PARBOABOA, Jakarta - Usai konferensi perubahan iklim yang diinisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun ini di Dubai, yang mengumumkan kesepakatan sumbangan dana akibat kerusakan iklim, India dan Tiongkok menolak untuk berkontribusi.
Padahal, dua negara ini sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia yang menyebabkan kerusakan iklim. Tiongkok sendiri berada di urutan pertama penghasil gas emisi rumah kaca, sedangkan India berada di urutan ke tiga.
Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya telah mendesak kedua negara untuk berkontribusi, mengingat posisi keduanya sebagai produsen emisi utama.
Namun, alih-alih berkontribusi, Tiongkok dan India mengeklaim mereka memenuhi syarat untuk menerima dana kerugian dan kerusakan iklim.
Mereka menekankan prinsip 'tanggung jawab bersama namun berbeda' dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan Iklim, di mana negara-negara memiliki tanggung jawab yang berbeda tergantung pada situasi dan perkembangan ekonomi masing-masing.
Keduanya juga merujuk pada fakta, bahwa krisis iklim saat ini banyak dipengaruhi oleh emisi gas rumah kaca negara-negara maju sejak awal Revolusi Industri pada tahun 1850-an.
Meski banyak masyarakat sipil dan aktivis iklim mendukung klaim ini, negara-negara maju menyatakan, pengelompokan negara pada 1992 sudah ketinggalan zaman dan perlu direvisi.
Mereka menegaskan, beberapa negara, termasuk Tiongkok dan India, telah berkembang menjadi ekonomi besar dan produsen emisi besar sejak saat itu.
Negara-negara maju juga menyatakan, ada tanggung jawab moral yang harus dipenuhi oleh negara-negara besar seperti Tiongkok dan India dalam upaya global menanggulangi kerusakan iklim.
Mereka menekankan, peran aktif dan kontribusi finansial dari negara-negara tersebut sangat penting mengingat dampak besar yang telah diakibatkan oleh emisi gas rumah kaca.
Namun, Tiongkok dan India tetap mempertahankan posisinya sebagai negara berkembang, dan berpendapat, mereka sudah mengambil langkah-langkah dalam upaya mengurangi emisi dan memitigasi dampak perubahan iklim, tetapi tidak dengan berkontribusi menyumbangkan dana.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Negara Berkembang
Sebuah laporan yang dirilis pada tahun 2022 oleh Vulnerable 20 Group (V20), yang terdiri dari 68 negara berkembang, mengungkapkan dampak signifikan perubahan iklim terhadap ekonomi global.
Menurut laporan tersebut, 55 anggota V20 yang kehilangan sejumlah besar kekayaan akibat perubahan iklim, memperlihatkan adanya kerugian ekonomi yang mencapai $525 miliar selama dua tahun terakhir.
Ketika perubahan iklim semakin merajalela, negara-negara berkembang menjadi rentan terhadap berbagai dampak seperti cuaca ekstrem, banjir, dan kenaikan permukaan air laut.
Dalam laporan yang sama, V20 menyoroti kenyataan bahwa kerugian ekonomi yang dialami oleh 55 anggotanya setara dengan seperlima dari total kekayaan mereka.
Dana yang hilang ini tidak hanya merugikan perekonomian negara-negara tersebut, tetapi juga memperburuk ketidaksetaraan global dan memperumit upaya pembangunan berkelanjutan.
Laporan ini mendorong seruan global untuk tindakan lebih lanjut dalam menanggulangi perubahan iklim dan menyediakan dukungan finansial bagi negara-negara yang paling terpukul.
Sebagai respons terhadap temuan di atas, sejumlah pemangku kepentingan, termasuk organisasi lingkungan dan negara-negara maju, menekankan urgensi untuk meningkatkan upaya mitigasi, adaptasi, dan penyediaan dana untuk membangun ketahanan terhadap dampak perubahan iklim.