PARBOABOA, Jakarta - Operasi Tangkap Tangan (OTT) merupakan salah satu senjata ampuh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) untuk menciduk mereka yang selama ini rentan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Baru-baru ini, pada senin, (18/12/2023), melalui OTT, KPK menciduk Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba dalam dugaan perkara korupsi pengadaan barang dan jasa serta jual beli Jabatan.
OTT Abdul Gani Kasuba menambah daftar panjang kepala daerah yang terjaring OTT. Dalam catatan PARBOABOA, sejak tahun 2018, banyak kepala daerah di Indonesia yang ditangkap KPK melalui OTT.
Beberapa di antaranya, yaitu OTT Zumi Zola mantan Gubernur Jambi, Zainudin Hasan Bupati Lampung Selatan, Yahya Fuad Bupati Kebumen, Irwandy Yusuf Gubernur Aceh, Panganol Harahap Bupati Labuhanbatu.
Sementara di tahun 2019, terhitung ada 7 kepala daerah yang terciduk melalui OTT, tahun 2020 ada 8 pejabat setingkat menteri dan kepala daerah, tahun 2021 5 kepala daerah dan tahun 2022 6 kepala daerah.
Di tahun 2023, selain Abdul Gani Kasuba, ada tiga kepala daerah setingkat Bupati/Wali Kota yang terjerat OTT, yaitu Muhammad Adil, Bupati Meranti, Yana Mulyana, Wali Kota Bandung dan Ben Brahim S Bahat, Bupati Kapuas.
Apa itu OTT?
OTT sebagai salah satu instrumen hukum KPK menjerat pelaku korupsi, diatur secara tegas dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Menurut pasal 1 ayat (19) KUHAP, pengertian OTT dijelaskan sebagai berikut: 'ditangkapnya seseorang pada saat melakukan tindak pidana, beberapa saat setelah tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat setelah diteriakan oleh khalayak ramai telah terjadi perbuatan pidana dan pada orang bersangkutan (terduga pelaku) didapatkan barang bukti perbuatan pidana.'
Itu berarti OTT mensyaratkan 4 hal, yaitu:
- Seseorang harus sedang melakukan perbuatan pidana
- Tertangkap setelah melakukan perbuatan pidana
- Adanya laporan dari masyarakat sesaat setelah perbuatan pidana itu dilakukan
- Pada pelaku ditemukan barang yang digunakan untuk melakukan kejahatan serta barang yang didapatkan dari hasil kejahatan.
Sementara itu, dalam melakukan OTT KPK menggunakan dua cara yaitu, penyadapan dan penjebakan.
Dua teknik ini sempat mendapat kritikan keras dari sejumlah pihak karena dinilai berpotensi melanggar HAM. Namun, KPK berargumen, hak-hak seseorang dapat dibatasi oleh negara (Derogble Rights) apabila diperlukan untuk kepentingan umum termasuk membongkar kasus korupsi.
Menegahi perbedaan pendapat ini, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian menetapkan mekanisme dan prosedur penyadapan dan penetapan sebagai berikut:
- Penyadapan dan penjebakan harus dilakukan oleh otoritas remi, dalam hal ini dilakukan oleh KPK
- Penyadapan dan penjebakan harus mengenal batas waktu
- Materi hasil penyadapan harus digunakan untuk kepentingan hukum semata tidak boleh digunakan diluar itu
- Ada pembatasan mengenai orang yang melakukan penyadapan.