PARBOABOA, Jakarta - Produk China kembali membanjiri pasar dalam negeri. Ekspansi ekonomi Negeri Tirai Bambu itu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pelaku usaha lokal.
Salah satunya, Raymond Chin, Content Creator dan Founder Sevenpreneur. Dalam keterangannya pada Senin (4/9/2023), ia mengaku ketar-ketir dengan produk China yang menguasai pasar Indonesia saat ini.
Kekhawatiran Raymond tentu beralasan. Menurutnya, kondisi pasar Indonesia berpotensi diguncang dengan perusahaan asal China dan produk-produknya yang semakin menjamur beberapa tahun terakhir. Ia bahkan menyebutnya sebagai bentuk penjajahan modern.
Hal ini yang mendorong Raymond mengagas Revolusi Lokal, sebuah gerakan untuk mengajak masyarakat Indonesia membeli dan mengkonsumsi produk lokal, baik di pasar global maupun pasar domestik.
Sebagai pengusaha muda yang peduli dengan kondisi perekonomian bangsa, Raymond memberikan catatan penting, mengapa China mampu menguasai pasar dalam negeri, bahkan mampu menaklukkan pasar global.
Ia menyebut, ada tiga aspek krusial yang menjadi orientasi China, yakni pengembangan infrastruktur, akselerasi teknologi dan penguatan sumber daya manusia (SDM) melalui edukasi.
Cina, demikian Raymond, dengan pengembangan infrastrukturnya, mampu menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di China. Di sisi lain, infrastruktur yang memadai dan disokong dengan kualitas SDM, juga membuat mereka mampu bersaing di kancah global, termasuk soal teknologi.
Tak hanya itu, prioritas China di aspek pendidikan dengan memberikan upah yang sangat besar bagi para pendidik, menjadi salah satu faktor kunci yang juga menentukan kualitas sumber daya manusia di China.
Karena itu, Raymond mengajak seluruh komponen masyarakat untuk terlibat aktif dalam Revolusi Lokal, mulai dari hulu ke hilir.
Dari aspek consumer, kata Raymond, masyarakat Indonesia tidak dilarang untuk mengonsumsi brand luar, tapi dengan meningkatkan atau menambah porsi konsumsi untuk brand lokal.
Sementara dari sisi kontribusi pemerintah, lanjut Raymond, perlu ada penerapan regulasi yang lebih ketat terhadap akses masuk merek asing, sambil men-support brand lokal untuk naik level.
Hal ini bisa dilakukan melalui sejumlah gebrakan, misalnya melakukan pembinaan, pendanaan, dukungan pada UMKM, dan menciptakan program-program lain demi kemajuan bisnis lokal.
Menurut Raymond, Revolusi Lokal juga memerlukan kontribusi dari pihak swasta, khusus dalam menyokong para pelaku usaha di skala menengah dan besar agar bisa naik level dan berkompetisi di skala global.
Kekhawatiran Raymond persis seperti yang dialami Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid.
Dalam keterangannya pada 30 Agustus lalu, Arsjad menjelaskan, jika berbicara soal skala pasar, Indonesia memiliki potensi yang cukup besar. Karena itu, demikian Arsjad, pasar domestik harus dijaga dari serangan barang impor.
Meski kompetisi produk adalah sesuatu tidak bisa dibatasi dalam persaingan ekonomi global, namun, produk-produk impor, seperti dari China, jangan sampai diberikan jalur-jalur yang bisa menciptakan persaingan yang sehat.
Misalnya, produk impor yang masuk melalui jalur meminimalisir bea masuk. Atau, serbuan produk impor murah yang berpotensi mengancam pengusaha dalam negeri.
Menurut Arsjad, jika produk impor China masuk ke Indonesia dengan cara yang tidak sehat, maka hal tersebut harus disetop, karena akan berdampak pada pengusaha lokal, khusunya pengusaha skala kecil dan menengah.
Mengapa Produk China Laris di Pasaran
Mengutip investopedia, situs pendidikan investasi yang berpusat di New York City, menyebutkan, China telah dikenal sebagai pabrik dunia karena ekosistem bisnisnya yang sangat kuat.
Ekosistem ini melibatkan sejumlah komponen, seperti jaringan pemasok, produsen komponen, distributor, instansi pemerintahan, dan pelanggan yang semuanya terlibat dalam proses produksi melalui kompetisi dan kerja sama.
Di Cina, ekosistem bisnis lintas komponen sudah berlangsung sejak lama, sekitar 30 tahun terakhir. Dalam catatan investopedia, salah satu kota yang menjadi pusat industri elektronik di China adalah Shenzhen, sebuah kota yang berbatasan dengan Hong Kong.
Kota ini berkembang dengan ekosistem bisnis lintas komponen, untuk mendukung rantai pasokan manufaktur, termasuk produsen komponen, para pekerja dengan biaya rendah, pemasok perakitan, tenaga kerja teknis dan pelanggan.
Bahkan, Amerika Serikat sebagai salah satu kekuatan ekonomi global, memanfaatkan efisiensi rantai pasokan China agar tetap menjaga biaya rendah dengan margin tinggi, seperti Apple Inc, semisal.
Di sisi lain, perang tarif dengan produk Amerika, membuka peluang bagi China untuk melebarkan sayap bisnisnya hingga menembus pasar global.
Pada Juli 2018, Negeri Paman Sam mengumumkan tarif khusus produk China dengan menargetkan 818 produk impor China senilai 34 miliar dollar AS. Hal ini sekaligus menjadi putaran pertama dari banyak tarif yang dikenakan oleh kedua negara.
Per Februari 2020, pengenaan tarif tersebut menghasilkan 550 miliar dollar AS untuk AS yang diterapkan pada produk China. Begitu pun sebaliknya, pengenaan tarif China atas produk AS senilai 185 miliar dollar AS.
Perang tarif ini diperkirakan akan memberikan efek signifikan bagi AS dalam bentuk peningkatan biaya barang, sementara ekonomi China diperkirakan akan mengalami perlambatan.
Investopedia juga merekam, diskon pajak bagi konsumen menjadi salah satu alasan menjamurnya produk-produk China di setiap negara, termasuk di Indonesia.
Kebijakan pajak ekspor sudah dimulai sejak tahun 1985 di China. Kebijakan ini dikeluarkan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan daya saing ekspornya dengan menghapuskan pajak berganda atas barang ekspor.
Melalui kebijakan ini, pajak pertambahan nilai (PPN) nol persen akan dikenakan ke barang ekspor. Dengan demikian, China menikmati kebijakan pembebasan PPN atau potongan harga.
Tak hanya itu, produk konsumen dari China dibebaskan dari pajak impor apa pun. Hal ini akan membantu menjaga biaya produksi tetap rendah, sekaligus memungkinkan negara untuk menarik investor dan perusahaan yang ingin memproduksi barang-barang murah.
Hubungan Bilateral dan Jebakan Utang
Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, China memang telah menjadi salah satu investor terbesar Indonesia.
Hal ini bisa terbaca dalam proyek-proyek infrastruktur besar yang didanai China sebagai bagian dari program Belt and Road Initiatives (BRI) atau jalur sutra baru Cina di Indonesia.
Pada 2020 lalu, kedua negara juga telah sepakat untuk saling melebarkan ikatan bilateral, tidak hanya di bidang perdagangan dan investasi, tetapi juga merambah ke sektor budaya dan kesehatan.
Di balik hubungan bilateral kedua negara, perlu menjadi catatan, nilai utang Indonesia ke Cina telah mencapai besaran yang cukup mengkhawatirkan. Hingga akhir Maret 2023, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia ke China mencapai US$ 20,38 miliar atau setara Rp 301,62 triliun (kurs Rp 14.800/US$).
Pada Februari 2023, nilai utang ini bertambah US$ 370 juta jika dibandingkan dengan posisi utang yang sebesar US$ 20,01 miliar.
Melansir data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) pada Mei 2023, posisi ULN Indonesia hingga akhir Maret 2023 meningkat atau bertambah US$ 2,7 miliar atau setara Rp 39,96 triliun, jika dibandingkan dengan posisi ULN Indonesia pada Februari 2023 yang sebesar US$ 400,1 miliar.
Pada Juni, 2023 lalu, lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) pernah mewanti-wanti pemerintah Indonesia untuk mewaspadai jebakan utang China.
Direktur Studi China-Indonesia Celios, M Zulfikar Rakhmat mengatakan, meskipun Indonesia belum masuk jebakan utang China seperti Sri Langka dan Zimbawe, Indonesia juga akan berpotensi mengalami hal yang sama jika tidak hati-hati.
Rakhmat mencontohkan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang sebenarnya masih mampu dibayar Indonesia, namun harus dengan mengutang lagi.
Selain itu, Rakhmat juga khawatir risiko gagal bayar yang bisa menyebabkan kerugian besar di masa depan. Kekhawatiran tersebut, demikian Zulfikar, bukan tanpa sebab.
Hal ini bisa berkaca dari negara-negara yang terlibat dalam proyek jalur sutra baru. Beberapa negara telah dinyatakan gagal bayar, salah satunya Sri Lanka dengan proyek pembangunan pelabuhan Hambantota.
Editor: Andy Tandang