PARBOABOA, Jakarta - Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak menjadi masalah serius dan mengkhawatirkan di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.
Beragam pemberitaan di media massa turut mengangkat isu serupa dan menjadikannya persoalan mendesak yang memerlukan penanganan segera.
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, selama periode 2012 hingga 2021, tercatat setidaknya 49.762 laporan kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Sebagian besar kasusnya adalah kekerasan berbasis gender yang mencakup pelecehan seksual, perkosaan, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Data terbaru pada November 2022 menunjukkan bahwa Komnas Perempuan menerima sedikitnya 3.014 laporan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Pada tahun yang sama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPA) menemukan sebanyak 11.016 kasus atau meningkat sebanyak 4.162 kasus dibandingkan tahun 2021.
Kasus-kasus ini terjadi baik di lingkungan rumah tangga, hubungan personal, maupun di ruang publik, termasuk di dunia pendidikan.
"Data ini belum mencerminkan kondisi yang sesungguhnya, karena masih banyak kasus kekerasan seksual yang belum tercatat atau dilaporkan," ungkap Ketua Komnas HAM RI, Atnike Nova Sigiro, pada Kamis (05/10/2023).
Peningkatan angka kasus yang memprihatinkan, lanjut Atnike menunjukkan bahwa semakin banyak kasus yang dulu tersembunyi kini mulai dilaporkan.
Ia juga menjelaskan bahwa kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, namun kelompok tertentu memiliki risiko yang lebih tinggi, seperti perempuan dan anak.
"Di dunia pendidikan, termasuk perguruan tinggi, kasus kekerasan seksual rentan terjadi atas anak," imbuh Atnike.
Kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi seringkali dipicu oleh ketimpangan relasi kuasa, di mana pihak yang memiliki kekuasaan cenderung memanfaatkan situasi untuk memperoleh keuntungan seksual.
Selain faktor relasi kuasa, masih ada berbagai penyebab lain, seperti belum semua lembaga pendidikan menyediakan akses keadilan dan dukungan pemulihan bagi korban.
Faktor lain seperti kurangnya sosialisasi terkait kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual juga menjadi penyebab maraknya kasus tersebut.
"Kekerasan seksual tidak hanya melanggar hak seseorang untuk memperoleh kenyamanan, tetapi juga mengancam hak-hak asasi lainnya," tegas Atnike.
Dampaknya tentu tak bisa dianggap sepele. Banyak korban yang mendapatkan ancaman fisik dan mental. Sementara yang lain mengalami stres hingga akhirnya memutuskan mengakhiri hidup sendiri.
Dalam jangka panjang, hak-hak asasi korban seperti hak mendapatkan peluang ekonomi, kebebasan bersuara dan membentuk keluarga, juga akan terancam.
Pendekatan WHO
Pencegahan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak menjadi fokus penting dari berbagai pihak di Indonesia.
Upaya ini melibatkan peran pemerintah, organisasi non-pemerintah (LSM), dan komunitas masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan ramah bagi perempuan.
Kehadiran berbagai pihak, seperti Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, Kementerian PPPA, serta dinas terkait, memperlihatkan pentingnya pendekatan yang menyeluruh untuk menangani kekerasan seksual.
Penerapan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memberikan peran tambahan kepada Komnas HAM dalam pemantauan dan memastikan efektivitas upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Hal ini sejalan dengan kerja Komnas HAM dalam melindungi kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak yang rentan mendapatkan perilaku kekerasan.
Mereka berperan melakukan pemantauan terhadap efektivitas UU TPKS, termasuk berkoordinasi lintas sektor dengan berbagai kementerian, lembaga, dan komisi terkait untuk memastikan penanganan yang optimal.
Terpisah, berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) (2017), terdapat sejumlah cara untuk mencegah kekerasan seksual yang dapat diterapkan di berbagai tingkatan.
Pertama, pendekatan individu menekankan pentingnya pertanggungjawaban pelaku, termasuk penegakan hukuman yang tepat, serta penyediaan pendidikan pencegahan.
Model pendidikan tersebut melingkupi pendidikan kesehatan reproduksi, penyuluhan tentang penyakit menular seksual, dan pelatihan untuk melindungi diri.
Kedua, pendekatan perkembangan menyoroti pentingnya edukasi sejak dini kepada anak-anak yang meliputi pengenalan tentang konsep gender, pemahaman mengenai pelecehan seksual dan risikonya, serta cara-cara untuk menghindarinya.
Anak-anak juga diajarkan tentang batasan tubuh dan perilaku seksual yang sesuai dengan usia mereka, sehingga mereka memiliki pemahaman yang kuat untuk melindungi diri.
Ketiga, pencegahan di tingkat sosial komunitas. Hal ini dapat dilakukan melalui kampanye anti kekerasan seksual, penyediaan pendidikan seksual yang komprehensif, dan sosialisasi pencegahan kekerasan seksual di lingkungan masyarakat.
Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kolektif dan mendorong dukungan komunitas terhadap perlindungan korban serta penolakan terhadap tindakan kekerasan seksual.
Keempat, model pendekatan dari tenaga kesehatan yang juga memegang peran penting untuk melindungi perempuan dari bahaya kekerasan seksual.
Langkah-langkah tersebut, antara lain menyediakan layanan dokumen medis bagi korban sebagai bukti hukum, serta melatih tenaga kesehatan untuk mendeteksi kekerasan seksual secara dini.
Selain itu, tenaga kesehatan bertugas memberikan perlindungan terhadap penyakit menular seperti HIV dan menyediakan tempat perawatan serta perlindungan bagi para korban.
Kelima, pendekatan hukum dan kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat mekanisme pelaporan dan penanganan kekerasan seksual.
Hal ini meliputi penyusunan aturan hukum yang jelas tentang kekerasan seksual serta hukuman bagi pelaku.
Tujuannya adalah menciptakan standar hukum melalui perjanjian internasional dan melaksanakan kampanye anti kekerasan seksual di tingkat global.
Secara keseluruhan, meskipun langkah-langkah ini bersifat pencegahan, penerapannya diharapkan dapat membantu mengurangi dan mengendalikan terjadinya kekerasan seksual sehingga tercipta lingkungan yang lebih aman dan terlindungi.
Editor: Defri Ngo