parboaboa

Babak Baru Pertambangan Batu Bara, PP 25/2024 Berikan Prioritas kepada Ormas Keagamaan

Defri Ngo | Nasional | 03-06-2024

Salah satu lokasi pertambangan batu bara di Indonesia (Foto: jatam.org)

PARBOABOA, Jakarta - Industri pertambangan batu bara di Indonesia memasuki babak baru dengan penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024. 

PP tersebut memberikan peluang eksklusif kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola usaha tambang selama lima tahun ke depan.

Adapun PP No 25 Tahun 2024 merupakan revisi dari PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pasal 83A ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintah memberikan prioritas kepada badan usaha milik ormas keagamaan dalam penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).

Tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. WIUPK sendiri merupakan wilayah yang diberikan kepada pemegang izin untuk mengelola tambang batu bara.

Berdasarkan ayat (2) pasal yang sama, disebutkan bahwa WIUPK yang bisa dikelola oleh badan usaha ormas keagamaan adalah wilayah tambang batu bara yang telah beroperasi atau berproduksi.

Sebagai contoh, jika ada perusahaan batu bara yang tidak memperpanjang kontrak di sebuah WIUPK, wilayah tersebut bisa dikelola oleh badan usaha ormas keagamaan.

Meskipun demikian, Pasal 83A ayat (5) melarang badan usaha ormas keagamaan yang memegang WIUPK untuk bekerja sama dengan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Ormas keagamaan juga dilarang untuk bekerja sama dengan perusahaan lain yang terafiliasi dengan perusahaan sebelumnya.

Penawaran WIUPK kepada badan usaha ormas keagamaan berlaku selama lima tahun sejak PP 25 Tahun 2024 diberlakukan, yang berarti hanya berlaku sampai 30 Mei 2029. 

Hal ini tercantum dalam Pasal 83A ayat (6), yang menyatakan bahwa penawaran tersebut hanya berlaku selama lima tahun sejak PP ini diberlakukan.

Untuk ketentuan lebih lanjut mengenai penawaran WIUPK secara prioritas kepada badan usaha milik ormas keagamaan, akan diatur dalam peraturan presiden.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, sebelumnya telah mengungkapkan rencana pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada ormas keagamaan. 

Bahlil menekankan bahwa proses pemberian IUP harus dilakukan dengan baik dan sesuai aturan, tanpa adanya konflik kepentingan dengan pihak lain. 

Ia juga mengharapkan adanya model pengelolaan yang profesional dalam kerja sama dengan partner yang terpercaya. 

Pemerintah sendiri telah melakukan evaluasi IUP yang diberikan kepada swasta sesuai ketentuan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Pada tahun yang sama, ditemukan sebanyak 2.078 IUP yang tidak melaksanakan rencana kerja dan anggaran biaya perusahaan. 

Dengan demikian, Kementerian Investasi/BKPM mendapatkan mandat untuk mencabut izin-izin tersebut dari Januari hingga November 2022.

Pemerintah mengharapkan agar badan usaha milik ormas keagamaan dapat berperan aktif dalam pengelolaan tambang batu bara, serta memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan masyarakat.

Bagaimana Tanggapan Muhammadiyah dan DPR?

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, mengkonfirmasi belum ada pembicaraan soal penawaran pemerintah dalam pengelolaan tambang. 

Ia menerangkan, jika ada penawaran resmi kepada Muhammadiyah soal pengelolaan tambang, maka hal tersebut akan dibahas dengan saksama. 

Menurutnya, kemungkinan ormas keagamaan dapat mengelola tambang merupakan wewenang pemerintah dan tidak otomatis terjadi karena harus memenuhi persyaratan.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, meragukan manfaat pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada sejumlah ormas keagamaan. 

Ia khawatir kebijakan tersebut akan memperburuk tata kelola pertambangan di Indonesia pada waktu-waktu yang akan datang. 

Menurut Mulyanto, saat ini masalah tambang ilegal sudah sangat rumit, ditambah lagi dengan dugaan perlindungan dari aparat tinggi yang membuat berbagai kasus mandek.

"Masalah tambang ilegal seperti benang kusut. Adanya dukungan dari aparat tinggi membuat berbagai kasus tidak terselesaikan," ungkapnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (01/06/2024).

Ia juga menyinggung pembentukan Satgas Terpadu Tambang Ilegal yang hingga kini belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.

“Semuanya masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan secara serius oleh pemerintah," tambahnya.

Terkait persoalan-persoalan tersebut, Mulyanto menilai bahwa Presiden gagal dalam menentukan skala prioritas terkait kebijakan pengelolaan minerba. 

Baginya, yang dibutuhkan saat ini adalah penguatan instrumen pengawasan pengelolaan tambang minerba, bukan ‘bagi-bagi izin’. 

Pemerintah tampaknya tidak serius dalam mengelola pertambangan nasional dan menjadikan IUPK sebagai komoditas transaksi politik dengan kelompok tertentu. 

Secara regulasi-administratif, pungkas Mulyanto, revisi PP Minerba yang baru masih sesuai dengan UU Minerba, tetapi dari sudut pandang politik, dinilai sebagai bagi-bagi keuntungan ekonomi.

Ia menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap kinerja badan usaha tersebut untuk memastikan bahwa mereka sungguh profesional dalam menjalankan rencana kerja.

Di samping itu, pengawasan yang ketat akan membantu kontrol atas anggaran biaya tambang yang berkontribusi bagi peningkatan penerimaan keuangan negara (PNBP). 

Ia pesimis dengan kebijakan tersebut dan menduga pada akhirnya yang mendapatkan izin adalah pemain lama di sektor pertambangan.

Editor : Defri Ngo

Tag : #Tambang    #Tambang Batubara    #Nasional    #PP Pertambangan    #Ormas Kelola Tambang    #WIUPK    #PKP2B    #BKPM    #Bahlil Lahadalia   

BACA JUGA

BERITA TERBARU