parboaboa

Potensi Kebakaran dari Gas Metana Tumpukan Sampah di TPA Tanjung Pinggir, Desakan Relokasi Menguat

Putra Purba | Daerah | 23-10-2023

Tumpukan sampah organik di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tanjung Pinggir, Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara bisa menjadi penyebab munculnya gas metana yang dapat memicu kebakaran. (Foto: PARBOABOA/Putra Purba)

PARBOABOA, Pematang Siantar - Tumpukan sampah organik yang dapat menjadi penyebab munculnya gas metana di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tanjung Pinggir, Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara dikhawatirkan memicu kebakaran.

Apalagi dari 2 hingga 3 ton produksi sampah masyarakat Pematang Siantar setiap hari, sekira 1,2 ton di antaranya merupakan sampah makanan rumah tangga dan 600 kilogram sampah organik.

Menurut pengamat lingkungan dari Universitas Simalungun, Ramainim Saragih, potensi kebakaran akibat gas metana di sampah organik bisa sangat tinggi.

"Ratusan warga di sekitar TPA terpaksa menghirup asap dan merasakan hawa panas. Api juga berisiko menjalar ke pemukiman, baik rumah warga dan sekolah di sekitar TPA. Juga dibutuhkan banyak sekali air untuk pemadamannya," ungkapnya kepada PARBOABOA, Senin (23/10/2023).

Ramainim menjelaskan, penyebab kebakaran TPA atas banyaknya tumpukan sampah organik tersebut bisa berupa cuaca yang panas, angin kencang, kontur yang berupa gunung-gunung sampah.

"Pemicu awalnya itu bisa jadi dari pecahan kaca yang diangkut, bisa saja kaca itu dalam posisi kena sinar matahari terus terpantul dan bisa memicu api, itu hampir semuanya seperti itu (kebakaran)," ungkapnya.

Ramainim mengingatkan untuk tidak mencampur sampah makanan dengan sampah non-organik yang tidak bisa membusuk, seperti sampah plastik, bahan logam, plastik, kaca, karet, dan kaleng.

"Sampah organik sebaiknya tidak dibuang ke tempat sampah. Cara terbaik mengolahnya adalah dengan menjadikannya pakan ternak atau mengomposnya," timpalnya.

Menurutnya, percampuran kedua jenis sampah ini di TPA akan menghasilkan limpasan cairan beracun leachate atau air limbah sisa sampah yang berdampak pada eutrofikasi sistem perairan, mengurangi jumlah oksigen dan mendorong pertumbuhan organisme berbahaya.

Apalagi tingkat toksisitasnya yang tinggi, leachate menjadi ancaman utama bagi akuifer dan kesehatan air tanah.

"Dampaknya tidak sepele. Kebakaran TPA dan krisis lingkungan yang lain seharusnya bisa diantisipasi dengan baik, kita akrab dengan ancaman ini," katanya.

Ia berharap Dinas Lingkungan Hidup mengetahui risiko pembuangan sampah dengan metode landfill, seperti yang terjadi di TPA Tanjung Pinggir. Apalagi satu-satunya TPA di Pematang Siantar itu sudah lama kelebihan kapasitas.

"Pemko harus memutar otak untuk menyelesaikan problem pengelolaan dan penanganan sampah ini," imbuh Ramainim Saragih.

Sementara itu, seorang pemulung yang biasa mengumpulkan sampah di TPA Tanjung Pinggir, J. Simanjuntak, mengaku khawatir akan potensi kebakaran yang di lokasi itu.

"Takut juga, sebab kami menganggapnya sebagai rutinitas dan pekerjaan jadi pemulung ini. Karena desakan ekonomi kami melakukannya," katanya kepada PARBOABOA, Senin (23/10/2023).

Warga yang tinggal di Jalan Tuan Rondahaim, Kelurahan Pondok Sayur ini mengaku belum ada upaya dari Pemko Pematang Siantar mengelola sampah yang kelebihan kapasitas di TPA Tanjung Pinggir.

“Masih dibiarkan, apalagi sampah-sampah bertumpuk sudah ada yang puluhan tahun. Tidak ada pengelolaan sampah sampai tinggi begini, sampah yang berkurang juga tidak begitu signifikan,” kata Simanjuntak.

Pria 40 tahun ini meminta Pemko Pematang Siantar segera menyelesaikan masalah dan bisa mengelola serta menangani sampah yang semakin menggunung di TPA Tanjung Pinggir.

"Jangan nanti ada kejadian (kebakaran) baru memperhatikan masyarakatnya disini, harusnya disikapi keluhan warganya, jangan masyarakat yang mengalami kerugian," tambah Simanjuntak.

Relokasi TPA Tanjung Pinggir Dalam Tahap Pembahasan

Menyikapi permintaan masyarakat soal relokasi TPA Tanjung Pinggir, Kepala DLH Pematang Siantar, Dedy T. Setiawan mengatakan, relokasi dan reklamasi penggunaan lahan baru masih dalam pembahasan dengan dinas terkait.

Sebelumnya, Pemko Pematang Siantar berencana menggunakan lahan milik PTPN III dan sebagian masyarakat di Kelurahan Gurilla, Kecamatan Siantar Sitalasari seluas 80 ribu meter persegi.

"Kita masih berupaya pengadaan lahan, lebih lanjut hubungi ke bagian aset di BPKPD bagaimana kelanjutannya, namun tidak dalam waktu dekat," ungkapnya kepada PARBOABOA, belum lama ini.

Dedy membenarkan sampah di TPA Tanjung Pinggir telah menggunung dan melebihi kapasitas.

Namun, lanjut Dedy, DLH Pematang Siantar melakukan beberapa upaya seperti pengerasan tumpukan sampah, seperti berikat arang dan mengelola sampah menjadi pupuk organik dengan memaksimalkan lahan yang ada saat ini.

"Kami prediksikan lahan yang kami sewa ini masih bisa menampung 3 hingga 4 tahun ke depan. Jika masih terkendala dalam pelaksanaan relokasi dan reklamasi nantinya," timpalnya.

Dedy juga mengimbau masyarakat terlebih dahulu mengelola atau memisahkan sampah secara pribadi sebelum membuangnya ke tempat penampungan yang ada di lingkungan mereka masing-masing.

"Saya harapkan RT dan RW mengedukasi masyarakat dan menjadikan wilayahnya sebagai KBS (Kawasan Bebas Sampah) dan kami juga akan terus mengawasi," imbuhnya.

Sebelumnya, desakan memindahkan TPA Tanjung Pinggir datang dari berbagai pihak.

Hanya saja, pemindahan tersebut masih terkendala anggaran ganti rugi yang nilainya berkisar antara Rp20 miliar hingga Rp50 miliar.

Editor : Kurniati

Tag : #tpa tanjung pinggir    #pematang siantar    #daerah    #potensi kebakaran gas metana    #relokasi tpa tanjung pinggir    #berita sumut   

BACA JUGA

BERITA TERBARU