PARBOABOA, Jakarta - Pada awal tahun 2023, pemerintah Indonesia mengambil langkah berani dengan resmi menaikkan harga jual eceran dan tarif cukai per batang rokok.
Keputusan ini tidak hanya sebatas mengubah peta harga konsumsi sehari-hari tetapi juga mempengaruhi laju inflasi, khususnya yang disebabkan oleh produk tembakau.
Tindakan ini memunculkan pertanyaan penting mengenai peran rokok dalam ekonomi nasional dan dampaknya terhadap masyarakat berbagai strata.
Di tengah inflasi yang cenderung tinggi, penyesuaian harga ini menjadi penting bagi kebijakan fiskal pemerintah.
Meski kontribusi rokok terhadap inflasi tidak dominan, dampak kumulatifnya tidak bisa diabaikan.
Tidak hanya itu, Kebijakan tersebut juga mencakup larangan penjualan rokok batangan di warung-warung, merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk menekan prevalensi konsumsi rokok.
Langkah ini serentak mengakui eksternalitas negatif rokok dan mencoba mengurangi dampak sosial yang ditimbulkannya.
Potensi kenaikan penerimaan negara dari sektor cukai juga menjadi sorotan, mengingat adanya peningkatan dalam dua hingga tiga tahun terakhir.
Namun, tujuan cukai sejatinya bukan untuk menambah kas negara, melainkan untuk membatasi konsumsi barang-barang yang memiliki dampak negatif pada masyarakat.
Di sisi lain, rencana kenaikan cukai rokok di tahun 2024 mendatang telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan petani tembakau, yang jumlahnya mencapai kurang lebih 6 juta orang.
Menurut Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, kebijakan ini dipandang sebagai pukulan yang akan menurunkan harga jual tembakau, menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan bagi mereka.
"Ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal sering kali memiliki dampak yang tidak merata, memberatkan sebagian kelompok sementara memberi keuntungan pada yang lain," ujar Achmad kepada PARBOABOA, Jumat (10/11/2023).
Selanjutnya, kata dia, inflasi pada kuartal ketiga tahun 2023, khususnya yang disebabkan oleh rokok kretek filter, telah teridentifikasi sebagai salah satu akibat langsung dari kebijakan cukai ini.
"Itu akan menimbulkan implikasi lebih lanjut bagi masyarakat berpenghasilan rendah, di mana rokok sering kali merupakan bagian dari pengeluaran rutin," ungkapnya.
Menurutnya, kenaikan harga rokok berpotensi mengganggu kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya, termasuk makanan bergizi, dengan konsekuensi serius pada kualitas gizi mereka.
"Kebijakan kenaikan cukai rokok, yang akan diterapkan tahun 2024 mendatang, tampaknya mengabaikan keberadaan jutaan petani tembakau dan masyarakat kecil perokok," kata Achmad.
Oleh karena itu, Achmad menilai bahwa pemerintah kurang bijak sehingga harus mempertimbangkan keberlangsungan hidup jutaan warga yang kehidupannya terkait erat dengan industri tembakau.
Editor: Wenti Ayu