PARBOABOA, Serdang Bedagai – Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara memiliki berbagai peninggalan bersejarah.
Salah satunya punden berundak yang ada di Desa Mariah Nagur, Kecamatan Sipispis.
Di Mariah Nagur, punden berundak ditemukan pertama kali oleh Sultan Saragih, pemandu utama pegiat budaya Simalungun di 2015.
Kepada PARBOABOA, Sultan lantas menceritakan pengalamannya menemukan punden berundak.
Waktu itu, Sultan dan komunitas Sunda-Bali serta sanggar budaya Rayantara, melakukan perjalanan ke berbagai titik spiritual di tanah Simalungun. Di sana, ia tak sengaja menemukan Punden Berundak.
"Kalau tempatnya (lokasi punden berundak) ada di administrasi Serdang Bedagai tapi masih geografis etnis Simalungun," katanya kepada PARBOABOA, Selasa (03/10/2023).
Punden berundak yang ditemukan Sultan itu berupa batu tersusun bertingkat dan membentuk sebuah pola yang ditemukan di sekitar perkebunan karet.
Perkebunan tersebut merupakan jalan menuju lokasi puncak bukit Penggalangan atau tempat doa spritual yang ada di Desa Mariah Nagur.
"Karena bentuknya bertingkat seperti piramida seperti piramida toba yang lagi ramai sekarang," ungkap Sultan.
Ia juga menekankan bahwa temuannya itu masih sebuah hipotesa yang harus dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut oleh arkeolog.
Sultan bahkan telah menyampaikan temuannya itu kepada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sumatra Utara.
"Perlu ditekankan bahwa ini masih sebuah temuan, jadi perlu penelitian lebih lanjut. Saya sudah sampaikan temuan ini kepada Dr. Defri Elias Simatupang, Peneliti Madya BRIN Sumatera Utara," jelasnya.
Pria yang kesehariannya bergelut dengan budaya dan sejarah Simalungun ini berharap temuannya itu bisa memperkaya khazanah sejarah dan dapat meningkatkan wisata sejarah yang ada di Sumatra Utara.
"Ya semoga ada penelitian dan ekskavasi lebih lanjut ya. Lokasinya juga terlihat rawan dari tambang dan galian C. Kalau tidak diteliti dan dilindungi maka catatan peradaban Simalungun bisa hilang karena aktivitas manusia yang lebih menguntungkan secara ekonomi tapi mengabaikan pengetahuan yang pernah ada," imbuh Sultan Saragih.
Sementara itu, Peneliti Madya BRIN Wilayah Sumut, Defri Elias Simatupang, membenarkan telah berkomunikasi dengan Sultan Saragih terkait temuan punden berundak yang ada di Desa Mariah Nagur, Serdang Bedagai.
Defri juga mengaku telah melakukan observasi ke lokasi tempat ditemukannya benda yang diduga peninggalan zaman megalitikum tersebut.
"Setelah observasi, benar batu tersebut adalah punden berundak," katanya saat dikonfirmasi PARBOABOA.
Namun, senada dengan Sultan, Arkeolog dari Universitas Sumatera Utara ini mengungkapkan, observasi yang ia lakukan masih dalam bentuk pengamatan menggunakan indera tubuh saja.
Sehingga, kata dia, perlu penelitian lanjutan untuk membuktikan temuan tersebut merupakan benda prasejarah.
"Observasi dengan Sultan itu 3 minggu yang lalu. Dari hipotesis saya itu adalah punden berundak. Di dalam arkeologi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam hal ini perlu dilakukan ekskavasi di lokasi tersebut," katanya.
Defri menjelaskan, punden berundak biasanya dipakai sebagai sarana pemujaan kepada roh leluhur di zaman tersebut.
Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat pada masa itu, yang masih menganut keyakinan dinamisme dan animisme.
"Punden berundak ini juga dipakai untuk mencegah datangnya bencana dan menolak bala," imbuh Defri.
Sejarah Punden Berundak
Dikutip dari jurnal Eksistensi Punden Berundak di Pura Candi Desa Pakraman Selulung, Kintamani Bangli oleh I Wayan Pardi dijelaskan punden berundak merupakan bangunan suci tempat pemujaan roh leluhur yang bentuknya bertingkat-tingkat.
Punden berundak sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti orang yang dimuliakan. Sedangkan berundak memiliki arti bertingkat-tingkat.
Punden Berundak merupakan peninggalan benda prasejarah di zaman megalitikum yang sudah ada sekitar abad 3500 hingga 1000 Sebelum Masehi (SM).
Punden berundak terbuat dari batu besar yang di dalamnya terdapat meja batu, peti batu, dan menhir atau batu tegak.
Fungsi utama punden berundak pada zaman megalitikum adalah sebagai sarana tempat pemujaan kepada roh leluhur yang ditujuka untuk menolak bencana dan bala, seperti penyakit, dan bencana alam.
Peninggalan zaman magalitikum ini juga dipakai sebagai tempat meletakkan sesajen atau persembahan lainnya.