PARBOABOA, Jakarta - Memasuki satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), warga masih dibebani oleh penderitaan hidup yang kian kompleks. Salah satu yang membuat mereka terus meratapi ketakberdayaannya adalah perampasan tanah oleh negara.
Hal ini terekam dalam banyak kasus, termasuk yang paling menyedot perhatian publik, perampasan lahan warga Desa Suka Mulia, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor yang belum menenumukan titik terangnya hingga saat ini.
Neneng (54), warga Desa Suka Mulia, mengisahkan keangkuhan negara melalui TNI AU, mengambil paksa tanah milik warga di daerah itu sejak tahun 2007 silam.
Pasukan berseragam loreng ini menyerobot tanah yang telah lama didiami warga dengan menakut-nakuti dan mengintimidasi. Padahal, mereka tak punya alas hak yang jelas untuk menguasi tanah tersebut.
Neneng mengatakan, walapun diintimidasi, warga berusaha melawan karena ingin mempertahankan hak atas tanah yang telah diwarisi secara turun-temurun oleh nenek moyang.
"Ya, kita mempertahankan hak, ya wajib kita," kata Neneng kepada PARBOABOA saat menghadiri diskusi publik, 'Satu Dekade Jokowi: Titik Balik Kolonialisme' di Hotel Aone Wahid Hasyim, Menteng Jakarta Pusat, Kamis (21/12/2023).
Namun demikian, perlawanan warga tak membuahkan hasil apa-apa. TNI AU bahkan saat ini telah melakukan pengukuran 1000 ha tanah milik warga dari total luas keseluruhan 1.074 ha.
Tanah-tanah tersebut juga telah dipasang plang, dan saat melakukan pengkuran, TNI mengelabui masyarakat. Mereka menerbangkan drone dan berdalih sedang melakukan latihan.
"Kemarin tanggal 23 itu pesawat drone di atas, alasan mereka itu mau latihan tembak. Tapi bukan latihan tembak dan bukan latihan militer. Yang Kami lihat itu pemasangan patok," kata Neneng.
Neneng mengatakan, cara-cara seperti ini ujung-unjungnya selalu memberikan ketakutan kepada masyarakat. Ia menegaskan, "kalau dia bawa senjata di masyarakat, lalu menembakkan, walaupun bukan ke manusia, itukan buat ketakutan, terganggu juga masyarkat."
Neneng juga mengaku heran atas pengukuran tanpa alas hak yang jelas oleh TNI AU. Sementara warga sendiri, kata Neneng punya bukti yang kuat, selain karena mereka keturunan pemilik lahan, juga memegang bukti kuat atas lahan yang tidak sedang dalam sengketa.
"Setahu kami, walaupun kami tak punya pendidikan tinggi, ya. Kan itu mau sertifikat itu ada sayaratnya. Sayaratnya itu dia beli dari mana, hibah dari mana, keturunan dari siapa, kalau kamikan jelas, ada keturunan," pungkasnya.
Akibat ketegangan ini, kehidupan masyarakat Desa Suka Mulia jauh dari rasa aman. Seiring dengan itu, aspek-aspek lain ikut terganggu, seperti ekonomi serta ketiadaan akses membuka jalan umum karena harus melewati lahan tersebut.
"Ekonomi terganggu, akses jalan juga demikian. Masa mau bangun jalan harus perang dulu, nggak bisa, serba binggunglah. Jadi semuanya terganggu."
Menjelang akhir pemerintahan Presiden Jokowi, Neneng meminta agar ada solusi konkrit untuk mengakhiri penderitaan warga. Ia mengatakan, pihak-pihak yang berkepentingan harus segera duduk bersama menyelesaikan konflik yang berlarut-larut.
Neneng mengatakan, "BPN bogor harus duduk bersama dengan Kementerian Keuangan, dengan Menhan, dengan Kemterian Agraria juga terkait soal terkait sertifikat itu. Apa sih hubungan mereka dengan negara, ini kan murni tanah milik masyarakat."
Ia sendiri berjanji akan terus berjuang, memastikan hak-hak warga Desa Suka Mulia atas tanah tidak dirampas oleh siapapun. Perjuangan itu lakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan membuka sekolah non formal gratis.
Sekolah ini berorientasi memberikan pendidikan terhadap anak-anak yang orang tuanya menjadi korban dari ketidakadilan negara yang merampas tanah milik mereka.
"Kami memberikan mereka motivasi. Jadi anak-anak jangan sampai terbebani, biar mereka fokus belajar," tutupnya.
Deregulasi yang Eksplotatif
Sementara itu, Trend Asia, Oraganisasi masyarakat sipil independen yang bergerak sebagai akselerator transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan, menggambarkan satu dekade kepemimpinan Jokowi sebagai titik balik kolonialisme.
Direktur Trend Asia, Ahmad Asvoh Birry mengatakan, jejek kolonialisme itu bisa dilacak dari sejumlah kebijakan deregulasi yang kian eksploitatif, terutama di sektor energi.
Deregulasi yang eksploitatif ini telah menciptakan sejumlah kebijakan pasar terbuka, dimana, ada akses yang luas ke permodalan, tetapi keuntungannya justru lari ke luar.
"Kalau kita ambil studi kasus, misalnya nikel. Kalaupun sekarang sudah ada smelternya, tetapi tetap dia lari keuntungannya paling besar 90% atau nilai tambahnya ke luar dan ini diakui oleh pemerintah," kata Ahmad Asvoh kepada PARBOABOA.
Inilah yang membuat kesetaraan itu sulit dicapai, negara lain boleh mendapatkan keuntungan sementara negara tempat eksploitasi (Indonesia) mendapatkan kerusakan.
"Jadi pada intinya, fitur kolonialisme itu terjadi karena adanya pertukaran yang tidak adil."
Tak hanya nikel, pola pemasaran yang sama juga menurut Ahmad Ashov terjadi di sektor pertambangan dan batu bara. Ia mengatakan, "80% batu bara kita kan larinya untuk ekspor, tapi kemudian, di saat yang sama pemerintah tidak pasang kebijakan untuk mengambil keutungan secara adil untuk didistribusikan."
Ahmad Asvoh mengatakan, alih-alih mempermudah investasi dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, deregulasi ternyata memberi kemudahan bagi perusahan-perusahan raksasa luar negeri menghisap kekayaan nasional.
"Jokowi dengan kebijakan-kebijakan deregulasinya justru memberi jalan ke praktek kolonialisme," cetusnya.
Editor: Rian