parboaboa

Polemik Kampanye Jokowi: Antara Aturan dan Mobilisasi Aparatur Negara

Atikah Nurul Ummah | Nasional | 27-01-2024

Presiden Joko Widodo saat menjelaskan ulang pernyataannya soal kampanye pada Jumat (26/1/2024) (Foto: YouTube Sekretariat Presiden)

PARBOABOA, Jakarta - Masih hangat di ingatan ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa dirinya boleh berkampanye dan memihak.

Ungkapan yang disampaikannya pada Rabu (24/1/2024) itu, ramai mendapat tanggapan berbagai pihak mulai dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pejabat publik, aktivis, akademisi, hingga klarifikasi sendiri oleh Jokowi.

Ketua KPU, Hasyim Asy’ari pada Kamis (25/1/2024), menyebut Jokowi boleh berkampanye asal izin ke presiden, yang tak lain adalah dirinya sendiri. 

Jokowi sendiri pada Jumat (26/1/2024) dalam video yang diunggah di kanal YouTube resmi Sekretariat Presiden menyampaikan bahwa ungkapannya soal kampanye, merujuk pada UU No 7 Tahun 2017. 

"Jadi yang saya sampaikan itu ketentuan mengenai UU Pemilu. Jangan ditarik kemana-mana,” ungkapnya sambil membawa kertas besar bertuliskan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam beberapa pasal.

Ia menjabarkan bahwa dalam aturan tersebut, presiden dan wakil presiden boleh kampanye asal memnuhi ketentuan tidak menggunakan fasilitas negara. 

Video yang diunggah 20 jam lalu itu, telah ditonton sebanyak 187.090 kali.

Menanggapi pernyataan orang nomor satu di Indonesia soal kampanye dan keberpihakan dan pemilu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karius, menyebut Jokowi sebenarnya hanya mengutip dari aturan UU Pemilu yang memang telah mengatur itu.

Namun, jauh dari pada itu, hal yang menimbulkan kegaduhan publik menurutnya ialah lantaran posisi politik Jokowi di Pilpres kali ini yang syarat akan dugaan keberpihakan.

“Posisi politik Jokowi di Pilpres yang sejak awal memang sudah ditengarai dengan banyak dugaan keberpihakan, mobilisasi ASN, alat negara, dll,” jelasnya kepada PARBOABOA, Jumat (26/1/2024) malam.

Lucius mengungkap, pernyataan Jokowi semakin memupuk kecurigaan publik bahwa mantan wali kota Solo tersebut tidak netral yang berakibat pada memobilisasi aparatur negara dalam berkampanye. 

“Dugaan-dugaan ketidaknetralan Presiden yang berujung pada mobilisasi aparatur negara untuk kepentingan pilpres itulah yang membuat komentar jokowi ramai,” imbuhnya. 

Bahkan tanpa pernyataan terbuka soal dukungan presiden, menurut Lucius telah banyak dugaan pelanggaran yang terjadi.

“Apalagi kalau Presiden jelas-jelas mendukung secara terbuka. Itu mungkin akan lebih masif lagi mobilisasi aparatur untuk kepentingan memenangkan calon yang didukung presiden,” ungkapnya. 

Jokowi Seharusnya Menahan Diri

Lucius menyebut, presiden seharusnya menahan diri untuk tidak berkampanye bagi pasangan calon (paslon) tertentu.

“Kalau sudah ngga bisa maju lagi, mestinya tak seharusnya presiden berkampanye untuk paslon tertentu karena efeknya bisa merugikan presiden sendiri dan juga publik,” ujarnya.

Dalam konteks ini, Lucius mengumpamakan apabila presiden tersebut adalah petahana, maka ia akan memiliki kepentingan untuk menjaga citra positif. 

Dalam hal ini, meskipun presiden petahana mungkin terlibat dalam kampanye, dia akan berusaha keras untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan atau sumber daya negara. 

Ini dilakukan untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan dukungan pemilih tetap kuat, yang penting untuk terpilih kembali.

“Jadi kalaupun dia berkampanye, ia tak akan mau mengeksploitasi sumber daya pemerintah untuk mendukungnya,” ujarnya. 

Namun, Lucius menyebut situasinya berbeda ketika Presiden tidak lagi maju dalam pemilihan. 

Tanpa kebutuhan untuk menjaga citra demi pemilihan kembali, menurutnya ada risiko bahwa presiden bisa menggunakan kekuasaannya untuk mendukung calon tertentu secara tidak adil. 

“Tanpa kepentingan personal untuk dipilih kembali, presiden yang memihak bisa secara leluasa mengeksploitasi kekuasaan untuk kepentingan mendukung paslon yang didukungnya agar menang,” katanya. 

Itulah menurut Lucius bahaya yang akan muncul jika Presiden Jokowi dibiarkan mendukung atau memihak dan berkampanye untuk paslon tertentu. 

Menteri Kabinet Jokowi dalam Pusaran Kampanye Paslon 

Ada beberap menteri dan pejabat yang masuk dalan Tim Kemenangan Nasional (TKN) dalam pilpres kali ini.

Beberapa diantara mereka, menduduki posisi penting pemerintahan di Kabinet Indonesia Maju (KiM).

Beberapa pendukung paslon nomor urut dua, Prabowo-Gibran, diantaranya Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia.

Bahlil diketahui terlihat dalam beberapa kali kampanye pasangan nomor urut dua.

Ia bahkan turut mendampingi Gibran dalam kampanye di Papua pada Jumat (26/1/2024).

Tak hanya Bahlil, Menteri BUMN, Erick Thohir, juga telah menyatakan dukunganya ke pasangan Prabowo-Gibran.

Erick diketahui juga turut mendampingi paslon dalam beberapa kegiatan termasuk saat rangkaian debat capres-cawapres.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto dan Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan, juga menjadi bagian dari pendukung paslon dengan baju khas biru muda tersebut.

Zulkifli bahkan sempat ramai dengan klaimnya bahwa bansos yang diterima masyarakat diberikan oleh Jokowi.

Sementara para menteri pengusung pasangan nomor urut satu, Anis Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) diantaranya Mendes PDTT, Abdul Halim Iskandar, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah dan Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya.

Adapun para pejabat pendukung pasangan nomor urut tiga, Ganjar Pranowo-Mahfud MD diantaranya Menparekraf, Sandiaga Salahuddin Uno.

Sandiaga bahkan menjabat sebagai Dewan Pakar TKN Ganjar-Mahfud. 

Selain itu, ada Wamenparekraf, Angela Tanoesoedibjo, Menkumham, Yasonna Laoly, Sekretaris Kabinet, Pramono Anung dan Menteri Sosial, Tri Rismaharini.

Adapula Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, Menteri PPPA, Gusti Ayu Bintang dan Wamendagri, John Wempi Wetimpo.

Editor : Atikah Nurul Ummah

Tag : #jokowi    #kampanye    #nasional    #gibran    #pemilu    #kabinet jokowi   

BACA JUGA

BERITA TERBARU