parboaboa

Jokowi Sadap Partai Lewat Intelijen, Ancaman bagi Demokrasi dan HAM di Indonesia

Andy Tandang | Nasional | 19-09-2023

Jokowi klaim mengetahui data dan arah parpol lewat informasi intelijen. (Foto: Instgram/@jokowi)

PARBOABOA, Jakarta - Klaim Jokowi soal dirinya yang mendapat informasi terkait data survei dan arah partai politik dari intelijen mendapat sorotan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

Klaim tersebut sebelumnya diucapkan Jokowi saat menghadiri rapat kerja nasional relawan Sekretariat Nasional (Seknas) di Bogor, Jawa Barat, pada Sabtu (16/9/2023) lalu.

Jokowi dalam kesempatan tersebut mengaku jika mengetahui arah partai politik dan data survei setelah mendapat informasi lengkap dari komunitas intelijen, seperti BIN, BAIS dan Intelijen Polri.

"Jadi informasi yang saya terima itu komplet. Dari intelijen saya ada BIN, dari intelijen Polri ada, dari intelijen di TNI saya punya, dan informasi-informasi di luar itu," ungkap Jokowi.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, pernyataan mantan Wali Kota Solo itu menjadi persoalan serius yang menggangu kehidupan demokrasi di Indonesia.

Melalui keterangannya yang dikutip pada Selasa (19/9/2023), Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan, dalam negara demokrasi, Presiden bersama perangkat intelijen tidak bisa menjadikan partai politik sebagai target pemantauan intelijen.

Meski intelijen merupakan aktor keamanan yang berfungsi memberikan informasi terutama kepada Presiden, namun informasi tersebut seharusnya terkait dengan musuh negara yang bersinggungan langsung dengan keamanan nasional.

"Bukan terkait masyarakat politik, dalam hal ini partai politik dan juga masyarakat sipil," tulis Koalisi Masyarakat Sipil.

Hal ini merujuk pada Pasal 1 angka 1 dan 2 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, partai politik dan masyarakat sipil yang merupakan elemen penting dalam demokrasi.

Sehingga menurut Koalisi Masyarakat Sipil, "tidak pantas dan tidak boleh presiden memantau, menyadap, mengawasi mereka dengan menggunakan lembaga intelijen demi kepentingan politik presiden." 

Bagi Koalisi Masyarakat Sipil, pernyataan Jokowi mengindikasikan adanya penyalahgunaan kekuasaan terhadap alat-alat keamanan negara untuk melakukan kontrol dan pengawasan demi tujuan politiknya.

"Hal ini tidak bisa dibenarkan dan menjadi ancaman bagi kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia."

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, lembaga intelijen dibentuk untuk dan demi kepentingan keamanan nasional (nasional security) dalam meraih tujuan politik negara, bukan untuk tujuan politik Presiden.

Karena itu, pengumpulan data dan informasi yang dilakukan oleh intelijen hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengambilan kebijakan, bukan disalahgunakan untuk memata-matai semua aktor politik demi kepentingan politik pribadi Presiden.

Koalisi Masyarakat Sipil mengaku sulit untuk memahami alasan di balik keberadaan intelijen untuk mencari informasi terkait data dan arah partai politik. 

Sebab, menurut Koalisi Masyarakat Sipil, dalam negara demokrasi, keberadaan partai politik bukan merupakan ancaman bagi keamanan nasional.

Hal ini mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap hukum dan undang undang, baik UU Intelijen, UU HAM, dan UU partai politik.

Koalisi Masyarakat Sipil meminta untuk mengusut tuntas masalah ini. DPR juga wajib memanggil Presiden serta lembaga intelijen terkait untuk menjelaskan persoalan ini kepada publik secara terang benderang.

"Ini merupakan bentuk skandal politik dan menjadi persoalan serius dalam demokrasi yang wajib untuk diusut tuntas," tegas mereka.

Diketahui, ada beberapa lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang terdiri dari PBHI, Imparsial, Amnesty International, YLBHI, Kontras, Centra Initiative, Elsam, Walhi, ICW, HRWG, LBH Masyarakat, dan Setara Institute.

Sementara itu, Pengamat Intelijen, Stanislaus Riyanta, menganggap pernyataan Presiden Jokowi soal dirinya yang mengaku mengetahui data dan arah partai politik lewat intelijen adalah sesuatu yang wajar.

"Pernyataan Presiden tersebut wajar. Karena memang intelijen adalah perangkat Presiden. Justru aneh jika kepala negara/presiden tidak punya intelijen," ungkap Stanislaus Riyanta saat dihubungi PARBOABOA, Selasa (19/9/2023).

Menurutnya, data yang disampaikan intelijen adalah sesuatu yang sudah dianalisis berdasarkan kaidah tertentu sehingga menghasilkan informasi intelijen yang tentu saja akurat dan sumbernya dapat dipercaya.

"Presiden mempunyai informasi intelijen dari banyak sumber seperti dari Baintelkam Polri, BAIS TNI, dan tentu saja dari BIN yang sesuai UU merupakan koordinator intelijen negara dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku single user dan single client," katanya.

Riyanta mengatakan, aspek politik adalah salah satu komponen dalam informasi intelijen. Karena itu, pernyataan Presiden Jokowi adalah sesuatu yang wajar.

Bahkan menurutnya, tidak hanya Presiden yang mempunyai data intelijen, tetapi juga menteri atau kepala lembaga punya informasi intelijen yang bersumber dari perangkatnya masing-masing.

"Seperti kejaksaan, imigrasi juga punya informasi intelijen, PPATK juga merupakan intelijen khusus di bidang keuangan. Jadi apa yang disampaikan oleh Presiden dan Menkopolhukam itu hal yang wajar dan biasa," ungkap Riyanta.

Jokowi sebelumnya juga sudah mengklarifikasi soal pernyataannya tersebut. Menurutnya, dia memang secara rutin mendapat laporan berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial, hingga keamanan.

Ia juga mengaku, data intelijen tersebut merupakan makanan sehari-hari, dan tidak ada kaitannya dengan cawe-cawe dalam Pemilu 2024.

Editor : Andy Tandang

Tag : #data intelijen    #jokowi    #nasional    #koalisi masyarakat sipil    #pilpres   

BACA JUGA

BERITA TERBARU