PARBOABOA, Jakarta – Demokrasi Indonesia yang semakin hari kian melemah, menjadi salah satu faktor kuat penyebab menurunnya angka kebebasan pers.
Hal itu diutarakan Sekretaris Jendral AJI Indonesia, Ika Ningtyas, dalam diskusi bertajuk ‘Bagaimana Menjaga Resiliensi Media dan Jurnalis Independen di Tahun 2024?’ pada Rabu (31/1/2024).
Ika mengungkapkan bahwa penurunan ini terjadi secara konsisten selama lima tahun terakhir.
Menurut data dari Freedom House dan RSF, skor kebebasan demokrasi di Indonesia turun dari 62 pada tahun 2019 menjadi hanya 53 pada tahun 2023.
Hal ini juga berimbas pada kebebasan pers, yang skornya turun dari 63,23 pada tahun 2019 menjadi 54,83 pada tahun 2023.
Ika menyebut, penurunan itu disebabkan karena beberapa faktor seperti tingginya angka represifitas.
“Sebabnya banyak, represi kebebasan berekspresi, menyempitnya kebebasan sipil, pelindungan yang lemah ke aktivis HAM, penurunan akademik, dan menurunnya kekebasan pers,” jelas Ika.
Karena itu, menurutnya dalam menghadapi demokrasi yang memburuk, peran media independen dan kritis menjadi sangat penting.
“Media yang kritis diperlukan untuk mengawasi praktik otoritarianisme yang sering berkaitan dengan korupsi dan pelanggaran HAM,” ujarnya.
Namun, di sisi lain, fakta dilapangan menyebut bahwa media dan jurnalis yang kritis sering menjadi sasaran kekerasan oleh rezim otoriter.
“Pelemahan itu bisa berupa mengkooptasi lewat kepemilikan media, tawaran iklan untuk mengaburkan independensi media, hingga membangkrutkan perusahaan media melalui pajak,” imbuhnya.
Keterkaitan antara Demokrasi dan Krisis Iklim
Dalam kesempatan itu, Ika juga menyoroti pengaruh krisis iklim yang berkaitan erat dengan demokrasi.
Menurutnya, iklim dapat menyebabkan berbagai bencana yang berpotensi memicu konflik dan kerusuhan.
Hal itu memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas demokrasi sebuah negara.
“Krisis iklim maka akan menimbulkan lebih banyak bencana alam, krisis pangan, air dan berkaitan secara langsung dengan konflik atau kerusuhan yang akan mempengaruhi demokrasi di suatu negara,” jelasnya.
Di sisi lain, sistem demokrasi yang sehat memainkan peran kunci dalam penanganan krisis iklim.
“Pengambilan keputusan penanganan krisis iklim harus melalui proses-proses partisipatif, terbuka dan tanpa intervensi dan berkeadilan,” jelasnya.
Karena, negara dengan demokrasi yang buruk cenderung memiliki penanganan krisis iklim yang tidak efektif.
“Sulit bagi negara-negara dengan demokrasi yang buruk, dapat memastikan bahwa penanganan krisis iklimnya membaik,” ucapnya.
Editor: Atikah Nurul Ummah