PARBOABOA, Jakarta - Menyusun skripsi sebagai syarat kelulusan di jenjang perguruan tinggi kini tak lagi diwajibkan.
Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim,dalam diskusi Merdeka Belajar Episode 26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi, Selasa (29/8/2023).
Menurut Nadiem, metode yang bisa mengukur kompetensi mahasiswa di akhir masa studi tak hanya dengan menyusun skripsi, masih banyak metode lain yang bisa digunakan.
Namun, syarat kelulusan tetap diserahkan ke pihak perrguruan tinggi. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
"Tugas akhir bisa berbentuk macam-macam, bisa berbentuk prototipe, proyek, bisa berbentuk lainnya, bukan hanya skripsi tesis dan disertasi. Keputusan ini ada di perguruan tinggi," kata Nadiem dikutip Rabu (30/8/2023).
Nadiem mngatakan, dengan hadirnya beragam prodi dan jurusan di perguruan tinggi, alat kompetensi mahasiswa tidak harus menggunakan karya ilmiah atau skripsi.
"Ada berbagai macam prodi yang mungkin cara kita menunjukan kompetensinya dengan cara lain. Apalagi yang vokasi, Ini udah sangat jelas, kalau kita mau lihat kompetensi seorang dalam satu bidang yang technical apakah karya ilmiah adalah cara yang tepat untuk mengukur technical skill itu?" ungkapnya.
Kendatipun demikian, Nadiem menyebut, untuk mahasiswa S2 dan S3 tetap harus membuat karya ilmiah berupa tesis dan disertasi, tetapi tidak harus diterbitkan di jurnal.
"Untuk magister S2, S3 ini terapan, wajib itu diberikan tugas akhir.Jadi buat mereka masih ya. Tapi tida lagi wajib diterbitkan di jurnal," terangnya.
Kebijakan Nadiem mendapat tanggapan positif dari Pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Cecep Darmawan.
Cecep setuju dengan kebijkan tersebut, mengingat, banyak skripsi yang saat ini menumpuk di perpustaakaan karena tidak dijadikan artikel jurnal.
"Sekarang juga skripsi kalau tidak dijadikan artikel jurnal atau referensi, untuk apa juga menumpuk di perpustakaan," ujar Cecep, Selasa (30/8/2023).
Menurutnya, kebijakan ini sudah lama diterapkan oleh beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Terbuka. Tapi, lulusannya ada yang bisa melanjutkan pendidikan ke univeritas ternama.
Karena itu, demikian Cecep, setiap prodi harus harus menyiapkan sejumlah opsi bagi mahasiswa apakah tetap membuat skripsi atau diganti metode yang lain.
Beragam soal
Skripsi kerap menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian mahasiswa semester akhir. Kadang, mereka harus berhadapan dengan berbagai tuntutan dan karakter dosen pembimbing.
Di sisi lain, tuntutan keluarga dan orangtua agar mereka harus selesai tepat waktu, membuat para mahasiswa ini semakin tertekan. Apalagi, jika teman-teman seangkatan lain sudah mulai mengikuti seminar hasil, bahkan sudah rampung menyelesaikan ujian skripsi.
Tentu, banyak soal lain yang membayangi kehidupan mahasiwa tingkat akhir. Tak jarang, beragam persoalan ini membuat sebagian dari mereka mengalami gangguan kesehatan mental, yang berujung pada tindakan bunuh diri.
Pada 24 Januari 2023 lalu, publik dikejutkan dengan kasus mahasiswa bunuh diri lantaran frustrasi akibat rumitnya skripsi yang sedang ia kerjakan.
Mahasiswa kelahiran Subang, Jawa Barat ini, tewas mengenaskan setelah nekat melompat dari lantai 4 apartemennnya yang terletak di Jalan Mangga, Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Dua bulan berselang, kasus bunuh diri seorang mahasiswa dari Universitas Jambi kembali mencuri perhatian. Ia ditemukan tewas dalam kondisi tergantung di dalam kamar penginapannya.
Ia mengambil langkah nekat itu, lantaran diduga depresi dengan banyaknya persoalan, salah satunya penyelesaian skripsi yang mandek dan tak kunjung selesai.
Di Palembang, seorang mahasiswa juga nekat menhabisi nyawanya dengan cara menggantung diri menggunakan tali nilon pada November 2022 lalu.
Lagi-lagi, kematian mahsiswa tingkat akhir itu diduga lantaran depresi dengan pengerjaan skripsi yang tak kunjung kelar.
Sementara itu, di Samarinda, seorang mahasiswa mengambil jalan singkat dengan menghabisi nyawanya sendiri setelah tujuh tahun tak lulus kuliah akibat skripsinya sering ditolak dosen pembimbing.
Tentu, masih banyak kejadian serupa yang tak terekam media. Banyak mahasiswa di semester akhir yang tak lagi mampu menyelesaikan tugas akhirnya hingga mengambil jalan pintas.
Namun, kasus ini tak selamanya menghantui mahasiwa semester akhir. Banyak juga yang begitu menikmati proses pengerjaan skripsi dengan bantuan dosen pembimbing yang baik.
DeAnnah R. Byrd dan Kristen J. McKinney dalam “Individual, Interpersonal, and Institusional Level Factors Associated with the Mental of College Students” (2012), mengungkap sejumlah faktor yang memengaruhi kesehatan mental mahasiswa.
Di tingkat individu, kondisi emosional, kognisi, fisik, dan fungsi intrapersonal sangat menentukan kondisi psikis seorang mahasiswa.
Di sisi lain, kemampuan individu dalam hal kepercayaan diri, persepsi terhadap kompetensi dan keahlian, serta kesanggupan mengatasi masalah turut berkontribusi.
Apabila tidak segera ditangani, frustrasi atau depresi yang menyebabkan bunuh diri akan berpengaruh pada kesehatan mahasiswa yang berdampak pada pendidikan yang sedang mereka jalani.
Editor: Andy Tandang