Darurat Sampah di Simalungun, TPA Ilegal Menjamur

Seorang Pria lanjut usia yang sedang memungut barang bekas di tumpukan sampah di TPA ilegal di Batu VIII (Foto: Parboaboa/Jeff Gultom)

PARBOABOA, Simalungun - Persoalan pengelolaan sampah di Kabupaten Simalungun masih menjadi sorotan.

Minimnya sarana pengangkut sampah di tingkat Kecamatan dan Kabupaten membuka peluang munculnya TPA ilegal.

Di sisi lain, masyarakat pun semakin menuntut hadirnya lingkungan yang bersih.

Beberapa kepala desa di Kabupaten Simalungun mengakui adanya masalah tersebut.

Sebagai respons, beberapa di antara mereka memilih untuk mengelola sampah rumah tangga secara mandiri.

Salah satu contoh, TPA ilegal yang terletak di jalan Asahan Batu VIII, di perbatasan antara Nagori Dolok Hataran, Kecamatan Siantar, dan Nagori Senio, Kecamatan Gunung Malela.

Rudi Hartono, Kepala Desa Sitalasari, Kecamatan Siantar, menjelaskan bahwa jarak yang harus ditempuh ke TPA resmi di Batu 20, Kecamatan Panombean Panei, terlalu jauh.

Ia menjelaskan, truk sampah kecamatan hanya ada 2.

"Kalau satu perumnas ini aja 2 truk sampah itu pasti sudah penuh dan desa sitalasari itu butuh tiap hari diangkut bukan seminggu sekali atau 2 hari sekali," jelasnya kepada PARBOABOA, Selasa (09/07/2024).

Bahkan hingga saat ini, "satu harinya desa sitalasari harus mengantarkan 6 sampai 7 perjalanan dengan pengangkut sampah roda 3 ke TPA di Batu VIII tadi," tambahnya.

Peningkatan volume sampah jelasnya, disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang sangat cepat dengan total kurang lebih 4000 penduduk di desa Sitalasari.

Hal ini juga lanjutnya, disebabkan oleh kurangnya jumlah armada truk pengangkut sampah di Kecamatan.

Rudi mengungkapkan, beberapa tahun lalu pihak desa sempat melakukan penyerahan pengangkutan sampah kepada pihak kecamatan.

Namun, usaha ini tidak dapat membawa perubahan yang signifikan.

"Masalah dari dulu itu di kecamatan Siantar ini adalah sampah. Membludaknya sampah itu dengan jauhnya jarak yang ditempuh ke Batu 20 Panombean Panei dengan padatnya penduduk tadi gak sesuai dia," tegasnya.

Sehingga pihaknya dengan beberapa kepala desa (Pangulu) di beberapa desa (Nagori) sekitar seperti Nagori Lestari Indah dan Nusa Harapan, berinisiatif menyewa lahan kosong yang jaraknya 3,1 KM dari kantor Kepala Nagori Sitalasari.

"Mereka, petugas sampah, dari pukul 07.00 WIB mulai berangkat dari sini membuang ke situ aja dengan 7 perjalanan baru selesai pada pukul 16.00 WIB - 17.00 WIB. Bagaimana lagi mengantar ke TPA di Panombean Panei?" tanyanya.

Ia mengakui, penetapan TPA tersebut, pihak kepala Nagori tidak menggunakan Analisis Dampak Lingkungan serta tidak melibatkan pihak kecamatan serta pihak Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Simalungun.

Sebab untuk dua hari saja, jika sampah tidak diangkut pasti sudah membludak, "lantas, siapa yang mau bertanggung jawab kepada masyarakat?" ungkapnya.

Rudi mengklaim, tindakan yang ia lakukan itu, semata-mata memenuhi kebutuhan dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat di Nagorinya.

Lebih lanjut ia mengungkapkan, pihaknya sempat juga mempertimbangkan untuk melakukan pengantaran sampah langsung ke TPA di Nagori Embong Kecamatan Panombeian Panei di Kabupaten Simalungun.

Namun, alat transportasi pengangkut sampah yang tersedia di Desa Sitalasari saat ini tidak memadai.

Ia menjelaskan, dengan kecepatan motor pengangkut sampah saat ini, waktu satu jam perjalanan tidak cukup untuk mencapai lokasi pembuangan sampah di Batu 20 Panombean Panei.

"Kita paksa cepat, sudah pasti barang akan hancur. Apalagi alat yang kita gunakan bukanlah barang baru. Bahkan barang baru pun jika dibawa ke Batu 20 Panombean Panei untuk dibuang, pasti akan mengalami kerusakan," ungkapnya.

Permasalahan ini semakin diperparah dengan kebutuhan becak yang harus melakukan minimal empat kali hingga tujuh kali perjalanan setiap harinya.

Jika pekerja sampah mengendarai dengan kecepatan tinggi jelasnya, "siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu di jalan?" jelasnya.

Menurutnya, kebijakan ini adalah kebijakan desa untuk desa sendiri, oleh karena itu, ia mengakui, pihaknya tidak mampu mewujudkan pelayanan yang ideal.

Selain itu, dia juga pernah menghadapi situasi kurang menyenangkan sebagai Kepala Nagori Sitalasari.

Hal itu terjadi sambungnya, saat warganya tidak mengangkut sampah karena kendaraan pengangkut sampah roda 3 merk Viar rusak.

"Maaf kata, disini kita pernah kejadian dua hari becak kita rusak. Becak merk Viar ini kan gak ada disini bengkelnya jadi butuh waktu yang lebih lama untuk diperbaiki lalu ada beberapa warga yang datang mengantar sampahnya kemari," terangnya.

Padahal dalam kejadian tersebut, warga yang melakukan tindakan itu dengan jelas melihat bahwa kendaraan sampah sedang diperbaiki.

Masyarakat terangnya, tidak sabar, "apalagi kalau kita menunda pengambilan sampah, tidak menutup kemungkinan akan menjadi bak sampah lah kantor Pangulu ini," tutupnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Abdul Halim Damanik, Kepala Nagori Senio, Kecamatan Gunung Malela, Kabupaten Simalungun.

Pihaknya juga menghadapi tantangan yang sama dalam pengelolaan sampah. "Sebelumnya masyarakat Nagori Senio ini membuang sampah di kebun-kebun, kadang ada yang di sungai bah bolon, juga terkadang di pinggir jalan," ungkapnya kepada Parboaboa, Senin (08/07/2024).

Akhirnya perangkat desa melalui Badan Usaha Milik Nagori (BUMNag), membuat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di jalan Asahan KM 13, Huta 3, Nagori Senio, Kecamatan Gunung Malela.

"Jadi saya sebagai Pangulu mengambil inisiatif untuk membersihkan nagori dari sampah dan untuk mencegah masyarakat agar tidak asal membuang sampah. Kami juga mengajak rapat para tokoh dan pemuka agama masyarakat," ucapnya.

Adapun pertimbangan dari pihaknya, karena tempat TPA yang jauh serta tidak merugikan masyarakat setempat.

"Dan ini khusus untuk Nagori kami saja dan TPA ini, sudah beroperasi selama 2-3 tahun," tambahnya.

 Ia mengakui, penetapan TPA tersebut berhasil mengurangi tindakan pembuangan sampah sembarangan di Nagorinya.

Walaupun berdasarkan datanya, hanya 400 lebih warga dari total 720 yang mau membayar iuran sampah sebesar Rp. 7000.

"Kami masih mengandalkan swadaya masyarakat dalam hal biaya pengutipan, dan terkadang desa juga yang harus menutupi kekurangan biaya operasional tersebut," katanya.

Ia menjelaskan, TPA resmi hanya ada di Nagori Embong Kecamatan Panombeian Panei di Kabupaten Simalungun.

Namun tidak adanya truk pengangkut sampah di Kecamatan Gunung Malela, serta jarak dan biaya operasional menjadi kendala utama.

Menurut Abdul Halim,walau sempat ada rencana dari kecamatan untuk menyediakan truk operasional pengangkut sampah agar tiap nagori bisa membuang sampah ke TPA yang lebih besar,

Namun, hingga saat ini, truk sampah dari kecamatan belum juga tersedia.

"Kami mendukung rencana tersebut, dan kami berharap pihak pemerintah memberikan perhatian kepada kecamatan Gunung Malela dalam penyediaan truk pengangkut sampah," ungkapnya.

Pihak perangkat Nagori Senio juga mengaku siap mengarahkan masyarakat untuk membuang sampah ke lokasi yang ditentukan oleh kecamatan.

Mereka bahkan bersedia mengikuti arahan pihak pemerintah kabupaten Simalungun jika sarana pengangkut sampah sudah memadai.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS