PARBOABOA, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, ketidakpastian ekonomi global telah mengalami peningkatan yang signifikan, menciptakan tantangan berat bagi pasar keuangan dan pelaku bisnis di seluruh dunia.
Sejumlah faktor utama berkontribusi pada kondisi ini, dan dampaknya telah terasa luas.
Ketidakstabilan ekonomi dunia juga mempengaruhi pasar keuangan global, dengan gejolak yang signifikan di pasar saham dan mata uang.
Karena itu, investor dan pelaku bisnis harus berhadapan dengan tantangan besar untuk mengelola risiko di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit diprediksi.
Menurut Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, ekonomi dunia semakin kacau dan penuh ketidakpastian.
Ia menjelaskan, salah satu faktor utama yang menyebabkan ketidakpastian ialah pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Kemudian, ia menyoroti ketidakpastian yang semakin tinggi dan pergerakan pertumbuhan ekonomi antar negara yang semakin melebar.
Adapun faktor-faktor tersebut mencakup pertumbuhan ekonomi yang kuat di Amerika Serikat, dan didorong oleh konsumsi rumah tangga dan sektor jasa, sedangkan ekonomi China mengalami perlambatan karena masalah konsumsi dan krisis di sektor properti.
Lebih lanjut, Sri Mulyani juga mengungkapkan keprihatinannya terkait tekanan inflasi yang tinggi akibat harga energi dan pangan yang dipengaruhi oleh konflik geopolitik serta fenomena El Nino.
Ia memperkirakan, kenaikan suku bunga global akan diikuti oleh kenaikan yield obligasi tenor jangka panjang di negara-negara maju, terutama obligasi pemerintah AS.
Selain itu, dampak dari perkembangan ini ialah aliran keluar modal asing dari pasar negara berkembang menuju negara-negara maju, yang mendorong penguatan signifikan mata uang dolar AS terhadap berbagai mata uang dunia.
Kemudian, ketidakpastian perdagangan global juga menjadi isu penting, dengan ketegangan perdagangan antara berbagai negara terkemuka, di antaranya Amerika Serikat dan Tiongkok yang masih akan berlanjut.
Hal ini telah berdampak negatif pada rantai pasokan dan pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, faktor lain ialah Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) yang memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di level 5,25-5,50 persen.
Namun, The Fed menyebutkan jika inflasi belum turun secepat keinginan mereka sehingga potensi kenaikan suku bunga masih ada.
Selanjutnya, keputusan The Fed menahan suku bunga pada Rabu waktu AS atau Kamis (21/11/2023) dini hari waktu Indonesia merupaka yang kedua kalinya dalam dua pertemuan terakhir.
The Fed terakhir kali menaikkan suku bunga pada pertemuan federal open market committee (FOMC) 25 Juli 2023.
Keputusan menahan suku bunga itu juga sejalan dengan ekspektasi pelaku pasar.
Seperti diketahui, The Fed mengkerek suku bunga secara agresif sebesar 525 bps sejak Maret 2022 hingga Juli tahun ini.
Editor: Wenti Ayu