PARBOABOA, Medan – Pengamat Pendidikan Ari S. Widodo menilai, pelonggaran ketentuan kelulusan untuk tingkat Strata 1 hingga Strata 3 di Indonesia, sebagaimana yang tertuang di Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi merupakan hal positif.
"Bagi saya pribadi, pelonggaran syarat kelulusan bukan berarti negatif, namun justru positif. Pada akhirnya masyarakat yang memberikan penilaian kepada lulusan perguruan tinggi. Kualitas akan dilihat dari hasil proses," katanya.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud Ristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Salah satu isi dari Permendikbud Ristek 53/2023 itu merevisi merevisi aturan-aturan sebelumnya tentang syarat kelulusan bagi tingkat S1 hingga S3 di Indonesia.
Dalam peraturan tersebut, disebutkan, tugas akhir bagi mahasiswa sarjana dan sarjana terapan dapat memiliki bentuk lain selain skripsi dan juga dapat dikerjakan secara berkelompok. Permendikbud 53/2023 menyebut, ketentuan yang sama juga berlaku pada program magister dan program doctoral.
Ari merinci, ada dua jenis pendidikan di Indonesia yakni sarjana dan sarjana terapan. Perguruan tinggi sarjana terapan melahirkan lulusan yang siap bersaing secara aplikatif. Sedangkan yang Perguruan tinggi reguler menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan nalar teoritis dan kontekstual.
Dosen di LSPR Institute of Communication and Business ini kemudian membandingkan sarjana terapan dengan program TAFE (setara politeknik) yang ada di Australia dan sebagian besar lulusan SMA diarahkan mengambil program tersebut.
"Karena itu, lulusan SMA di Australia lebih diarahkan ke TAFE. Di sana penjurusan itu dari tukang batu (bricklayers), juru masak (chef) sampai petugas pembukuan," katanya.
Ari juga mengatakan dunia kerja di Australia banyak menerima mereka yang lulusan TAFE karena dianggap sudah siap bekerja.
Sementara perguruan tinggi regular yang biasa diterapkan di Indonesia, merujuk pada sistem Inggris.
"Sebagian besar prodi diajarkan secara courseworks. Hal ini bisa menghasilkan lulusan S1 dalam waktu 3 tahun. Bagi mereka yang ingin melanjutkan ke jalur riset, maka persyaratan jalur riset itu sangat tinggi. Jalur riset memiliki persyaratan sangat tinggi dikarenakan banyak kualifikasi dan standar yang harus dipenuhi," kata Ari.
Dengan adanya kebijakan pelonggaran sistem kelulusan yang dikeluarkan Mendikbud, kata Ari, akan menyamaratakan kompetensi lulusan baik lulusan sarjana dan sarjana terapan.
"Lulusan sarjana terapan dapat mengisi kebutuhan pencari kerja dan lulusan sarjana reguler dapat melanjutkan pekerjaan sesuai kualifikasi, mereka juga dapat melanjutkan ke bagian riset sehingga menghasilkan riset-riset berkualitas," katanya.
Ari menambahkan, perguruan tinggi terapan yang aplikatif dapat meluluskan mahasiswanya melalui proyek, baik individu atau kelompok dan perguruan tinggi reguler yang teoritis tetap dapat meneruskan sistem skripsi sebagai awal dari sebuah riset. Namun Ari menyerahkan hal tersebut kepada kebijakan perguruan tinggi masing-masing.
"Idealnya kebijakan ini mendorong peran pasar agar perguruan tinggi dapat meningkatkan kualitas masing-masing," imbuhnya.
Sementara itu, salah seorang alumni Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi di Universitas Sumatera Utara, Eka Prima (22) mengatakan terobosan dari Mendikbud cukup baik jika diterapkan di fakultasnya.
"Karena ujungnya skripsi kami hanya berbentuk penjelasan dari proyek yang kami gunakan," ungkapnya.
Meskipun jurusan teknologi informasi merupakan program studi reguler non-terapan, kata Eka, namun pada praktiknya kelulusan mahasiswa dilandaskan pada proyek akhir mereka, seperti membuat alat pakan anjing dengan memasukkan unsur Internet dan Artificial Intelligence (AI).
"Ujungnya skripsi saya hanya menjelaskan proyek yang saya buat. Isi skripsi saya adalah proses-proses atau prosedur bagaimana membuat alat pakan anjing dengan unsur internet dan AI," jelasnya.
Eka juga memaparkan jika skripsinya hanya merinci apa saja peralatan yang dipakai untuk membuat suatu proyek. Misalnya penggunaan EPS 32 Camera.
Padahal menurutnya, penilaian akhir dari skripsi mahasiswa harus berdasarkan pada berhasil atau tidaknya proyek yang Eka ciptakan itu.
"Jadi yang diuji itu lebih ke mesinnya jalan atau tidak, beroperasi atau tidak," jelasnya.
Eka menambahkan, jika Permendikbud Ristek 53/2023 itu diterapkan, maka akan mempermudah mahasiswa meraih kelulusan.
Sedangkan Immanuel Panggabean, mahasiswa Fakultas Hukum di USU mengungkapkan pandangan berbeda. Menurutnya, skripsi masih menjadi hal yang wajib di fakultasnya.
"Walaupun ada peraturan baru, tapi kampus kami pasti tetap menerapkan skripsi sebagai syarat kelulusan," katanya.
Immanuel beralasan, ilmu hukum merupakan ilmu yang teoritis, karena penelitian di skripsi mahasiswa hukum berbasis teori.
"Bahkan dalam praktiknya nanti, mau jadi pengacara, jaksa ataupun hakim tetap saja berlandaskan teori," ungkapnya.
Ditambahkannya, skripsi sangat penting diterapkan di Fakultas Hukum mana pun.
"Ya kalau hanya baca undang-undang mungkin semua bisa. Tetapi dengan penelitian skripsi, mahasiswa bisa mengetahui apakah sebuah undang-undang tersebut sudah baik atau justru buruk, atau sebuah undang-undang bisa berpotensi mengkriminalisasi masyarakat," imbuh Immanuel.
Editor: Kurniati