Mengenang Judistira Ananta Toer (29 Juni 1965 – 30 Juni 2024)
PARBOABOA - Terkadang, kalau anak-cucunya sedang ngumpul dan ketawa-ketawa Pramoedya Ananta Toer bisa salah tafsir. Dikira dia yang sedang dicemooh padahal sama sekali tidak.
Titi sangat mengerti kondisi kejiwaan ayahnya. Sebab itu ia rajin mengingatkan adik-adik dan ibunya soal bagaimana sebaiknya menghadapi Pram.
“Kalau ngomong sama Papi itu senyum. Muka jangan kencang agar nggak salah tangkap.” Begitu tips dia. Rupanya, adik-adik dan para keponakan kesulitan menerapkannya.
Begitu drastis pun perubahan perangainya, Pram dengan caranya sendiri memperhatikan juga Yudi si bungsu. Caranya? Antara lain dengan meminta menulis catatan harian secara rutin.
“Saya tak pernah diajari secara khusus caranya. Papi hanya bilang, menulis diary itu penting karena akan melenturkan otak. Dengan begitu menulis apa pun akan lebih lancar,” kenang Yudi.
Ada kalanya Pram juga akan meminta dia membaca buku.
“Setelah membaca buku saya akan dipanggil. Ditanya gimana isinya, ceritanya apa. Selain itu ditanya juga siapa penerbitnya, tahun berapa dicetak. Katanya, kalau membaca buku itu harus tahu penerbitnya. ‘Kamu harus hargai penerbitnya’, katanya.”
Tradisi menulis catatan harian diajarkan Pram juga ke cucu-cucunya. Terkadang ia akan meminta mereka membacakan hasilnya. Angga, keponakan Titi dan Yudi (ia anak Yana) yang menyertai kami bercakap pun berbagi kisah.
“Tulisanku termasuk yang dikritik Eyang. Tapi, aku masih mending. Sepupuku sampai dimarahi. Pernah aku dikritik karena di catatan harianku terlalu banyak kata ‘lalu’. Aku menulis begini: “ ...Habis tidur aku cuci muka. Lalu sarapan. Lalu aku menyiapkan peralatan untuk sekolah.
Lalu...” Eyang bilang, pakai kata ‘lalu’ secukupnya saja. Gantinya, gambarkan apa yang kau tangkap lewat panca indramu saat itu.”
Angga dan para sepupunya mencoba mengikut arahan itu. Tapi mereka kemudian merasa tidak mewarisi bakat sastra sang kakek. Vicki Septian Rahman (ia putra Yana alias Iyan) saja yang lumayan bagus tulisannya.
Tapi, minatnya sendiri lebih ke gambar. Saat masih SMP ia sudah membuat buku komik bergaya Manga. Kini ia menjadi dosen disain-visual di Jakarta. Sudah bergelar master, ia tengah bersiap mengikuti program doktor.
Diusap
Pramoedya Ananta Toer berpulang pada 30 April 2006 setelah sempat dirawat 4 hari di rumah sakit Sint Carolus, Salemba, Jakarta. Yudi merasa menyesal karena tidak memenuhi permintaan terakhir ayah.
“Terakhir dia minta rokok ke saya. Tapi tidak saya berikan. Sampai sekarang jadi beban pikiran. Kenapa saya nggak kasih? Mungkin kalau saya kasih jadi sehat lagi,” ucapnya dengan nada lirih. “Kekuatan Pram kan salah satunya ada pada rokok.”
Selama opname tak boleh merokok.
“Udah mau meninggal minta rokok. Saya kasih tapi enggak saya nyalakan. Dia sempat mengode minta api. Ia lalu isap-isap aja rokok itu tanpa api,” ungkap si bungsu.
Di antara semua anaknya, Titi belaka yang dekat dengan Pramoedya dan yang dipercayai. Yudi merasa tak pernah beroleh kasih sayang dari ayahnya.
Dia baru merasa memiliki ayah justru di saat-saat terakhir sebelum Pram menghembuskan nafas pamungkas.
“Pertama kali diusap kepala saya oleh Papi saat dia mau meninggal. Saya dipanggil, diusap kepala saya. Itu pertama kali dan terakhir.”
Astuti menimpali dengan mengatakan, dalam keadaan sakit keras Pram, tanpa suara memeluk, menciumi Yudi. “Terus dia [Yudi] hk..hk..hk...menangis sesunggukan. Karena biasanya berantem melulu.”
Sungguh mengharukan, tentu. Sekian lama Yudi merasa sang ayah hanya mengandalkan dirinya sebagai sopir yang handal dan setia mengantar kemana pun.
Termasuk ke Blora, ke acara undangan, mengunjungi kerabat, atau sekadar jalan-jalan. Saat disupiri Yudi, Pram biasanya akan memintanya melarikan kendaraan kencang-kencang.
“’Ayo kencang lagi, kencang lagi!’ Pas ngerem eh lompat deh Pak Pram,” kenang Astuti.
Yudi Berpulang
Foto nisan bertulis Judistira Ananta Toer bin Pramoedya Ananta Toer kami terima pada Minggu, 30 Juni, sore. Saat kabar duka itu datang lewat WhatsApp kami nyaris tidak percaya. Betapa tidak?
Padahal Senin, 26 Juni, kami baru saja bermuka-muka, bercengkerama, bernostalgia, dan bercakap intens dengan Mas Yudi, demikian sapaan akrab kami untuknya. Penampakannya jauh dari sakit.
Ditemani sang kakak (Astuti Ananta Toer), keponakan (Angga), dan cucu yang masih bayi, dia tampak berbeda petang itu. Kalau biasanya pendiam, kali itu dia banyak bercerita dan berbagi kisah terutama ihwal hubungannya dengan Pram.
Bapak-anak ini tak pernah kami lihat akrab. Jarang mereka bercakap apalagi bercengkerama. Yudi di mata kami termasuk sosok yang pendiam dan kalam serta terkesan menarik diri dari keramaian meski ramah. Tak seperti Titi, ia selalu menjauh manakala ayahnya sedang menerima tamu.
Tuturannya tentang kegiatan pada Senin siang 26 Juni 2024 mengurus administrasi makam keluarga di Pemakaman Umum Karet Bivak, Pejompongan, seolah menjadi pertanda kalau dirinya tengah menyiapkan rumah masa depan sendiri!
Ia berpulang di usianya yang masih relatif belia, 59 tahun. Ah, kalau saja kami pandai menangkap isyarat! Padahal, kami banyak bercerita tentang puspa keanehan menjelang ajal Pram tiba.
Sebelumnya Yudi tidak pernah mengeluhkan penyakit.
“Papah tidak pernah sakit apa-apa. Sehat bugar saja selama ini. Tapi, setelah sholat subuh pada 30 Juni ia mengeluh masuk angin. Tiba-tiba saja sesak dan nggak sadar,” kata Aditya Prasstira Ananta Toer ke kami lewat WhatsApp.
Menikah dengan Eulis Trisna Dewi, Yudistira Ananta Toer beranakkan Aditya Prasstira (36 tahun) dan Derry Prasstira Ananta Toer (32 tahun). Cucunya 3 yaitu Queena Symphoni Ananta Toer (10 tahun), Almeera Bazil Ananta Toer (9 tahun), dan Zevanya Melody Ananta Toer (10 tahun).
Pram sekarang sudah bersama lagi dengan bayi lelaki yang sangat didambanya tetapi kemudian ditinggalkannya sampai 14 tahun.
Juga dengan Maemunah, istrinya. Beristirahatlah dalam keabadian, duhai keluarga yang bahagia sebelum peristiwa 30 September 1965 merusak segala. (Tamat)
Reporter: Rin Hindryati dan P. Hasudungan Sirait
Editor: Rin Hindrayati