Dididik jadi Tukang Hapal, Kapan Belajar Kritis?

Ketika pendidikan sains lebih menekankan hafalan, pemahaman mendalam, kreativitas dan berpikir kritis diabaikan. (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

Ini Soal Pentingnya Menjadi Kritis

PARABOABOA, Pematangsiantar – "Kami hanya diberitahu rumus dan diberikan soal untuk dikerjakan, dengan tujuan agar hafalan tersebut bermanfaat saat ujian," ucap Sakura (13), siswi kelas delapan SMPN 4 Pematangsiantar.

Begitulah hari-harinya, tidak lepas dari mencatat dan menghafal, yang kadang terasa jauh dari kehidupan nyata. Guru datang, menuliskan rumus di papan tulis, memberikan beberapa contoh soal, lalu memberi tugas untuk dikerjakan.

Meski ada penjelasan tentang materi, Sakura merasa pemahaman yang diberikan tidak mendalam dan tidak menjawab rasa penasarannya, terutama terkait alasan keberadaan rumus-rumus tersebut.

“Karena ada juga rasa penasaran tentang fenomena-fenomena alam, seperti apa yang sebenarnya ada di dalam sebuah galaksi.”

Hal ini yang akhirnya membuat Sakura bingung menjelaskan manfaat belajar sains di kehidupan sehari-hari. Dia merasa, belajar akan lebih seru kalau lebih banyak praktiknya daripada hanya menghafal.

Roksen (14), siswa kelas delapan di Taman Asuhan Pematangsiantar, merasakan hal serupa. Pelajaran sains di sekolahnya juga masih berfokus pada hafalan rumus yang menurutnya ribet dan membosankan.

Banyak rumus yang dikenalkan, banyak pula PR (pekerjaan rumah) yang diberikan, namun penjelasan oleh guru masih ogah-ogahan.

"Saya juga penasaran kenapa gravitasi itu ada, misalnya, dan kami tidak diajarkan tentang itu," curhatnya.

Lalu ada Nabila Aulia (15), siswi kelas sebelas SMKN 1 Pematangsiantar, yang merasa kalau hapalan membuatnya mudah lupa karena kurangnya pemahaman.

Menurut siswi jurusan Desain Komunikasi Visual ini, akan lebih menarik jika guru juga mengajar menggunakan teknik imajinasi.

Imajinasi dinilai lebih dari sekadar fantasi, karena ketika seseorang berhasil mendesain sesuatu yang indah, itu menunjukkan bahwa imajinasi merupakan hal nyata sehingga dapat menciptakan suatu desain.

"Saya akan merasa tertarik jika hal seperti itu diajarkan, karena itu pemahaman yang lebih dalam. Selama ini, belajar hanya sebatas pada pembuatan desain tanpa banyak membahas konsep di baliknya.”

Bukan hanya di tingkat SMP dan SMA, universitas di Pematangsiantar juga masih ada menerapkan sistem yang sama. Prabowo (28), mahasiswa pertanian USI (Universitas Simalungun), mengingat kalau pelajaran sains di kampusnya cenderung teori yang harus dihafal.

"Saat memasuki semester pertama di perguruan tinggi, materi sains dasar yang telah diajarkan di SMA diulang lagi.”

Pelajaran dasar memang penting, namun menurutnya tidak perlu diulang selama satu semester jika masih berkutat di hafalan.

"Pendidikan sains menurut saya harusnya lebih banyak praktik, sehingga siswa dapat merasakan pengalaman empiris.”

Pendekatan semacam itu baginya akan membuat pelajaran lebih melekat dalam ingatan dan dapat memicu pengembangan kemampuan berpikir kritis.

Begitu juga pengakuan seorang mahasiswa Teknik Mesin di Universitas Nomensen Pematangsiantar, Daniel (24), yang mengungkap pendidikan sains selama masa kuliahnya, khususnya fisika, hanya menekankan pada pengajaran rumus dan penggunaannya dalam perhitungan.

Guru-guru tidak menjelaskan mengapa rumus tersebut ada atau bagaimana konsep di balik rumus itu berkembang, sehingga pemikiran kritis dalam menganalisis konsep tidak terbangun.

"Akibatnya, saya baru mengenal istilah berpikir kritis setelah menjadi mahasiswa.”

Dalam pandangannya, pendidikan sains seharusnya tidak cenderung hafalan dan prosedur hitungan, tetapi juga harus memperkenalkan anak didik pada aplikasi nyata dari konsep-konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, pelajaran fisika bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena alam yang kita temui sehari-hari, sehingga dapat membantu siswa memahami dampak ilmu pengetahuan terhadap dunia sekitar dan peran manusia sebagai bagian dari alam.

Dengan pendekatan ini, pelajaran tidak hanya menjadi abstrak dan teoritis tetapi juga relevan dan bermakna.

Hal demikian dapat memicu minat siswa untuk berpikir kritis, menghubungkan pelajaran dengan pengalaman pribadi dan mempertanyakan bagaimana konsep-konsep tersebut berlaku dalam konteks yang lebih luas.

Daniel percaya, jika pendidikan sains disampaikan dengan cara yang lebih menyeluruh, siswa akan lebih siap menghadapi tantangan dunia nyata setelah lulus sekolah.

"Kehidupan dengan semua permasalahannya akan benar kita rasakan setelah tamat sekolah. Harusnya pendidikan sains di masa sekolah bisa membekali kemampuan berpikir kritis untuk masa depan," tutupnya.

Kendala Berpikir Kritis

Pengamat Pendidikan, Ari S. Widodo Poespodihardjo, menilai kalau kemampuan berpikir kritis seharusnya menjadi dasar bagi semua siswa. Namun, pelaksanaannya tidaklah mudah, terutama karena berbagai faktor, salah satunya adalah kondisi sosial ekonomi yang sulit.

"Ketika kebutuhan dasar seperti makanan belum terpenuhi, akan sulit bagi siswa untuk berpikir dengan tenang," katanya pada Parboaboa, Jumat (23/8/2024).

Ari menjelaskan, di daerah atau sekolah yang lebih mampu, beberapa institusi memang bisa menyediakan pembelajaran sains yang ideal. Namun sekolah-sekolah semacam ini sering kali terkesan ‘elit’ karena hanya segelintir yang bisa mencapainya.

Hal itu mengingat pelaksanaan proses pembelajaran yang ideal membutuhkan kondisi yang juga ideal, seperti biaya, kemampuan siswa,dan kapasitas sekolah. Kondisi ideal semacam itu sangat sulit dicapai dan jarang ada.

Meski demikian, Ari menekankan bahwa menyerah bukanlah pilihan. Perlu mengadopsi paradigma baru dengan belajar dari sekolah-sekolah di negara maju.

"Di sana, pembelajaran sains sering dibagi sesuai kebutuhan. Ada sekolah yang fokus mencetak ilmuwan, di mana seluruh infrastruktur dan kurikulum diarahkan ke tujuan tersebut, meskipun ini membutuhkan kondisi ideal," tambahnya.

Sebagai alternatif, Ia menyarankan pembelajaran sains yang lebih aplikatif dan disesuaikan dengan kondisi lokal. Misalnya, menjadi ahli las atau pandai besi juga memerlukan pengetahuan sains, meskipun dalam bentuk yang lebih praktis.

Faktor ekonomi menurutnya memang memainkan peran besar dalam pembelajaran sains, karena laboratorium yang baik, guru yang terlatih, dan materi pelajaran, semuanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Ia mencatat bahwa masalah ini tak hanya dihadapi oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat meski kondisi pendidikan di sana tidak serumit di sini.

Meski pembelajaran sains yang ideal sulit dicapai, menurutnya di sini masih bisa menyesuaikan pendekatan agar relevan dengan kondisi dan kebutuhan lokal, tanpa melupakan pentingnya pengetahuan praktis.

Dalam keterangan terpisah, Sekretaris Dinas Pendidikan Pematangsiantar, Simon Tarigan, menjelaskan bahwa saat ini terdapat program transisi yang disebut "PAUD ke SD yang Menyenangkan," sebagai regulasi dari Kemendikbud mulai tahun 2023.

"Program ini menetapkan bahwa siswa kelas satu dan dua SD (Sekolah Dasar) tidak lagi diwajibkan untuk mengikuti tes membaca dan menulis," jelasnya pada Parboaboa, Jumat (23/8/2024).

Latar belakang diadakannya program tersebut untuk menghindari penurunan semangat belajar yang sering terjadi pada anak-anak yang sejak TK sudah dibebani dengan pelajaran membaca dan menulis.

Ketika anak-anak terlalu dini dipaksa menghafal huruf dan angka, mereka mungkin bisa membaca, tetapi tidak benar-benar memahami apa yang mereka baca.

"Ibaratkan seperti memetik buah yang belum matang. Hasilnya tidak optimal, justru merugikan perkembangan anak," tambahnya.

Sebab anak-anak di usia ini masih berada dalam dunia bermain, dan pendidikan seharusnya tidak membebani mereka secara berlebihan.

"Kita tidak ingin lagi melihat anak-anak TK (Taman Kanak-kanak) membawa tas penuh dengan buku yang memberatkan mereka," ujarnya.

Program ini, jelas Simon, merupakan langkah transisi untuk memperbaiki dampak dari pendidikan sains yang cenderung mengutamakan hafalan, yang membuat siswa lekas jenuh dalam belajar.

Bersambung...
Editor: Yohana
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS