PARBOABOA, Medan - Sejumlah kalangan menanggapi hukuman tembak ditempat bagi pelaku begal. Ada yang pro, ada pula yang kontra dengan tindakan dari aparat penegak hukum itu.
Seperti yang diutarakan Pengamat Sosial dari Universitas Sumatra Utara (USU), Suryadi.
Ia sepakat dengan tindakan aparat keamanan untuk menembak mati pelaku begal di Kota Medan yang belakangan telah memakan korban jiwa. Menurutnya, maraknya tindakan begal di Kota Medan sudah sangat mengkhawatirkan.
"Perlu ada tindakan tegas dan terukur. Tindakan itukan ada dasarnya, kalau kemudian sudah sangat chaos dan mengganggu keamanan dan kenyamanan tidak ada masalah, harus ada efek jera," katanya kepada PARBOABOA, Selasa (11/7/2023).
Suryadi menyebut, kebijakan menembak mati pelaku kriminal bukan tindakan yang asal-asalan. Ia mengatakan, Kota Medan menjadi kota darurat begal karena banyaknya korban luka dan jiwa dari tindakan kriminal itu.
"Tindakan tegas dan terukur itu sudah sangat darurat atau tindakan akhir, mau tak mau harus dilakukan sehingga ada efek jera, kalau sekedar nasehat dan tangkap itu tidak akan merubah," jelas Suryadi.
Meski begitu, ia mengatakan tindakan menembak mati pelaku begal juga harus sesuai prosedur.
"Kalau sekarang ini harus dilakukan seperti itu, tidak bisa enggak. Tapi yang dipahami bukan lihat begal langsung tembak mati, tetap harus ada prosedur," ungkap akademisi ini.
"Kita juga melihat Medan dalam kondisi darurat (kejahatan begal). Tapi darurat bukan langsung tembak di tempat. Ada hal-hal tertentu harus dipahami. Beda pendapat biasa tapi kita harus lihat kondisi sekarang," tambah Suryadi.
Ia juga meminta Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Provinsi Sumatra Utara untuk bisa memberikan rasa aman dan nyaman kepada warga negara. Bisa saja, lanjut dia, dengan mengaktifkan kembali pos-pos ronda.
"Sehingga kebijakan Pemko Medan ini bisa memunculkan rasa aman bagi masyarakatnya," pungkasnya.
Sebelumnya, Polrestabes Medan, Sumut menyatakan telah menembak mati salah seorang pelaku begal sadis di kota itu.
Wali Kota Medan, Bobby Afif Nasution dalam cuitannya di Twitter @bobbynasution_ lantas mengapresiasi kinerja kepolisian itu.
Menurutnya begal dan pelaku kejahatan tidak memiliki tempat di Kota Medan.
Belum lama ini, seorang mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara (UMSU) tewas karena perilaku begal.
Sementara itu, Lembaga bantuan hukum (LBH) Medan tegas menolak adanya tindak tegas berupa tembak mati terhadap pelaku begal brutal yang ada di Kota Medan.
Wakil Direktur LBH Medan, Muhammad Alinafiah Matondang dalam keterangan persnya menyangkan dan mengecam pernyataan Wali Kota Medan Bobby Afif Nasution yang mendukung dilakukannya tembak mati terhadap pelaku begal dan geng motor di kota Melayu Deli itu.
Meskipun mendukung penuh upaya Kepolisian mencegah dan memberantas begal dan geng motor, LBH Medan menilai upaya tersebut tetap harus mengedepankan aturan hukum yang berlandaskan pada hak asasi manusia.
LBH Medan menilai, perilaku tembak mati terhadap begal tidak jauh berbeda dengan sadisnya begal yang ada di Kota Medan.
"Sikap tersebut juga dinilai tidak jauh beda dengan sadisnya pelaku begal dan geng motor tanpa belas kasihan melukai dan membunuh para korbannya, " katanya, Selasa (11/7/2023).
Alinafiah menilai perbuatan tembak mati juga bertentangan dengan hukum yang berlaku seperti hak asasi manusia, apalagi jika dilakukan dengan tidak prosedural.
"Sikap yang bertentangan dengan hukum dan HAM, sebab hal tersebut mengarah kepada dugaan pembunuhan tanpa prosedur hukum dan putusan pengadilan (extra judicial killing)," katanya.
Alinafiah menambahkan, Wali Kota Medan harusnya mengoreksi diri, karena maraknya aksi kriminalitas begal dan geng motor ini tidak lepas dari tanggung jawab seluruh stakeholder termasuk Wali Kota dan jajarannya.
"Harusnya Wali Kota dan jajaran bisa melakukan pengawasan ketat dan rutin di lingkungan setempat melalui kepala lingkungan bersama bhabinkamtibmas, babinsa dan tokoh masyarakat," ungkapnya.
LBH mengingatkan, pencegahan dan penindakan maraknya aksi begal harus tetap berpedoman pada Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM Juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Sipil dan Politik dan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian Juncto Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan tugas Polri.
Sedangkan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengingatkan aparat kepolisian untuk tetap mematuhi peraturan penggunaan kekuatan dalam tindakan Kepolisian yang diatur dalam secara rinci dalam Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 (Perkap 1/2009).
"Peraturan ini menjadi pedoman bagi aparat kepolisian dalam pelaksanaan tindakan yang memerlukan penggunaan kekuatan, sehingga terhindar dari penggunaan kekuatan yang berlebihan yang tidak dapat bertanggung jawab," kata peneliti ICJR, Girlie Aneira Ginting.
Peraturan itu, kata dia, menjelaskan dalam situasi-situasi apa upaya penembakan dapat dilakukan dan prinsip dasar penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian
Adapun bunyi Pasal 5 ayat (1) Perkap 1/2009 yaitu aparat wajib mengupayakan terlebih dahulu beberapa tahapan sebelum melakukan penembakan dengan senjata api.
Kemudian, penembakan dengan senjata api dapat dilakukan tanpa peringatan atau perintah lisan namun hanya dalam keadaan apabila terdapat ancaman yang bersifat segera yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota polisi atau masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (3) Perkap 1/2009.
Di Pasal 7 ayat (2) huruf d juga menyatakan penggunaan senjata api oleh aparat tersebut untuk mengantisipasi tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum.
"Bahwa penggunaan kekuatan senjata api dalam tindakan kepolisian menjadi upaya yang paling terakhir (last resort) dan sifatnya adalah untuk melumpuhkan bukan mematikan," jelas Girlie.
ICJR, lanjut Girlie, juga mengingatkan tembak mati pelaku kejahatan pada prinsipnya merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak tersangka atau orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana yang dijamin secara sah oleh peraturan perundang-undangan.
"Setiap pelaku kejahatan atau tersangka termasuk yang statusnya residivis pun memiliki hak untuk dapat diadili secara adil dan berimbang serta menyampaikan pembelaan atas perbuatan yang dituduhkan terhadapnya," imbuh dia.