Merauke Jadi Sasaran Food Estate: Proyek Strategis atau Permasalahan Berulang?

KPA soroti permasalahan proyek Food Estate di Merauke (Foto: portal.merauke.go.id)

PARBOABOA, Jakarta - Proyek Food Estate (FE) yang digagas Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2021 silam kini tengah dirundung persoalan serius. 

Merauke, misalnya kembali menjadi sorotan dalam dinamika pembangunan nasional, utamanya terkait proyek FE yang disebut-sebut bertujuan memperkuat ketahanan pangan. 

Baik elit politik maupun bisnis turut ambil bagian dengan mengklaim bahwa proyek ini sebagai jalan keluar untuk mengatasi krisis pangan nasional. 

“Kita membangun Food Estate untuk mengantisipasi krisis pangan. Hati-hati, sekarang semua kawasan, semua negara sedang menghadapi yang namanya krisis pangan," ujar Jokowi Agustus 2023 lalu.

Mengutip laman resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Jokowi menyebutkan bahwa salah satu tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia hingga kini adalah masalah gandum. 

"Wheat masalah di semua negara, yang makan gandum, semuanya ini masalah sekarang, harga juga naik drastis," tambahnya menyinggung lonjakan harga pangan di berbagai negara.

Meski demikian, proyek serupa pernah diluncurkan di masa pemerintahan SBY dengan nama MIFEE yang hasilnya tidak hanya gagal, tetapi juga memunculkan masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya bagi masyarakat Papua.

Pemerintahan Jokowi menghidupkan kembali konsep MIFEE dan memperluas cakupannya ke sejumlah wilayah seperti Maluku, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Sumatera, dan Jawa. 

Proyek ini melibatkan korporasi dan militer sebagai pelaksana di lapangan. Mereka bertugas memastikan keamanan, keberlanjutan dan kelancaran proyek.

Jumlah anggaran sebesar Rp124 triliun disiapkan untuk proyek FE tahun 2025. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp600 triliun telah digelontorkan untuk program ketahanan pangan.

Namun, berbagai masalah terus muncul di lapangan, mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan sebagaimana disinggung oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). 

"Pemerintah kerap menggaungkan isu krisis pangan, sementara praktik impor pangan semakin menguntungkan pejabat, pengusaha, dan kelompok mafia pangan," tulis KPA sebagaimana diterima PARBOABOA pada Rabu (15/10/2024). 

FE yang semula diharapkan menjadi solusi, justru dianggap sebagai sumber masalah dan pemborosan anggaran, terutama yang terjadi di wilayah Merauke.

Pemerintah mengklaim penetapan FE di Merauke bertujuan mencapai swasembada beras melalui pengembangan sawah baru serta memenuhi kebutuhan gula dan bioetanol melalui perkebunan tebu.

"Dari total 3,13 juta hektar yang menjadi target Food Estate di 21 lokasi dan 11 provinsi, Merauke sendiri ditargetkan seluas 2,29 juta hektar," lanjut KPA.

Angka ini setara monopoli tanah oleh PERHUTANI di seluruh Pulau Jawa yang memicu konflik agraria, memperparah ketimpangan tanah dan menyebabkan kemiskinan struktural di pedesaan.

Empat Bahaya

Temuan KPA selama beberapa tahun terakhir menyebut bahwa FE di Merauke dan wilayah lainnya menyimpan empat ancaman utama yang dapat menjadi "bom waktu" jika tetap diteruskan.

Pertama, politik pangan yang menggeser peran petani. Proyek FE dirancang untuk menggantikan peran petani dalam produksi pangan dengan korporasi. 

"Pergeseran ini berpotensi melemahkan kemandirian pangan nasional, karena kontrol produksi diserahkan kepada pengusaha," tulis KPA. 

Hal ini, lanjut KPA bisa menciptakan situasi serupa dengan sektor kelapa sawit, di mana korporasi besar mendominasi dan pemerintah sulit mengendalikan harga serta arah pembangunan.

Kedua, perampasan tanah masyarakat adat. Fakta yang terjadi di Merauke memperlihatkan bahwa sejumlah tanah milik masyarakat adat Papua digunakan pemerintah untuk pengerjaan proyek ini. 

Meskipun otonomi khusus menyatakan bahwa seluruh tanah Papua adalah wilayah adat, proyek FE justru beroperasi di atas praktik-praktik pengambilalihan tanah. Hal yang jelas menimbulkan konflik agraria dan pelanggaran HAM. 

"Undang-undang Cipta Kerja bahkan memasukkan proyek semacam ini sebagai 'kepentingan umum,' sehingga memudahkan proses perolehan tanah," pungkas KPA

Ketiga, kerusakan lingkungan. Pembukaan lahan untuk FE sering kali melibatkan penebangan hutan secara masif, sehingga mengancam ekosistem dan kehidupan masyarakat lokal yang bergantung pada alam. 

Kerusakan hutan dan perusakan wilayah adat  membawa dampak serius bagi masyarakat Papua, yang hidupnya erat terkait dengan tanah dan hutan mereka.

Keempat, gagalnya FE di berbagai rezim pemerintah. Dari Soeharto dengan proyek lahan gambut sejuta hektar, hingga SBY dengan MIFEE, dan Jokowi dengan FE, semuanya mencatat kegagalan serupa.

Korupsi, salah pilih lokasi, dan konflik sosial-lingkungan menjadi ciri khas dari proyek-proyek yang mengatasnamakan FE. 

Bagi KPA, persoalan-persoalan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah belum belajar dari sejarah dengan melanjutkan pola pembangunan yang terbukti menyisakan banyak masalah.

Proyek FE di Merauke yang kini dipercepat menjelang akhir masa pemerintahan Jokowi tampaknya mengulangi pola yang sama. 

Alih-alih membangun pusat pangan yang berkelanjutan, banyak pihak mencurigainya sebagai dalih untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada, seperti kayu dari hutan. 

Pada akhirnya, alasan "tanah yang tidak cocok" kerap digunakan sebagai pembenaran jika proyek ini kembali gagal. 

"Sementara masyarakat setempat harus menanggung dampak dari kebijakan yang tidak berpihak pada mereka," tutup KPA.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS