PARBOABOA, Jakarta - Wacana amandemen UUD 1945 kembali ramai disorot publik beberapa hari ini. Ketua MPR Bambang Soestyo sebetulnya sudah jauh-jauh hari menggulirkan wacana tersebut.
Wacana amandemen ini pun sudah didiskusikan dengan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Salah satu rencana perubahan yang bakal digodok adalah soal pokok-pokok haluan negara atau PPHN yang nantinya diusulkan melalui Ketetapan atau TAP MPR.
Menurut Bamsoet, sapaan akrab Bambang, akan ada penambahan satu ayat di Pasal 3 tentang kewenangan MPR membuat dan menetapkan PPHN. Selain itu akan ada juga penambahan di Pasal 23 tentang kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Terkait pasal ini, DPD juga akan mempunyai wewenang menolak atau mengembalikan RAPBN untuk diperbaiki jika tidak sesuai dengan PPHN.
Dalam pertemuan yang digelar pada pertengahan Agustus 2021 lalu itu, Jokowi sempat sempat kwathir jika rencana amandemen ini akan melebar dan dikaitkan dengan masa jabatan presiden.
Namun, Bamsoet meyakinkan bahwa ketentuan sebagaimana yang diatur di Pasal 37 UUD 1945 itu sudah rigid dan kecil kemungkinan pembahasannya akan melebar, termasuk soal masa jabatan presiden.
Salah satu poin yang disoroti saat ini adalah implikasi amandemen UUD 1945 yang menjadikan MPR kembali menjadi lembaga tinggi negara. Publik pun berasumsi ada kemungkinan pemilihan presiden kembali dipilih MPR.
Hal tersebut merupakan respon publik atas pidato Bamsoet di Sidang Tahunan MPR DPR DPD 2023 pada Rabu (16/8/2023), yang kembali menggulirkan wacana amandemen UUD 1945.
Namun, Bamsoet menepis asumsi tersebut dan menegaskan bahwa kembali menjadi lembaga tinggi negara yang dimaksud adalah kewenangan untuk mengatasi situasi darurat bangsa dan negara.
"Misalnya hari ini kita tidak bisa memiliki kewenangan TAP MPR yang sifatnya pengaturan. Kalau terjadi dispute tadi, tanpa kita mempunyai kewenangan TAP, tidak bisa, nggak ada jalan keluarnya," ungkapnya, Sabtu (19/8/2023).
Karena itu, ia menegasakan bahwa kembalinya MPR sebagai lembag tinggi negara tidak bermaksud untuk mengembalikan pemilihan presiden jadi mandataris MPR.
Kilas Balik Amandemen UUD 1945
Amandemen UUD 1945 merupakan proses perubahan atau perbaikan yang dilakukan terhadap UUD 1945. Proses amandemen dilakukan melalui mekanisme yang sudah ditentukan dalam UUD 1945 sendiri.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan Randangan Undang-Undang (RUU) yang kemudian disetujui oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
UUD 1945 diketahui sudah empat kali mengalami perubahan melalui proses amandemen. Amandemen UUD 1945 Pertama dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang meliputi 9 pasal, yakni pasal 5, pasal 7, pasal 9, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 17, pasal 20, dan pasal 21.
Poin krusial dalam amademen ini adalah keseimbangan kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan Presiden yang dianggap terlalu kuat dikurangi.
Kemudian, pada tanggal 18 Agustus 2000 amandemen UUD 1945 kedua kembali disahkan setelah melewati proses Sidang Gumum MPR 7-8 Agustus 2000.
Banyak pasal yang digodok ulang dalam amandemen ini, seperti Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 25E, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 30, Pasal 36B, Pasal 36C, Bab IXA, Bab X, Bab XA, Bab XII, Bab XV, dan Pasal 36A.
Amandemen kedua ini terfokus pada perubahan untuk meningkatkan kewenangan pemerintahan daerah, kewenangan DPR, hak asasi manusia, lembaga negara dan lagu kebangsaan.
Setahun kemudian, tepatnya pada 10 November 2001, amandemen ketiga UUD 1945 kembali disahkan melalui Sidang Tahunan MPR 1-9 November 2001.
Amandemen ini meliputi perubahan pada 3 bab dan 22 pasal, di antaranya Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24C, Bab VIIA, Bab VIIB, dan Bab VIIIA.
Perubahan amandemen ini lebih mengarah pada bentuk dan kedaulatan negara, kewenangan MPR, kepresidenan, impeachment, keuangan negara, dan kekuasaan kehakiman.
Perubahan amandemen terakhir terjadi pada tanggal 10 Agustus 2002. Proses amandemen tersebut disahkan melalui Sidang Tahunan MPR 1-11 Agustus 2002.
Perubahan ini terdiri dari 2 bab dan 13 pasal, di antaranya Pasal 2, Pasal 6A, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 37, Bab XIII dan Bab XIV.
Yang menjadi poin inti dari amandemen keempat ini adalah DPD sebagai bagian dari MPR, penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata uang, bank sentral, pendidikan kebudayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, serta perubahan UUD.