PARBOABOA-Jakarta - Dugaan intervensi penguasa di pemilu 2024 untuk memenangkan pasangan calon (Paslon) tertentu terus berhembus.
Bentuk intervensi itu sangat bervariasi dengan melibatkan jaringan kekuasan dari tingkat atas sampai tingkat bawah, termasuk aparat desa.
Temuan National Corruption Watch (NCW), organisasi masyarakat sipil yang fokus pada masalah tindak pidana korupsi, misalnya mengungkap beragam bentuk intervensi itu berdasarkan aduan masyarakat yang mereka terima.
Sejumlah aparat desa bahkan disinyalir memberi janji berupa uang berkisar Rp 500-Rp 1000.000 kepada setiap orang, dengan catatan harus memilih paslon tertentu saat pencobolsan di TPS 14 Februari nanti.
Tak merinci aparat desa di mana dan dilakukan oleh paslon siapa, NCW hanya mengatakan, apa yang dilakukan oleh aparat desa tersebut merupakan bentuk pelanggaran pemilu sekaligus bukti nyata adanya politik uang (Money Politic).
Lantas, NCW meminta masyarakat agar tetap menggunakan hak pilihnya nanti sesuai dengan hati nurani sambil terus melaporkan segala bentuk kecurangan pemilu kepada pihak berwajib.
“Kami menghimbau masyarakat untuk lebih bijak dalam menentukan pilihan dan melaporkan setiap bujuk rayu politik uang yang bisa dijerat dengan hukuman pidana," kata Ketua DPP NCW, Hanifa Sutrisna dalam keterangan tertulis yang diterima PARBOABOA, Sabtu (3/2/2024).
"Kami tahu bahwa uang sebesar itu sangat berarti bagi masyarakat yang membutuhkan, tapi jika salah pilih dapat mengorbankan nasib seluruh rakyat Indonesia selama 5 tahun ke depan," tambahnya.
Kekhawatiran NCW terhadap politik uang juga sangat berdasar dengan banyaknya aduan masyarakat yang menyampaikan ada pendukung salah satu paslon, dengan modal dan jejaring bisnis yang dimiliki diduga kuat digunakan membiayai kegiatan kampanye paslon tertentu.
Sayangkan ketidaknetralan Presiden Jokowi
Hanifa juga menyayangkan ketidaknetralan presiden Jokowi di pemilu mendatang yang cenderung mendukung pasangan calon tertentu. Menurutnya, jika presiden tak mampu mengendalikan diri agar tetap netral, maka konflik di tengah-tengah masyarakat sulit dibendung.
“Menurut kami di DPP NCW jika pemilu atau pesta demokrasi ini tidak dilakukan secara jujur dan adil serta netralitas dari pemimpin bangsa ini tidak dijaga kami khawatirkan akan terjadi konflik yang tidak dinginkan oleh seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.
Belum lama ini, Presiden Jokowi memang menyampaikan pernyataan kontroverisial dengan mengungkapkan, presiden boleh berkampanye asal tidak menggunakan fasilitas negara.
Namun menurut Hanifa, pernyataan tersebut bermasalah secara moral dan etika karena selain sebagai kepala negara, putra sulung presiden, yaitu Gibran Rakabuming Raka merupakan peserta pemilu, yaitu cawapres Prabowo Subianto.
"Yang kami sesalkan adalah ucapan tersebut keluar dari seorang Jokowi yang merupakan Presiden Republik Indonesia yang masih aktif dan melibatkan anak kandung dari Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Secara etika politik tindakan ini menurut berbagai kalangan, pakar dan tokoh bangsa memperlihatkan bahwa Jokowi sangat haus dengan kekuasaan."
Tak hanya itu, Hanifa juga menyinggung soal pelanggaran konstitusi belakangan oleh rezim hanya untuk mempertahankan kekuasaan. Menurutnya, ini merupakan salah satu pelanggaran hukum dan etika yang meski dilawan.
NCW, kata Hanifa mencermati penolakan atas pelanggaran konstitusi dan etika berpolitik yang dikumandangkan ratusan guru besar dari universitas-universitas ternama di Indonesia, sebagai bukti pemerintah Jokowi salah jalan memaknai arti demokrasi yang diperjuangkan sejak reformasi 1998.