PARBOBOA, Jakarta – Kritik tajam yang dilontarkan oleh Ade Armando soal politik dinasti di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tampaknya mendapat banyak kecaman.
Berawal dari akun X-nya, @adearmando61, politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu terlihat meragukan komitmen dan keseriusan mahasiswa Jogja dalam memperjuangkan demokrasi, dan menyebutnya sebagai sesuatu yang ironis.
Menurutnya, politik dinasti yang sesungguhnya terjadi di DIY. Sultan Hamengku Buwono ke-X, yang saat ini menjabat sebagai Gubernur DIY, tidak dipilih melalui proses Pemilihan Umum (Pemilu) yang demokratis, melainkan berdasarkan garis keturunan.
"Anak-anak BEM ini harus tahu dong kalau mau melawan politik dinasti, ya politik dinasti sesungguhnya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta," cuit Ade pada Minggu (3/12/2023).
Hal ini sontak menimbulkan beragam reaksi publik. Banyak pihak yang mengecam pernyataan mantan akademisi UI ini. Undangan menggruduk kantor PSI DIY hingga aksi 'Tangkap Ade Armando' pun beredar di media sosial.
Walaupun Ade Armando telah meminta maaf melalui video klarifikasi, teguran terhadap pernyataan kontroversialnya terus berlanjut. Salah satu teguran datang dari Kaesang Pangarep, Ketua Umum PSI.
Bahkan, Grace Natalie, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, menyatakan bahwa sanksi untuk Ade Armando sedang dalam pembahasan internal partai.
Ade Armando Salah Sasaran
Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing, memberikan perspektif berbeda terkait kritikan Ade.
Ia menilai bahwa pernyataan Ade Armando salah sasaran dan tidak tepat menyebut Kasultanan Yogyakarta sebagai dinasti politik.
Menurutnya, kasultanan tersebut terbentuk atas dukungan dan kehendak rakyat di seluruh wilayah, dengan setiap sultan berupaya melindungi dan meningkatkan kesejahteraan warganya.
"Rakyat di sana sangat mencintai Sultannya," kepada PARBOABOA, Senin (4/12/2023).
Bagi Emrus, dinasti politik merujuk pada kepemimpinan yang dihasilkan dari rekayasa politik kekuasaan.
Praktik semacam ini cenderung menciptakan relasi yang memaksa agar kekuasaan selalu berpusat di sekitar keluarga inti.
"Mereka menggunakan rekayasa konstitusi, undang-undang, dan melakukan penyanderaan politik terhadap kekuatan politik, termasuk partai politik, agar seluruh kekuatan politik mendukung dengan penuh agar kekuasaan tetap berada di tangan keluarga inti," tuturnya.
Dalam konteks inilah, kata Emrus, penggunaan institusi pemilihan umum sering dijadikan alat legitimasi kekuasaan yang melanggengkan praktik kecurangan.
"Kepemiluan dijadikan sebagai topeng legitimasi kekuasaan agar tampak seperti berdemokrasi," papar Emrus.
Hal senada juga disampaikan oleh Pakar Politik dari Universitas Nasional (UNAS), Massa Djafar. Ia menilai bahwa pernyataan Ade tidak relevan.
DIY, kata Djafar, punya nilai strategis dalam sejarah perjuangan kedaulatan Indonesia. Bahkan, Kesultanan Yogyakarta, yang sudah eksis sebelum kemerdekaan, memberi modal kepada pemerintah Indonesia.
Karena itu, negara telah memberi pengakuan istimewa terhadap kedudukan kesultanan Yogyakarta, sebagai Daerah Istimewa.
"Jadi, Ade Armando dalam mengambil perbandingan kurang tepat," ungkap Djafar kepada PARBOBOA, Senin (4/12/2023).
Respon Sultan DIY
Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X merespons pernyataan Ade Armando dengan santai. Menurutnya, siapapun berhak berkomenta.
Namun, ia menegaskan bahwa model pemerintahan di DIY sudah sesuai dengan konstitusi Indonesia, yakni UUD 1945 BAB VI Pemerintahan Daerah Pasal 18B ayat (1).
Sementara soal politik dinasti, Sultan menyatakan bahwa politik dinasti tergantung pada perspektif masyarakat, dan yang terpenting adalah DIY telah melaksanakan Undang-Undang yang berlaku.
Editor: Atikah Nurul Ummah