PARBOABOA, Pematang Siantar - Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Simalungun, Sarles Gultom menanggapi dugaan pengancaman terhadap IL, jurnalis PARBOABOA yang dilakukan oknum pegawai Kantor Wilayah Bank Rakyat Indonesia (BRI) cabang Medan, Sumatra Utara.
Menurutnya, jika jurnalis PARBOABOA merasa terancam atau dirugikan oleh tindakan dan ucapan seseorang, maka bisa melaporkannya kepada aparat hukum.
“Orang yang melakukan pengancaman (oknum pegawai Kanwil BRI Medan) dapat dilaporkan kepada penegak hukum oleh orang yang mendapatkan ancaman (jurnalis PARBOABOA),” katanya kepada Parboaboa, Selasa (04/07/2023).
Sementara jika ada pihak yang merasa dirugikan atas suatu konfirmasi dari jurnalis, maka cukup melakukan klarifikasi saja sesuai peraturan yang berlaku tanpa harus melakukan pengancaman terhadap jurnalis.
Apalagi, lanjut Sarles, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga dijelaskan jurnalis berhak mendapatkan konfirmasi dari lembaga negara sebagai bagian dari pemberitaan berimbang atau cover both sides.
“Kalau dari jurnalisnya sih tidak ada yang salah. Dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 juga dijelaskan jurnalis dapat meminta konfirmasi kepada lembaga negara dan non-lembaga negara. Pihak yang melakukan pengancaman harus menjelaskan maksud dari ancamannya. Kalau sekedar untuk memberikan klarifikasi seharusnya tidak perlu melakukan pengancaman terhadap jurnalis. Dengan ancaman ini terlihat bahwa tindakannya sebagai bentuk premanisme,” jelas dia.
Hal senada juga disampaikan Kepala Divisi Sosialisasi, Advokasi, dan Dokumentasi Komisi Informasi Publik (KIP) Sumatra Utara, Dedy Ardiansyah.
Dedi menjelaskan, jurnalis dalam meminta konfirmasi kepada lembaga negara ataupun lembaga non-negara merupakan kegiatan atau aktivitas yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 sebagai bagian dari prinsip cover both sides.
Sedangkan terkait tindakan pengancaman yang dilakukan oknum pegawai BRI cabang Medan tersebut, lanjut Dedi, sangat mungkin jika jurnalis yang melaporkannya kepada aparat hukum dan jika terlapor terbukti bersalah bisa dikenakan pasal berlapis.
“Tergantung apakah pihak yang mendapatkan ancaman melaporkannya kepada pihak berwajib dan apabila pelapor sudah melaporkannya dan terlapor terbukti bersalah melakukan pengancaman bisa saja dikenai UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) atau KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Tergantung mana yang terbukti dari pasal-pasal di dalam Undang-Undang itu,” katanya kepada PARBOABOA, Selasa (4/7/2023).
Selain pengamat hukum pidana dan Komisi Informasi Publik, sebelumnya Dewan Pers juga memberikan tanggapannya terkait kasus ancaman yang dialami IL, salah seorang jurnalis PARBOABOA, oleh salah seorang oknum pegawai BRI kantor cabang Medan, Sumatra Utara.
Saat itu, jurnalis IL tengah meminta konfirmasi terkait kasus kejahatan peretasan di ranah digital dan mempertanyakan pertanggungjawaban BRI terhadap nasabah yang telah menjadi korban kejahatan daring tersebut.
Menurut anggota Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro, jurnalis memiliki hak mencari informasi sesuai dengan Pasal 6 huruf a Undang-Undang Pers dan berhak meminta konfirmasi kepada lembaga negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk BRI.
"Kalau berpegang pada UU Pers pasal 6 huruf a, wartawan berhak untuk menyampaikan informasi yang mana masyarakat berhak untuk tahu. Jadi jurnalis bisa mencari informasi apapun, termasuk di BUMN," ungkapnya kepada PARBOABOA, Senin (03/07/2023).
Sapto, begitu ia akrab disapa juga menegaskan jurnalis IL telah menjalankan tugasnya dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip jurnalistik yang benar. Ia menyatakan tindakan yang dilakukan oleh oknum pegawai BRI Sumut tersebut merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers.
"Kalau jurnalis sudah menyampaikan bahwa dirinya adalah orang media yang meminta konfirmasi, maka ia harus mendapatkan jawaban dari perusahaan BRI. Tindakan yang dilakukan jurnalis tersebut sudah benar sesuai UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, karena jurnalis memberikan ruang untuk konfirmasi atau mencakup kedua belah pihak. Jelas bahwa tindakan yang dilakukan oleh pihak BRI tersebut telah mengancam kebebasan pers," jelasnya.
Sapto juga mendorong jurnalis IL yang mendapatkan ancaman untuk tetap melanjutkan upaya mendapatkan konfirmasi dari BRI Sumut dengan menghubungi bagian Humas BRI Sumut atau BRI pusat.
Sementara untuk mengatasi dugaan kasus pengancaman, jurnalis IL dapat melaporkan kejadian tersebut kepada asosiasi jurnalis yang memiliki divisi advokasi, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), atau Serikat Perusahaan Pers (SPS).
"Jurnalis bertugas mengemban amanah sebagai fungsi kontrol. Ada orang yang jurnalis perjuangkan karena merasa dirugikan. Ketika di lapangan, jurnalis tidak mendapat jawaban, tulis saja bahwa ada kasus ini, lalu sudah ada konfirmasi tapi tidak mendapat tanggapan yang semestinya. Jika masih ingin melanjutkan, saya sarankan jurnalis tersebut untuk menghubungi BRI pusat. Pasti akan ada perbedaan pendapat. Jika kemudian jurnalis tersebut berhenti membela nasabah yang dirugikan dan mengganti fokus dengan masalah kekerasan yang dialaminya, itu akan menjadi dua hal yang berbeda. Soal kekerasan yang dialami jurnalis dapat dilaporkan ke PWI, AJI, SPS, atau SMSI bagian advokasi," imbuh Sapto.
Sebelumnya, Manajer Senior Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kantor Wilayah Medan, Sumatra Utara, Nartha Simamora melarang jurnalis Parboaboa, IL meliput saat mencoba konfirmasi maraknya kasus pembobolan mobile banking yang dialami nasabah hingga ratusan juta rupiah.
Pada proses konfirmasi tersebut, anak buah Erick Thohir tersebut tidak menunjukkan etikanya sebagai pejabat dengan menunjuk muka jurnalis Parboaboa, IL dan mengancam adu preman.