PARBOABOA, Jakarta - Permohonan uji materi batasan usia pelamar kerja oleh Leonardo Olifens Hamonangan resmi ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal tersebut disampaikan Ketua MK, Suhartoyo saat membacakan putusan terkait uji materi Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo bersama delapan hakim konstitusi lainnya, Selasa (30/7/2024).
Selaku pemohon, Leonardo menggugat konstitusionalitas pasal yang dianggap memberikan kebebasan perusahaan untuk menetapkan persyaratan lowongan kerja secara mandiri.
Kebebasan tersebut, pungkas Leonardo, bersifat diskriminatif. Perusahaan dapat bertindak sewenang-wenang untuk melakukan rekruitmen, tanpa ada pertimbangan pada kualifikasi lain.
Ia berpendapat, Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan memungkinkan perusahaan untuk menentukan persyaratan kerja seperti batas usia maksimal, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan.
Pemohon merasa persyaratan ini bisa menghalangi banyak calon pekerja untuk memenuhi kualifikasi, sehingga melanggar hak asasi manusia (HAM) dan meningkatkan angka pengangguran.
Dalam pertimbangannya, MK menjelaskan diskriminasi yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM tidak mencakup batasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan.
Bagi MK, pasal tersebut tidak termasuk dalam kategori diskriminasi yang dimaksud dalam undang-undang HAM.
Pandangan berbeda disampaikan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Menurut Guntur, Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari kerja.
Alasannya, pungkas Guntur, dikarenakan perusahaan memiliki wewenang untuk "merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan."
Frasa ini dinilainya memberikan keleluasaan kepada perusahaan dalam menetapkan persyaratan rekrutmen yang cenderung bersifat subjektif.
Dengan adanya kebebasan tersebut, maka perusahaan berpotensi melakukan diskriminasi dalam proses rekrutmen calon pelamar kerja.
Sebagai misal, Guntur mencontohkan, perusahaan bisa menetapkan persyaratan berdasarkan penampilan fisik, usia, atau kriteria lain yang tidak berhubungan langsung dengan kompetensi kerja.
Hal ini tentu merugikan banyak calon pekerja yang sebenarnya memenuhi syarat, namun terdiskriminasi karena tidak memenuhi kriteria subjektif tersebut.
Pendapat berbeda dari Guntur menekankan pentingnya memperbaiki norma hukum dalam pasal tersebut untuk menghindari ketidakpastian dan potensi diskriminasi.
Ia berpendapat, pasal ini perlu direvisi untuk memberikan pedoman yang jelas bagi perusahaan dalam menetapkan persyaratan rekrutmen.
Dengan demikian, akan tercipta keadilan yang bagi para pencari kerja dan mengurangi risiko diskriminasi akibat kebijakan perusahaan yang tidak jelas dan transparan.
Guntur juga menekankan bahwa regulasi yang lebih tegas dan jelas akan memberikan perlindungan bagi hak-hak pencari kerja.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa semua individu memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan pekerjaan, tanpa terhalang oleh persyaratan yang tidak relevan dan diskriminatif.
Pandangan Guntur menunjukkan perlunya peninjauan kembali pasal yang diuji untuk menciptakan iklim rekrutmen yang lebih adil dan inklusif bagi semua pencari kerja di Indonesia.
Isu Diskriminasi dan HAM dalam Rekrutmen Kerja
Keputusan MK yang menolak batasan usia pekerja membuka diskusi mengenai masifnya diskriminasi dalam proses rekrutmen kerja.
Isu yang paling dominan adalah bagaimana perusahaan memiliki kebebasan menetapkan persyaratan yang dianggap diskriminatif.
Batasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan menjadi sorotan karena dapat menghalangi calon pekerja yang layak mendapatkan kesempatan kerja.
Dengan demikian, penting bagi DPR dan penegak hukum untuk meninjau kembali regulasi terkait untuk memastikan proses rekrutmen yang adil dan inklusif.
Keputusan MK bukan akhir dari diskusi mengenai keadilan dalam lowongan kerja.
Masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama dalam dunia kerja, tanpa terhalang persyaratan yang bersifat diskriminatif.
Bagaimana Tanggapan Kemnaker?
Terpisah, Direktur Bina Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Agatha Widianawati, menjelaskan batasan usia dalam lowongan pekerjaan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Hal ini berarti perusahaan memiliki kebebasan untuk menentukan batas usia pekerja, selama tidak melanggar ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 yang menetapkan batas usia minimal bekerja adalah 18 tahun.
Agatha menekankan, penentuan batas usia tersebut harus didasarkan pada syarat dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk suatu jabatan atau pekerjaan.
“Batasan usia yang ditetapkan perusahaan seharusnya tidak dikaitkan dengan diskriminasi,” tegas Agatha, Jumat (03/05/2024) lalu.
Ia mengutip Penjelasan Pasal 5 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan diskriminasi mencakup jenis kelamin, agama, suku, ras, dan aliran politik.
Sekretaris Jenderal Kemnaker, Anwar Sanusi, juga menegaskan usia tidak termasuk dalam kategori diskriminasi menurut UU Ketenagakerjaan, sehingga perusahaan tidak melanggar hukum.
Kementerian Ketenagakerjaan pun tidak dapat melakukan penindakan apapun terkait hal ini.
Mengenai gugatan yang diajukan Leonard ke MK, Anwar menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk menggugat.
"Kami di Kementerian Ketenagakerjaan siap memberikan tanggapan atau penjelasan atas ketentuan dalam Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan," ucap Anwar.
Pemohon, Leonard sebelumnya berharap hakim MK mengabulkan gugatannya dan mengubah isi Pasal 35 ayat 1.
Dalam gugatan tersebut, ia menyoal pentingnya independensi perusahaan dalam melakukan rekruitmen calon pelamar kerja tanpa unsur diskriminatif.
"Pemberi kerja yang membutuhkan tenaga kerja memiliki opsi untuk merekrut langsung atau melalui pihak pelaksana penempatan tenaga kerja. Mereka juga dilarang melakukan diskriminasi berdasarkan usia, agama, etnis, suku, ras, atau gender," demikian bunyi gugatan Leonard.
Penolakan MK terhadap gugatan tersebut menambah daftar panjang diskriminasi hukum yang menyepelekan hak-hak para pencari kerja di Indonesia.
Editor: Defri Ngo