PARBOABOA, Jakarta - Paparan subvarian JN.1 mulai menjadi perhatian di Indonesia. Hingga kini pengecekan ulang dilakukan untuk memastikan keberadaan subvarian tersebut.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelumnya telah mengklasifikasikan JN.1 sebagai varian of interest (VoI). Subarian ini juga sempat menjadi kekhawatiran Singapura dalam peningkatan kasus.
Kini, JN.1 diduga sudah menjalar hingga ke Indonesia. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Maxi Rein Rondonuwu menyebut bahwa subvarian ini sudah tercatat sejak awal Desember lalu sebanyak 36 kasus.
Jumlah tersebut meningkat ketimbang November yang hanya lima kasus, seperti yang dilaporkan pada Selasa (19/12/2023) lalu.
Lebih rinci, dugaan adanya subvarian tersebut tersebar ke beberapa daerah, yaitu dua kasus di Jakarta Utara, satu kasus di Jakarta Selatan, satu kasus di Jakarta Timur, dan satu kasus di Batam.
Kemudian 29 kasus di Jakarta Selatan, dua kasus di Jakarta Timur, dua kasus di Jakarta Utara, dan tiga dari Batam.
Rexi menyebut bahwa dari jumlah kasus tersebut sebagian besar belum membutuhkan ICU. Sementara itu Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmidzi, menyebut bahwa hingga kini Kemenkes masih melakukan pengecekan ulang untuk memastikan subvarian tersebut.
“Masih di cek ulang dan dilakukan penyelidikan epidemiologi, sedang divalidasi,” papar Nadia saat PARBOABOA hubungi, Rabu (20/12/2023).
Kata Epidemiolog
Epidemiolog sekaligus Researcher Global Health Security Griffith University Australia Dicky Budiman, menyampaikan bahwa dirinya sudah mengingatkan ancaman dari Subvarian JN.1.
“Kita simpulkan sebagai subvarian yang berpotensi menjadi pemicu lonjakan kasus saat natal dan tahun baru di dunia,” ujarnya kepada PARBOABOA.
JN.1 sendiri merupakan subvarian baru dari BA.2.86, alasan WHO menjadikan subvarian tersebut juga karena kemampuannya dalam menginfeksi dan reinfeksi sehingga bisa menembus daya tahan imunitas lebih efektif.
“Walaupun sekali lagi tidaklah sebesar waktu pandemi, tetapi akan selalu ada setiap dalam gelombang yang ditimbulkan JN1 terutama yang lebih efektif, itu dia bisa mengalahkan subvarian lain,” tuturnya.
Berbahaya untuk Lansia
Subvarian ini kata Dicky sangat berdampak buruk pada kelompok rawan ya seperti lanjut usia (lansia) dan juga yang memiliki penyakit bawaan (komorbid).
“Yang artinya dalam setiap gelombang akan ada yang menjadi korban, entah itu kematian, entah itu keparahan, entah itu kelompok long COVID-19,” tuturnya.
Berbicara soal long COVID-19, maka berbicara tentang penurunan kualitas kesehatan manusia dalam jangka menengah dan panjang. Long COVID-19 sendiri ditandai dengan penurunan kemampuan kognitif, otot dan lainnya.
Lebih dari itu, ada juga yang akhirnya mengalami gangguan kardiovaskular. Kondisi itu dapat diperburuk dengan JN.1, sehingga tidak hanya berdampak akut dalam bentuk gelombang saja, namun berpotensi menjadi long COVID-19.
“Karena sekali lagi semakin sering orang terinfeksi covid, maka potensi long COVID-19 meningkat. Semakin dia terinfeksi covid, semakin besar dia juga mengalami gangguan beragam organ,” sambung dia.
Jaga Daya Tahan Tubuh
Dicky menuturkan berbagai riset telah menekankan bahwa gangguan daya tahan tubuh akan berdapak pada masalah-masalah kesehatan lain dalam tubuh. Apalagi menurutnya orang Indonesia mudah terdampak sakit seperti kena batuk, flu parah hingga mikroplasma.
Salah satu hal penting yang harus dilakukan untuk mencegah dampak buruk COVID-19 dan subvariannya adalah dengan vaksinasi. Terlebih Indonesia sendiri memiliki Indovac yang diproduksi oleh Biofarma.
“Jadi ini yang harus disadari oleh pemerintah maupun masyarakat. Vaksin yang ada ini masih memberikan proteksi, terhadap khususnya terutama di kelompok rawan, lansia,” tandasnya.
Editor: Aprilia Rahapit