PARBOABOA, Jakarta - “Bertani atau mati, tolak tambang pasir besi!” Slogan ini menggema lantang di pesisir Kulon Progo, menjadi simbol perlawanan Trisno Widodo dan para petani lainnya.
Mereka menghadapi ancaman nyata, bukan hanya kehilangan lahan pertanian, tetapi juga hilangnya ruang hidup yang menjadi dasar kehidupan mereka.
Widodo tidak gentar melawan dua penguasa feodal besar, yaitu Kesultanan dan Pakualam, yang menguasai tanah Yogyakarta.
Proyek tambang pasir besi dianggap sebagai ancaman serius yang dapat menghancurkan seluruh kehidupan masyarakat pesisir.
Bersama Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP), kelompok yang ia dirikan, Widodo memimpin perlawanan yang tidak kenal lelah demi menjaga hak hidup para petani.
Hingga saat ini, PPLP-KP tetap konsisten menolak tambang dan segala bentuk kerusakan ruang hidup lainnya.
Bagi mereka, perjuangan ini bukan hanya soal mempertahankan tanah, tetapi juga menyelamatkan masa depan generasi mendatang.
Gerakan ini terdokumentasi dalam buku Menanam adalah Melawan, yang ditulis Widodo pada 2013.
Buku ini merekam berbagai peristiwa mencekam yang mereka hadapi, kampanye sosial yang dilakukan, hingga seruan solidaritas yang terus menguatkan perjuangan mereka.
Ketidakadilan Agraria di Indonesia
Ketimpangan agraria masih menjadi persoalan yang terus menghantui Indonesia, terutama dalam hal redistribusi tanah dan pelaksanaan reforma agraria.
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2015 hingga 2023, tercatat ada 2.951 konflik agraria yang melibatkan 6,5 juta hektar lahan dan berdampak pada lebih dari 1,8 juta keluarga. Konflik ini terjadi di sektor perkebunan, kehutanan, hingga pembangunan infrastruktur.
Tak hanya itu, Kantor Staf Presiden (KSP) juga menerima 1.504 pengaduan konflik agraria antara 2016 hingga 2022.
Faktor utama yang memicu konflik ini adalah ketimpangan penguasaan lahan, lemahnya penegakan hukum, kebijakan yang saling tumpang tindih, serta kurangnya pelibatan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan.
Sebagai solusi, pemerintah meluncurkan program Reforma Agraria, yang bertujuan mengurangi ketimpangan penguasaan lahan, menyelesaikan konflik agraria, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program ini memiliki tiga pilar utama, yaitu redistribusi tanah, legalisasi aset, dan perhutanan sosial.
Hingga 2022, redistribusi tanah telah mencapai 1,3 juta hektar, sementara legalisasi aset hanya mencakup 6,99 juta bidang tanah. Program perhutanan sosial juga berhasil dilaksanakan di area seluas 4,72 juta hektare.
Namun, meski ada kemajuan, angka-angka ini masih jauh dari cukup untuk meredakan konflik agraria yang terus memanas.
Bagi Trisno Widodo dan kelompoknya, perjuangan ini belum berakhir. Tanah bagi mereka bukan sekadar sumber daya ekonomi, tetapi jantung kehidupan yang harus dilindungi dari tangan-tangan penghancur.
Penulis: Maria Manjur
Editor: Luna