PARBOABOA, Jakarta - Polemik revisi UU ITE terus berlanjut. Alih-alih memangkas pasal bermasalah, revisi justru memberi karpet merah untuk memberlakukan pasal-pasal tersebut.
Legitimasinya kian langgeng usai presiden Jokowi menandatangani revisi UU a quo, Kamis (4/1/2024). Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) mengendus beberapa sisi lemah dari revisi ini.
Kelemahannya terletak pada konsistensi mempertahankan pasal-pasal karet dan berpotensi diskriminatif, seperti penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu dan pemutusan akses informasi.
"Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia," kata Koalisi Serius dalam rilis yang diterima PARBOABOA, Jumat (5/1/2024).
Selanjutnya, koalisi merinci pasal-pasal tersebut dan potensinya terhadap kebebasan berekspresi, yakni Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil; Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A dan 45B.
Selain itu, pemerintah dan DPR menambah beberapa ketentuan baru yang tidak kurang potensi diskriminatifnya, yaitu pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang.
"Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis." kata koalisi.
Pasal lain adalah pasal 27B ayat (1), pasal 2B ayat (2), pasal 28 ayat (3) dan 45A ayat (3).
Pasal 27B ayat (1) berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:
- Memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain
- Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang
Sementara, Pasal 2B ayat (2) berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:
- Memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain
- Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang
"Ada juga pasal 28 ayat 3 dan pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. Pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini."
Selain mempertahankan pasal-pasal pemidanaan, revisi juga memberlakukan pasal 40 yang memberi kewenangan luas kepada pemerintah menutup akses terhadap informasi yang menganggu ketertiban umum.
Menurut koalisi, munculnya sejumlah pasal bermasalah ini disebabkan karena sejak awal, revisi dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan pengawasan publik.
"Kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia."
Pernyataan Sikap Koalisi serius
Melihat kerawanan pasal-pasal tersebut di atas, terutama dalam mendukung iklim demokrasi tanpa intimidasi, Koalisi Serius menyatakan beberapa poin keberatan.
Pertama, koalisi menolak pengundangan revisi UU ITE karena selain berpotensi membungkam kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM, juga karena revisi yang dilakukan oleh DPR RI mengabaikan partisipasi publik.
Kedua, "Mendesak pemerintah untuk memastikan implementasi UU No.1/2024 agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis dan korban kejahatan yang sesungguhnya."
Ketiga, ke depan, koalisi meminta pemerintah dan DPR agar melibatkan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap pengambilan keputusan.
Koalisi Serius terdiri dari organisasi dan koalisi masyarakat sipil yang selama ini bergerak di bidang advokasi-advokasi publik, seperti: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Kemudian, Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Lintas Feminist Jakarta (Jakarta Feminist), Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI) dan Remotivi.
Lalu ada Rumah Cemara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) dan Yayasan Perlindungan Insani (Protection International).
UU ITE teror bagi kekuatan oposisi
Dalam keterangan yang terpisah, analis politik, Prof Massa Dajafar menilai, UU ITE sejatinya merupakan instrumen kekuasaan yang dapat membungkam kritik dan menciptakan teror bagi kekuatan oposisi.
Tak hanya itu, ia juga membaca revisi UU ITE sebagai proses konsolidasi elit untuk membawa Indonesia kembali ke sistem otoritarian orde baru.
"UU ITE melawan semangat reformasi dan demokratisasi. Lahirnya UU ITE langkah mundur demokrasi, malah banyak kalangan menilai sebagai proses konsolidasi otoritaian," kata Djafar kepada PARBOABOA, Jumat, (5/4/2024).
Karena itu, ia menyayangkan watak penguasa yang terlalu percaya diri, mencirikan kepongahan dan ketidakmauan untuk belajar dari kegagalan sistem otoritarian masa lalu.
Dengan UU ITE, kata Djafar, kontrol publik untuk menciptakan chek dan balance akan musnah.
"Negara Indonesia negara konstitusi, negara demokratik, bagaimana mungkin diubah bangunan sistem melawan semangat reformasi, a historis. Justru, dengan adanya check and balance, berfungsi lembaga kontrol politik, justru menguatkan kerja pemerintahan."
Di sisi lain menurut Djafar, UU ITE jelas menguntungkan bagi kekuatan oligarki yang berlindung dibalik negara sehingga sepak terjang mereka tidak bisa dijamah oleh hukum.
Baginya, revisi tersebut tidak akan membawa perubahan signifikan terhadap citra pemerintahan Jokowi dan penguatan demokrasi. Ia menandaskan, UU ITE merupakan salah satu produk hukum yang cacat dan bermasalah sejak awal dirancang.
"Lahirnya UUITE dibawah kepemimpinan Jokowi pada akhirnya, harus dibayar mahal dengan kemerosotan legitimasi dan meurunnya indeks demokrasi Indonesia," pungkasnya.
Editor: Rian