parboaboa

Selamatkan Laut Dari Ekonomi Biru dengan Ekonomi Nusantara

Aprilia Rahapit | Ekonomi | 21-12-2023

Diskusi sekaligus peluncuran buku berjudul Ekonomi Nusantara Antitesis Ekonomi Biru: Sebuah Kajian Ekonomi Politik. (Foto: PARBOABOA/Aprilia)

PARBOABOA, Jakarta -  Sebuah buku diluncurkan untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap mengadopsi model Ekonomi Biru.

Buku itu berjudul ‘Ekonomi Nusantara Antitesis Ekonomi Biru: Sebuah Kajian Ekonomi Politik’, yang ditulis oleh dua akademisi yakni Muhammad Karim dan Parid Ridwanuddin.

Peluncuran dilakukan di Hotel Diradja, Jakarta, Rabu (20/12/2023) yang dilanjutkan dengan sesi diskusi.

Karim yang merupakan akademisi dari Universitas Trilogi Jakarta menyampaikan kritikannya terhadap pemerintah. Sebagaimana diketahui muncul kontroversial atas kehadiran regulasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT).

Termasuk, PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi Hasil Laut (PSHL) yang dianggap berpotensi mengekspliotasi pasir laut.

Dua kebijakan itu dinilai sama persis dengan model ekonomi biru yang digagas oleh Gunther Pauli (2010).

Karim turut menengok apa yang Barbesgaard teliti bahwa menilai bahwa Ekonomi Biru telah dipraktekkan di sejumlah tempat di antaranya seperti Afrika Selatan hingga Papua Nugini namun justru meminggirkan nelayan skala kecil.

Jadi Terminologi Baru

Ia juga mengutip Blythe et al (2023), bahwa kontradiksi dan ambiguitas yang bermunculan membuat lahirnya terminologi baru dari Ekonomi Biru.

Pertama yaitu blue justice atau pengakuan, perlakuan adil bagi masyarakat pesisir untuk menggunakan dan mengelola hingga menikmati sumber daya pesisir sera laut.

Kedua, ketidakadilan biru atau blue injustice sebagai ungkapan ketidak adilan rakyat yang terpinggirkan karena rusaknya wilayah pesisir dan laut hingga pengucilan budaya dalam proses pembangunan kelautan.

Ketiga, resistensi biru atau blue resistance sebagai tindakan kolektif berkelanjutan yang melewati ruang dan waktu untuk merefleksikan ketidakadilan hingga upaya agenda alternatif bagi masyatakat pesisir.

Karim juga mengutip Bennet et al (2022), bahwa ketidakadilan dalam Ekonomi Biru seperti resistensi biru dan perampasan biru bisa diselesaikan dengan sejumlah hal.

Mulai dari mengubah paradigmanya, mengarusutamakan keberlanjutan, mendorong swasta, memperluas model dan potensi.

Muncul Gagasan Ekonomi Nusantara

Kegagalan Ekonomi Biru di sejumlah negara turut ditandai dengan kemiskinan masyarakat pesisir hingga masifnya perubahan iklim.

Kondisi itu kemudian memunculkan Ekonomi Nusantara yang dikonstruksikan dari kolaborasi filsafat etnik nusantara dan hakikat manusia Indonesia berdasarkan pendekatan heterodoks.

Menurutnya Ekonomi Nusantara tetap eksis sebab kuatnya keragaman etnik nusantara termasuk solidaritas di dalamnya. Lebih dari itu Ekonomi Nusantara juga memiliki daya resilensi dan adaprasi yang kuat dalam menghadapi dinamika kapitalisme global.

Karim juga menekankan bahwa Ekonomi Nusantara atau ‘Nusantaranomics’ tidak mengejar keuntungan ekonomi, bahkan menjamin solidaritas kehidupan berekonomi yang adil.

Dalam bukunya itu, Karim detil menjelaskan pandangan terhadap Ekonomi Biru mampu diantitesa dengan Ekonomi Nusantara sebagai pendekatan Ekonomi Politik.

Isi dari bab per bab dalam buku tersebut yaitu mulai dari Geneologi Ekonomi Biru, Melacak Landasan Teori Ekonomi Biru, Hegemoni Ekonomi Biru, Perspektif Historis Struktural Ekonomi Biru Dalam Gerakan Pemikiran Alternatif.

Selanjutnya Dialektika Paradigma Ekonomi Biru, Ambiguitas Konsep dan Praksis Ekonomi Biru, ‘Ekonomi Biru’ Neo-Kolonialisme Berbasis Utang.

Selain itu Ekonomi Biru Versus Perubahan Iklim dan beberapa judul lainnya dalam sejumlah bab terkait Ekonomi Biru yang  disusun apik oleh Karim dan rekannya, Parid.

Terlalu Banyak Paradoks

Sementara itu akademisi dari Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta Suhana, memiliki pandangan yang sama.

Ia menilai bahwa tujuan Ekonomi Biru saat ini lebih pada eksploitasi meski di sisi lain terkesan pandang untuk tetap melestarikan sumber daya.

Namun pada akhirnya, berbicara Ekonomi Biru justru jadi berbicara bagaimana melakukan penjualan, sehingga menjadi paradoks baru.

“Sehingga keluar dari konteks makna dari Ekonomi Biru itu sendiri yang dicetuskan oleh para penulis terdahulu, bahwa ekonomi bisnis itu sebuah paradigma, bagaimana ketika paradigma ekonomi bisnis itu tidak hanya diterapkan di laut saja, di darat dan di udara juga sama,” tutur Suhana.

Menurutnya, Ekonomi Biru ini merupakan konsep circle economy, kemudian muncul istilah-istilah efiesiensi, maka di sini teknologi menjadi penting.

Kembali ke Pancasila

Suhana menuturkan adanya karakteristik Ekonomi Hijau atau Green Economy dan Ekonomi Biru atau Blue Economy, di mana keduanya sama-sama menekankan efisiensi. Misalnya Green Economy memunculkan adanya karbon rendah, non-carbon, efisiensi sumber daya dan social inclusiveness.

Selanjutnya Blue Economy memunculkan misalnya adanya zero waste yang menurutnya sama-sama menekankan efisiensi sumber daya, inovasi dan kreatifitas. Namun ia menyayangkan dari dua hal itu tidak ada satupun yang menekankan keadilan seperti halnya yang dijunjung dalam Pancasila.

“Tapi ada satu hal yang tidak ada di Ekonomi Biru, dan itu adanya di pancasila, yaitu justice. Saya bilang keadilan yang ada di konsep ekonomi biru, makanya ketika secara kita lihat yang terjadi sekarang adalah jika bicara Ekonomi Biru maka keadilan terhadap pelaku masyarakat nelayan kecil itu tidak ada,” tegas Suhana.

Lanjut dia, tidak ada satupun Ekonomi Biru menekankan keadilan untuk melawan hegemoni di dalamnya.

“Saya mengambilnya Pancasila, karena di Pancasila itu sudah jelas ada keadilan sosial. Sehingga dalam referensi saya lebih pakai yang sudah ada saja di negara kita yaitu Ekonomi Pancasila,” sambungnya.

Suhana menekankan, ekonomi Pancasila itu sangat menekankan keadilan. Hal ini juga dapat berujung bagaimana Ekonomi Nusantara berbasis utama ekonomi Pancasila.

Selain itu juga perlu menekankan adanya kata 'lestari' sebagai kata bahasa Indonesia.

“Tapi kita malah lebih senang kata berkelanjutan, padahal ada istilah lokal kita yang ekonomi lestari,” papar Suhana.

Editor : Aprilia Rahapit

Tag : #pertumbuhan ekonomi    #ekonomi nusantara    #ekonomi    #ekonomi biru    #diskusi buku    #perdagangan   

BACA JUGA

BERITA TERBARU