalu.
Eksistensinya sejak lama terekam sebagai kelompok yang secara keras menentang Ahmadiyah. Laporan SETARA Institute—yang berjudul Negara Menyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia—menyebut Geram sebagai gabungan beberapa organisasi masyarakat.
Dokumen yang dirilis 2011 itu menyatakan sekurangnya terdapat 11 organisasi yang terhimpun di dalam Geram. Berdasarkan catatan SETARA, kelompok ini berdiri pada 2010 dengan Joseph Juanda sebagai ketua pertama.
Beberapa tokoh Islam lokal juga diduga berada di balik kelompok ini, seperti KH. Endang Yusuf dan KH Qudsi Nawawi. Parboaboa berbincang dengan KH Abdurahman Al Qudsi, Pimpinan Pondok Pesantren Suci Garut, mengenai sepak terjang Geram. Ia adalah anak dari KH Qudsi Nawawi.
Ia bercerita, cikal bakal Geram berawal dari deklarasi Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam (LP3SI). Inisiatornya adalah tokoh dari berbagai organisasi seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan PERSIS (Persatuan Islam).
LP3SI punya mimpi menerapkan syariat Islam di Garut melalui jalur konstitusional. Tapi cita-cita itu kandas terbentur regulasi hukum.
Di saat yang bersamaan, bermunculan aliran-aliran yang dianggap menyimpang di Garut. Kehadiran Ahmadiyah menjadi salah satu yang mereka soroti.
Sekitar tahun 2010, terjadi sebuah peristiwa politik penting di Garut: Pergantian Sekertaris Daerah di Pemerintah Kabupaten Garut. Yang membuat momen ini mendapat perhatian adalah dugaan bahwa kandidat yang akan menjadi sekda adalah penganut Ahmadiyah.
Tokoh-tokoh LP3SI lalu bergerak untuk mengantisipasi kemunculan figur tersebut. Dalam konteks itulah pentolan-pentolan LP3SI membentuk gerakan taktis yang bersifat informal, kemudian dinamai Geram.
Gerakan ini beresonansi dengan banyaknya gelombang penolakan terhadap Ahmadiyah di berbagai daerah lain pada periode waktu yang sama. Abdurahman mengakui ada kelompok yang menyikapi Ahmadiyah dengan cara yang keras.
Namun, menurutnya, tokoh awal Geram mencoba mengambil jalan tengah yang lebih persuasif. Ia menegaskan, Geram bergerak secara konstitusional. Mereka mendasari penolakan kepada Surat Keputusan Bersama 3 Menteri tentang Larangan Ajaran Ahmadiyah.
Geram, lanjut Abdurahman, selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam bertindak. Geram juga melakukan sosialisasi kepada penganut Ahmadiyah untuk kembali ke ajaran Islam.
Ia sadar bahwa keyakinan orang tidak bisa serta merta diubah. Abdurahman bilang, fokus gerakan itu berusaha mencegah agar ajaran Ahmadiyah tidak menyebar di Garut.
"Bukan kita memberangus mereka dan mengusir mereka, jadi tidak ada pelanggaran hak asasi," kilahnya.
Saat ini, menurut Abdurrahman, kebanyakan tokoh-tokoh awal inisiator Geram telah meninggal dunia. Kalau pun masih ada yang masih hidup, usia mereka sudah sangat lanjut.
Orang-orang ini sudah tidak lagi terlibat di aktivitas Geram. Bisa dibilang, Geram sekarang dimotori orang-orang dari generasi ketiga.
Kelompok ini, kata Abdurrahman begitu cair sehingga benderanya bisa digunakan siapa saja. Ada kalanya juga digunakan untuk kepentingan yang tidak sesuai alasan pembentukannya.
“Biasalah aktivis ada dua, ada yang lurus, ada yang belok,” ujar Abdurrahman.
Dalam catatan Setara Institute, pada 2010 saja Geram terlibat dalam lima insiden terkait pelanggaran kebebasan beragama. Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute, menilai terjadi pembiaran pemerintah terhadap kelompok-kelompok intoleran.
Menurutnya, ini tidak hanya terjadi di Garut. Di daerah lain, ada pemerintah daerah yang justru memberi karpet merah bagi kelompok semacam itu.
Mereka malah mendapat fasilitas berupa kantor sekretariat. Akibatnya, gerakan-gerakan yang antikelompok lain menjamur.
"Pemerintah saya kira memberikan legitimasi bagi gerakan- gerakan kelompok lain intoleran semacam ini," tegas Halili.
Ironisnya, kelompok ini malah menjadikan sikap penolakan terhadap kelompok lain secara eksplisit. Buktinya, kata Halili, Geram memasukan sikap "anti-Ahmadiyah" dalam nama organisasi.
Ia mendesak pemerintah bersikap aktif mengadang kelompok-kelompok tersebut. Seharusnya pemerintah punya instrumen untuk mendisiplinkan mereka.
"Yang begini-begini ini kalau tidak di-handle oleh pemerintah memang akan memicu segregasi di tengah-tengah masyarakat," pungkas Halili.
Reporter: Achmad Rizki Muazam, Patrik Damanik, Putra Paskah
Editor: Jenar