PARBOABOA, Simalungun – Kehadiran dan pemanfaatan teknologi pertanian menghadirkan situasi dilematis di tengah masyarakat, khususnya buruh tani.
Kondisi ini dialami oleh buruh tani di Kecamatan Pematang Bandar, Kabupaten Simalungun.
Di satu sisi, pemanfaatan mesin-mesin pertanian bisa memberi manfaat yang besar bagi pemilik lahan, namun di sisi lain, para buruh tani terancam kehilangan pekerjaan.
Adapun teknologi pertanian yang dimaksud adalah mesin pengolah tanah, transplanter, dan combine harvester.
Kushandani (47), Penyuluh Pertanian BPP Kecamatan Pematang Bandar, mengakui adanya dilema ini.
Mesin-mesin pertanian ini jelasnya, merupakan program pemerintah yang tentunya harus didukung, tetapi penerapannya bisa jadi ancaman bagi buruh tani.
"Ini dilema, tidak mungkin kita menghambat program pemerintah. Sebenarnya, di adat timurnya kita ada tantangan dengan masyarakat," ujarnya kepada Parboaboa, Kamis (08/08/2024).
Kushandani mengakui, meski sosialisasi mengenai penggunaan teknologi pertanian telah dilakukan, penerapannya di lapangan tidak berjalan mulus karena adanya resistensi dari masyarakat.
"Kalau untuk pengenalan teknologi itu sudah dan selalu kita sosialisasikan setiap kali kita ada kunjungan di lapangan, tapi ya itu tadi, pak. Bahasanya ke masyarakat itu tadi," tambahnya.
Selain itu, ada kekhawatiran dari para pemilik lahan yang dulunya pernah bekerja sebagai buruh tani.
Mereka merasa kehadiran teknologi pertanian ini jadi ancaman bagi buruh tani karena bisa kehilangan pekerjaan atau mata pencaharian.
"Inilah tantangan kami sebagai penyuluh pertanian. Di satu sisi, kami harus mendukung program pemerintah, tapi di sisi lain, kami juga harus mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri," kata Kushandani.
Meskipun begitu, jelasnya, ada optimisme bahwa dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, masyarakat akan lebih terbuka terhadap teknologi seiring dengan perubahan pola pikir generasi muda.
"Bahasanya ya kita harus pikirkan masyarakat juga dan mencari solusi bersama agar teknologi bisa diterima tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat," kata Kushandani.
Menurut dia, penerapan teknologi di sektor pertanian sangat penting. Namun, langkah-langkah pengenalan dan implementasinya harus disesuaikan dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat.
"Upaya untuk menemukan titik keseimbangan antara penerapan teknologi pertanian modern dan kesejahteraan buruh tani menjadi kunci keberhasilan program ini," tutupnya.
Hal senada diutarakan oleh Sukisno (44). Mantan kepala desa Wonorejo ini mengaku telah mengalami langsung transformasi penerapan teknologi pertanian ini.
Menurut Sukisno, penggunaan mesin dalam pertanian memang mengurangi penyerapan tenaga kerja.
"Mesin itu memang mengurangi penyerapan tenaga kerja, tapi kalau untuk kedepannya itu membantu," ujarnya kepada Parboaboa, Kamis (08/08/2024).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, meskipun mesin bisa dianggap sebagai ancaman bagi buruh tani, harus diakui untuk jangka panjang, teknologi ini akan memberikan manfaat besar.
Apalagi, sambungnya, pekerjaan di sektor pertanian kini semakin sedikit peminatnya dan tenaga kerja menjadi sulit dicari.
Ia merujuk pada pengalamannya sendiri. Sekitar enam tahun yang lalu, ketika mesin-mesin mulai diperkenalkan melalui program pemerintah, ia menjadi bagian dari masyarakat yang menentangnya.
"Kalau dulu memang mengganggu mesin ini sampai aku larang dulu meskipun program pemerintah. Banyak yang menanam padi tadi mengeluh, kami mau bekerja apa lagi? Makanya aku larang," kenangnya.
Pada masa itu, jelasnya, kekhawatiran terbesar adalah dampak langsung yang dirasakan buruh tani, terutama mereka yang menggantungkan nasibnya pada pekerjaan menanam dan memanen padi secara manual.
Namun seiring perkembangan waktu, penggunaan mesin oleh para petani, termasuk Sukisno, semakin meningkat.
Saat ini, terangnya, hampir separuh petani di desanya sudah menggunakan mesin untuk berbagai proses pertanian.
"Memang kalau manfaat mesin ini sama petani yang mempunyai lahan, itu murah, menekan harga operasional," tambahnya.
Namun, penggunaan mesin panen padi menjadi masalah di hadapan mayoritas masyarakat yang masih bergantung pada pekerjaan manual sebagai buruh tani.
Bahkan, dia mencatat, minat masyarakat untuk menjadi buruh tani pemanen terus meningkat setiap tahunnya, meskipun pemanfaatan teknologi pertanian semakin menjamur.
"Kalau sekarang ya sudah hampir separuh yang pakai mesin tanam, itupun karena ada penurunan tadi pada buruh tani penanam,” tutup Sukisno.
Sumarno (53), seorang buruh tani dari Desa Purwodadi, Kecamatan Pematang Bandar, mengakui kehadiran teknologi pertanian menjadi ancaman baginya.
Bagaimana tidak, pekerjaan yang sudah ia tekuni selama puluhan tahun sebagai pemanen padi bisa saja berakhir ketika pemanfaatan teknologi menjadi prioritas oleh pemilik lahan.
"Kalau semua pemilik lahan sudah pakai mesin, saya mau kerja apa lagi, Pak? Pekerjaan ini satu-satunya yang saya bisa lakukan, Pak. Dengan ini, saya bisa kasih makan keluarga saya," ungkapnya dengan penuh kekhawatiran kepada Parboaboa, Jumat (09/08/2024).
Apalagi dengan usia yang sudah tidak muda lagi, tentu menjadi hambatan besar untuk belajar dan memulai pekerjaan baru.
"Usia saya sudah 53 tahun. Kepala ini sudah lambat, tidak seperti dulu lagi. Kalaupun disuruh belajar yang baru, misalnya pekerjaan yang butuh pendidikan, saya rasa itu tidak relevan buat saya," tambahnya.
Menurutnya, perlu ada kebijakan yang bisa membantu mereka tetap bekerja agar tidak terpinggirkan oleh perkembangan teknologi.
Ia mengatakan, jika semua menggunakan mesin, “kami yang tua-tua ini mau jadi apa? Saya hanya ingin bisa terus bekerja dan menghidupi keluarga saya dengan layak," pungkasnya.
Editor: Norben Syukur