PARBOABOA, Jakarta - Papua, salah satu wilayah di timur Indonesia yang penuh dengan kekayaan alam, masih berstatus sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia.
Meskipun kaya dengan sumber daya tambang dan potensi ekonomi besar, provinsi ini terus berjuang keluar dari persoalan kemiskinan yang tampaknya sulit dipecahkan.
Lantas, apa yang membuat Papua sulit keluar dari jerat kemiskinan ini?
Secara geografis, Papua terletak di bagian timur Indonesia dan berbatasan dengan Samudra Pasifik di utara serta Laut Arafura di selatan.
Wilayah ini ditopang oleh enam provinsi, yaitu Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya.
Provinsi Papua Barat Daya merupakan provinsi baru yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri, Tito Karnavian) menggantikan Presiden RI Joko Widodo pada 9 Desember 2022 di Gedung Sasana Bhakti Praja, Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta.
Pembentukan ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan dan mendorong pemerataan kesejahteraan di wilayah Papua.
Demikian ditegaskan Tito melalui laman resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang di sadur Kamis (17/10/2024).
Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024, Provinsi Papua masih menempati peringkat terakhir dalam daftar provinsi termiskin di Indonesia dengan tingkat kemiskinan mencapai 17,26 persen.
Sementara, persentase penduduk termiskin berada di Provinsi Papua Pegunungan, yaitu sebesar 32,97 persen.
Sedangkan pada tahun 2023, tingkat kemiskinan di Papua tercatat sebesar 27,38 persen.
Meski terjadi sedikit penurunan pada 2024, provinsi-provinsi ini masih berada di peringkat teratas sebagai daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Ironisnya, Papua merupakan salah satu daerah terkaya di Indonesia dari segi sumber daya alam, terutama tambang.
Berdasarkan data dari BPS, Papua adalah penghasil tambang terbesar di Indonesia dengan total 52% (2022). Tambang ini dikelola oleh PT Freeport Indonesia
Dari hasil tambang PT Freeport Indonesia memberikan sebagian hasilnya kepada Indonesia. Hal itu dibenarkan oleh Presiden RI Joko Widodo.
Pada 2018, pemerintah Indonesia melalui PT Inalum sebuah BUMN di sektor aluminium mengakuisisi 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia dengan nilai USD 3,85 miliar.
Presiden Joko Widodo menyebut langkah ini sebagai upaya strategis untuk memastikan Indonesia mendapat manfaat lebih dari kekayaan tambang Papua.
Namun, kontribusi tambang besar ini belum sepenuhnya tercermin dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua.
Infrastruktur yang minim dan akses terbatas ke layanan dasar masih menjadi tantangan utama yang menghambat pembangunan di wilayah ini.
Indikator Mengukur Kemiskinan
Mengutip dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan dilihat dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
GKM adalah nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan makanan yang setara dengan 2.100 kilokalori per orang per hari.
Sedangkan GKNM mencakup kebutuhan minimum untuk perumahan, pakaian, pendidikan, dan kesehatan.
Indikator utama untuk mengukur kemiskinan, di antaranya:
- Garis Kemiskinan: Ditentukan oleh pengeluaran minimum individu untuk kebutuhan dasar, termasuk pangan dan kebutuhan non-pangan seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan.
- Pengeluaran Per Kapita: Rumah tangga dengan pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan dianggap miskin. Data ini dikumpulkan melalui survei seperti Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diadakan secara berkala.
- Indikator Sosial dan Ekonomi: Selain pengeluaran, indikator lain seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, kondisi tempat tinggal, dan pekerjaan yang layak turut mempengaruhi tingkat kemiskinan.
- Gini Ratio: Ketimpangan distribusi pendapatan diukur dengan Gini Ratio, yang menunjukkan perbedaan pendapatan antara kelompok penduduk kaya dan miskin.
- Dimensi Geografis: Lokasi suatu daerah, Akses terhadap Infrastruktur dan Kondisi Ekonomi Lokal Indikator Mengukur angka kemiskinan di Indonesia
Papua menjadi provinsi termiskin bukan hanya karena tingginya angka kemiskinan absolut, tetapi juga karena keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang memadai.
Letak geografis yang terpencil semakin memperburuk kondisi ekonomi dan sosial di wilayah ini.
Program Otonomi Khusus dan Tantangannya
Sejak 2001, pemerintah Indonesia telah menerapkan program Otonomi Khusus (Otsus) di Papua dengan tujuan meningkatkan infrastruktur dan kualitas layanan publik.
Namun, program ini belum mampu memberikan dampak signifikan dalam mengurangi kemiskinan.
Perbedaan pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan masih mencolok, memperlihatkan kesenjangan yang memperburuk masalah sosial.
Upaya pemerintah melalui Otsus dan program pembangunan lainnya perlu ditingkatkan dan dipantau secara efektif.
Tanpa perbaikan infrastruktur dan peningkatan akses layanan dasar, Papua akan terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan meskipun memiliki kekayaan alam yang melimpah.
Mengatasi kemiskinan di Papua memerlukan komitmen kuat dan pendekatan yang lebih menyeluruh.
Pemerintah perlu mempercepat pembangunan infrastruktur dan memastikan akses layanan dasar menjangkau seluruh wilayah, terutama daerah terpencil.