Krisis Demokrasi di Kampus, Kreativitas Mahasiswa Diberangus

Suasana kegiatan perkuliahan di sebuah kampus kawasan Jakarta Selatan, Selasa (17/10/2023). (Foto: PARBOABOA/Puspita)

PARBOABOA, Jakarta – “Demokrasi di Kampus saya sudah mati!" tegas Diki, mahasiswa di salah satu kampus di Jakarta Selatan kepada PARBOABOA, Selasa (17/10/2023) kemarin.

Diki mengaku kampusnya telah menghapus kegiatan senat, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). 

Kampus Diki hanya mengizinkan himpunan mahasiswa (HIMA) di setiap jurusan, itu pun hanya untuk mendukung mahasiswa yang ingin berkompetisi di luar kampus, tidak bisa menyalurkan kreativitas mahasiswa.

"HIMA kadang jadi kurang kreatif karena hanya melaksanakan program, kami masih merasa belum bisa mewadahi secara menyeluruh karena kami butuh komunitas yang intensif dan bebas berkarya,” kesal pria berusia 19 tahun itu.

Kondisi tersebut juga membuat Diki bosan karena tidak sesuai dengan ekspektasinya terkait aktivitas perkuliahan saat ia duduk di bangku SMA. 

Dalam ekspektasi Diki, kuliah menjadi ajang ia belajar berdemokrasi dan mengembangkan bakat.

”Kalau harus mengembangkan bakat dan belajar demokrasi di luar kampus, buat apa kami bayar mahal? Kampus memang mendukung bagi mereka yang suka berkompetisi. Bagi kami yang menganggap kampus adalah laboratorium kehidupan, kampus seharusnya mengajarkan bagaimana mengelola konflik dan kepentingan, bukan memberi contoh sistem autokrasi,” tegas mahasiswa jurusan fakultas hukum ini.

Diki mengungkapkan, kampus tempatnya belajar tidak seperti kampus lain yang masih bisa menyalurkan kreativitas. 

Ia bahkan iri dengan kampus lain yang masih membebaskan mahasiswanya untuk berkreativitas.

"Kami juga khawatir, jika protes, bisa mempengaruhi nilai kuliah kami. Kampus ini biaya pendidikannya cukup mahal, kami tidak ingin membuat orang tua kami kecewa, tapi dari situ muncul kegelisahan luar biasa kami soal komersialisasi pendidikan yang herannya tidak ada yang berani memprotes,” tegas dia.

Dikti Jadi Wasit Terhadap Ancaman Pelanggaran Kebebasan Mahasiswa

Peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia menyayangkan kondisi kampus yang tak demokratis.

Suasana kampus di Jakarta Selatan terlihat sepi tanpa ada kegiatan khas mahasiswa perguruan tinggi. (Foto: PARBOABOA/Puspita) 

Menurutnya, pemerintah, melalui kementerian terkait, tidak perlu merasa khawatir terhadap aktivitas mahasiswa di UKM, apalagi dasar penetapan UKM telah diatur oleh UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

“Mengapa demikian? karena esensinya dana yang mereka gunakan adalah dana pendidikan yang memang dialokasikan untuk menciptakan generasi yang kreatif, siap bekerja dan bersaing pascamereka memperoleh ilmu di kampus,” katanya.

Ia menilai, pemberangusan senat, UKM dan praktik berserikat mahasiswa merupakan potret kemunduran perguruan tinggi yang seharusnya menjadi ekosistem paling aman dari tekanan politik praktis.

”Seharusnya Dikti menjadi 'wasit' terhadap ancaman pelanggaran-pelanggaran kebebasan mahasiswa,” ungkap Dewi.

Ditambahkannya, idealnya sebuah perguruan tinggi seharusnya menjadi ranah ekosistem ilmiah yang menguji intelektualitas dan nalar kritis. Termasuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro rakyat.

"Yang perlu digarisbawahi, kritik di sini merupakan bentuk perkiraan yang terukur dan bukan atas dasar kebencian atas sifat-sifat personal yang semua itu memang mahasiswalah menjadi ujung tombak penyambung suara rakyat. Ketika hak berserikat mereka yg dimulai dari perguruan tinggi dicabut, maka ini bentuk kemunduran dan pelemahan demokrasi," pungkas Dewi Rahmawati.

Dikti Minta Kampus Izinkan Kegiatan Mahasiswa

Menanggapi maraknya kampus di Indonesia, terutama Jakarta yang melarang aktivitas Senat dan UKM, Kepala Puspendik di Kemendikbud Ristek, Nizam menilai, kampus atau lembaga pendidikan tinggi seharusnya mewadahi kreativitas mahasiswa karena dilindungi undang-undang.

”Kampus merupakan tempat pengembangan bakat dan potensi mahasiswa, menyiapkan mahasiswa menjadi pemimpin masa depan yang kreatif, inovatif dan berintegritas. Tempat pengembangan karakter mulia untuk menjadi warga negara yang mandiri, kritis dan solutif bagi diri, masyarakat, bangsa dan negara. Karenanya program-program pengembangan kreativitas mahasiswa baik melalui kegiatan ekstra kurikuler maupun organisasi kemahasiswaan penting untuk dikembangkan di kampus-kampus kita,” jelasnya saat dikonfirmasi PARBOABOA.

Nizam menegaskan, Kampus harusnya mewadahi aspirasi mahasiswa di semua tingkatan dan jurusan, sesuai aspirasi dan kebutuhan pengembangan diri mahasiswa.

Tidak hanya memfasilitasi, lanjut Nizam, kampus juga diharapkan mendukung kegiatan mahasiswa bukan hanya yang menyumbang prestasi tapi juga dukungan bagi kegiatan yang bermanfaat.

"Lebih baik lagi kalau kampus memfasilitasi dan memupuk pengembangan prestasi mahasiswa,” ujarnya.

Oleh karenanya, Kemendikbud Ristek, kata Nizam, mengembangkan kebijakan kampus merdeka yang bertujuan memberikan kesempatan bagi mahasiswa mengembangkan diri dan belajar dari kampus kehidupan.

"Ragam kegiatan kampus merdeka banyak sekali. Selama 3 tahun ini sudah mendekati 1 juta mahasiswa berkegiatan di luar kampus. Mengembangkan diri dan masa depannya,” tambahnya.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS