PARBOABOA, Jakarta - Dalam sepuluh tahun terakhir, internet telah merambah wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) di Indonesia, sebagai harapan baru bagi perkembangan daerah.
Namun, dibalik peluang tersebut, berbagai tantangan besar masih menanti untuk diatasi.
Berdasarkan survei terbaru dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), sekitar 82,6% penduduk di wilayah 3T telah terkoneksi dengan internet.
Dari total 9,8 juta jiwa, 8,1 juta penduduk sudah dapat menikmati akses internet. Hal ini menjadi indikator signifikan bahwa wilayah 3T mulai merasakan dampak positif dari perkembangan teknologi.
Meskipun penetrasi internet di wilayah 3T sudah cukup besar, beberapa hambatan masih menghalangi akses penuh.
MIsalnya,ada sekitar 30,2% masyarakat tidak memiliki perangkat seperti ponsel atau komputer yang dapat terhubung ke internet.
Selain itu, 26,4% mengaku wilayah mereka tidak memiliki jaringan internet yang memadai, dan 21,1% tidak tahu cara menggunakan perangkat digital.
Hambatan ini menunjukkan bahwa infrastruktur teknologi belum sepenuhnya merata di semua wilayah 3T.
Terkomfirmasi dari sumber data yang sama, generasi muda menjadi pengguna utama internet di daerah 3T, terutama mereka yang berusia antara 20 hingga 35 tahun.
Adapun rinciannya, kelompok Gen Z (lahir 1997-2012) menjadi pengguna terbesar dengan tingkat penetrasi mencapai 87,46%.
Fakta ini mencerminkan potensi besar generasi muda dalam memanfaatkan internet untuk berbagai tujuan, termasuk politik, pendidikan dan bisnis.
Walau demikian, masalah infrastruktur masih menjadi kendala utama. Pemadaman listrik kerap terjadi, mengganggu koneksi internet di beberapa wilayah.
Sekitar 36,2% penduduk mengalami pemadaman listrik dua hingga lima kali per bulan, sementara 31,8% mengalaminya lebih dari lima kali.
Ketergantungan pada infrastruktur seluler tanpa dukungan jaringan serat optik juga memperlambat konektivitas.
Saat ini, BAKTI telah mengidentifikasi 1.020 desa di wilayah 3T yang masih membutuhkan sinyal internet.
Dari jumlah tersebut, 464 desa sudah terselesaikan, sementara 556 desa lainnya masih dalam proses penyelesaian.
Upaya ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam memperluas akses internet di daerah-daerah terpencil.
Di balik segala tantangan, internet di wilayah 3T terbukti menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi.
Sebanyak 61,7% pengguna internet di wilayah ini menggunakan internet untuk kegiatan bisnis, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Mereka memanfaatkan platform digital untuk memasarkan produk lokal dan menggunakan e-commerce sebagai jalur distribusi utama.
Hal ini memperlihatkan bahwa internet memberikan peluang besar bagi pengusaha kecil untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
Selain bisnis, 48,3% pengguna internet di wilayah 3T juga memanfaatkan internet untuk mempromosikan pariwisata lokal.
Wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak dikenal kini memiliki akses untuk memperkenalkan destinasi wisata mereka ke publik yang lebih luas, sehingga berpotensi meningkatkan kunjungan wisatawan dan pendapatan daerah.
Internet juga membuka akses terhadap informasi politik dan kebijakan publik. Sekitar 55% responden mengaku menggunakan internet untuk memperoleh berita politik.
Meskipun hal ini menunjukkan partisipasi politik yang lebih inklusif, ada risiko meningkatnya polarisasi politik.
Rendahnya literasi digital di wilayah 3T membuat penyebaran hoaks dan disinformasi menjadi masalah serius.
Jika tidak ditangani, hal ini bisa memicu ketidakstabilan politik di daerah-daerah tersebut.
Selain itu, penetrasi internet yang meningkat di wilayah perbatasan juga membawa risiko keamanan.
Ancaman siber menjadi lebih nyata di wilayah-wilayah ini. Tanpa sistem keamanan digital yang memadai, daerah 3T bisa menjadi sasaran serangan siber atau bahkan infiltrasi dari luar.
Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur keamanan digital di wilayah perbatasan.
Editor: Norben Syukur