PARBOABOA, Samosir - Suatu sore di pekan lalu, dermaga Pelabuhan Tomok, Pulau Samosir, baru saja kedatangan sebuah kapal. Suasananya tidak begitu ramai.
Saat pintu Feri terbuka lebar, para penumpang menjejakkan kakinya ke daratan dengan sangat hati-hati. Mobil-mobil bergerak perlahan keluar dari rongga kapal.
Sementara itu, di pinggir pelabuhan, sejumlah orang terlihat sedang menenteng tas. Mereka akan segera memasuki kapal, menyebrangi danau Toba menuju Parapat.
Di tengah suasana itu, wanita berusia 74 tahun, Elisa Sitindaon, duduk di depan kiosnya memperhatikan langkah orang-orang yang melintas.
Ia menaruh harap, agar siapa saja yang melewati kiosnya akan membeli barang dagangannya.
Kios sederhana berukuran 2 x 2 meter milik Elisa memajang berbagai macam dagangan. Ada minuman dingin, kacang-kacangan, roti, dan makanan ringan lainnya.
Namun, yang paling menonjol dari semua jenis dagangan tersebut adalah ikan asin danau yang dipajang secara teratur di bagian depan kios.
"Dari pagi sampai sore begini, belum ada yang membeli ikan asin ini," ujarnya dengan tenang pada Parboaboa, Sabtu (6/4/2024) di kawasan Pelabuhan Tomok.
Elisa mengungkapkan, penduduk Samosir jarang membeli ikan asin yang dijual 30 per kilogram tersebut. Hal itu karena mereka sudah terbiasa dengan rasanya sehingga cenderung membuat bosan.
Kondisi ini, terkadang terjadi selama sebulan. Hampir tidak ada pembeli - membuat stok ikan secara terpaksa harus dibuang ke tempat sampah.
Jika permintaan sedang ramai, Elisa dapat menjual satu goni ikan. Meski, Ia tidak bisa memastikan berapa kilogram ikan asin danau yang terdapat dalam satu goni tersebut.
Permintaan ikan asin danau hanya meningkat saat hari-hari besar atau musim liburan. Itupun mayoritas pembelinya berasal dari luar Pulau Samosir, khususnya para wisatawan.
Elisa menuturkan, pengelolaan ikan asin danau membutuhkan waktu yang panjang.
Prosesnya dimulai dengan mengambil ikan nila dari keramba, lalu direndam dalam drum selama dua hari.
Ikan kemudian diasinkan dengan menaburkan garam kasar ke seluruh permukaan dagingnya. Setelahnya, dikeringkan di bawah sinar matahari selama beberapa hari.
Durasi pengeringannya bervariasi, tergantung pada cuaca yang berubah-ubah di suatu daerah.
Selain itu, pembuatan ikan asin danau membutuhkan banyak kesabaran karena daging ikan nila yang tebal membutuhkan waktu cukup lama untuk mengering secara sempurna.
Kata Elisa, awalnya, produksi ikan asin danau dimulai di Parapat. Seiring berjalan waktu, produksinya menyebar ke berbagai wilayah di sekitar Samosir.
Dalam ingatannya, ia berujar "produksi ikan asin danau telah ada sejak lama di Pulau Samosir, pertamanya di kawasan Tomok ini sekitar 20 tahunan lalu."
Bahkan, pengelolaan ikan asin danau sendiri terang dia telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah kuliner Pulau Samosir.
"Jadi, meski jarang orang Samosir membelinya, tetap akan saya jual," ujarnya tersenyum.
Elisa juga optimis, meski saat ini belum mendapat keberuntungan, di hari esok, ia masih punya kesempatan menawarkan ikan asinnya kepada pembeli.
Sementara itu, sambil menikmati liburannya, Marlina Pakpahan (56), berbagi cerita tentang pengalamannya membeli ikan asin nila.
Setahun lalu, wanita asal Tanjung Balai ini menyempatkan diri untuk membeli ikan asin di Pelabuhan Tomok. Namun, ia mengaku mendapat kesan yang tidak menyenangkan.
"Rasanya terlalu asin. Saya kecewa membelinya," ucapnya saat berbincang dengan Parboaboa di Kampung Ulos Huta Raja, pada Minggu (8/4/2024).
Marlina yang dulu lahir di Pulau Samosir ini, juga menyinggung proses pembuatan ikan asin nila.
Baginya, kemungkinan ikan tersebut menjadi terlalu asin karena pengolahannya yang mungkin terlalu berlebihan dengan garam.
Padahal keseimbangan rasa sangatlah penting menurut Marlina. Jika tidak terlalu asin, rasa ikan akan lebih lezat karena dagingnya yang tebal, memberikan kepuasan saat disantap.
Kekecewaannya membeli ikan asin nila tersebut membuat Marlina tidak lagi berniat membelinya saat liburan ke Samosir.
Walau begitu, Ia mengakui, pengalamannya kala itu bisa saja tidak terjadi lagi saat ini. Mungkin saja telah berubah kata dia, meski belum bisa dipastikan.
"Mungkin juga kebetulan saat itu saya mendapatkan yang tidak segar," tambahnya.
Editor: Gregorius Agung