PARBOABOA, Pematang Siantar - Warga Kelurahan Bah Sorma dan Kelurahan Gurilla, Kecamatan Siantar Sitalasari, Kota Pematang Siantar menyayangkan tidak adanya respons pemerintah terkait penggusuran lahan mereka oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III. Padahal mereka telah bermukim di lokasi tersebut sekira 19 tahun.
Salah seorang warga, Komter Sihaloho (50) menyesalkan tidak adanya upaya Pemerintah Kota Pematang Siantar menyelesaikan permasalahan terkait tindakan kekerasan saat okupasi lahan atau pendudukan paksa suatu lahan yang dilakukan di wilayah PTPN III Unit Kebun Bangun di Kelurahan Gurilla, Siantar Sitalasari, sejak pada Rabu, 25 Januari 2023.
"Tidak ada realisasinya saat laporan kami yang mengalami kekerasan. Istilahnya dikiranya masyarakat bodoh, jangan kami malah dibiarkan dan malah kami dituding merugikan negara," kesalnya kepada PARBOABOA, Senin (17/7/2023).
Menurut Komter, adanya musyawarah antara kedua belah pihak seharusnya menjadi acuan pemerintah sebagai penengah masalah tanah Hak Guna Usaha (HGU) atas konflik-konflik agraria yang mereka alami.
"Undang kami dan berikan ruang tatap muka bersama mereka (PTPN III) jika memang mau menyelesaikan, sebab kami tidak menyerobot lahan ini. Jangan ada jalur intervensi saat kami istirahat dan mengusir kami secara paksa," tegasnya.
Komter merasa pemerintah tidak hadir mensejahterakan masyarakat di peristiwa penyerobotan tanah oleh PTPN III tersebut.
"Kalau seandainya kembali dilakukan okupasi lahan, kegiatan kami juga terganggu, tanaman yang kami sudah rawat pasti dirusak, dan pemerintah tidak ada satupun yang memperdulikan kami di sini," kesalnya.
Senada dengan Komter Sihaloho, Sianipar (57) juga mengaku banyak masyarakat yang melapor menerima kekerasan saat pendudukan lahan oleh PTPN III. Padahal lahan tersebut sudah ditempati warga sejak 2004.
"Pemerintah seharusnya dukung masyarakat. Soalnya tanah di sini tidak ada masalah, malah seperti dipermasalahkan," ujarnya kepada PARBOABOA.
Sianipar menegaskan pemerintah seharusnya mengklarifikasi dan memaksimalkan pengambilan langkah-langkah terbaik sesuai perundang-undangan yang berlaku untuk penyelesaian okupasi lahan tanah ulayat oleh pihak PTPN III, agar tidak terjadi konflik dengan masyarakat dan perusahaan yang berkelanjutan.
"Kalau pemerintah bijak, masyarakat diatur. Ini seperti tidak serius pejabat sekarang bernegara, kalau memang sertifikat HGU-nya sah, masyarakat juga pasti legowo. Ini langsung bawa traktor dan mengusir kami secara paksa, harusnya baik-baik dirundingkan," ketusnya.
Menanggapi hal ini, Ketua Forum Tani Sejahtera Indonesia (FUTASI), Tiomerlin Sitinjak membenarkan tidak adanya tindak lanjut terkait laporan masyarakat yang menerima kekerasan dari Kepolisian Resor (Polres) Kota Pematang Siantar.
"Untuk saat ini masyarakat yang sudah melaporkan adanya tindakan kekerasan dari pihak kebun (PTPN III) saat melakukan okupasi berjumlah lebih 28 orang, namun kelanjutan pelaporannya tidak ada. Didiamkan oleh Kepolisian," kesalnya.
Tiomerlin menegaskan, FUTASI Pematang Siantar masih menginginkan undangan terbuka untuk dilakukan pembahasan bersama dengan warga yang menentang okupasi lahan.
“Sampai hari ini kita tetap tegas, menyikapi tuntutan kami. Namun, kenapa tidak selesai-selesai. Jangan hanya warga yang dipojokkan. Padahal, jika benar tanah garapan masyarakat itu masuk ke dalam HGU kalau bisa sesuai timbal baliknya sama masyarakat,” ungkapnya.
Ia menambahkan tindakan PTPN III sudah di luar batas dan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan merupakan tindak pidana. Termasuk soal nominal suguh hati atau tali kasih kepada masyarakat dari PTPN III.
"Soal suguh hati kami tidak mau menanggapi hal itu, apalagi kami minta tawaran bahwa suguh hatinya nominal dinaikkan, kami hanya diberikan secara layak," tutupnya.
PTPN III Klaim Lanjutkan Penyelesaian Sengketa Lahan di Pematang Siantar
Asisten Personalia PTPN III, Doni Manurung saat dikonfirmasi PARBOABOA tidak membenarkan adanya dugaan menghalang-halangi masyarakat pelapor yang menerima kekerasan.
"Kami sangat menghargai proses hukum dan tidak pernah mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan. Kami mempersilahkan penegak hukum menegakkan keadilan dan PTPN III siap mendukung pihak kepolisian untuk menegakkan keadilan di dalam proses mengambil alih areal garapan ini," ujarnya melalui sambungan telepon, Senin (17/7/2023).
Ia menjelaskan produk sertifikat HGU Nomor 1 Kota Pematang Siantar masih aktif dan berakhir tanggal 31 Desember 2029.
"Lahan HGU itu sesuai di RTRW Nomor 1 tahun 2013, untuk Kecamatan Siantar Sitalasari itu pertanian dan perkebunan, sehingga penerbitan HGU sebagaimana dalam SK 102/HGU/BPN tahun 2005 rujukannya adalah Perda nomor 7 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pematang Siantar, statusnya sah dan masih aktif," katanya.
Doni mengaku, PTPN III berulang kali melaksanakan dialog kepada penggarap dengan tawaran kompensasi sebagai bentuk hadirnya perusahaan demi kemanusiaan.
"Upaya-upaya pengambilalihan sisa lahan yang masih dikuasai kurang lebih 4 hektare lagi oleh masyarakat penggarap masih dilakukan baik secara persuasif maupun secara hukum," katanya.
Doni memaparkan PTPN III tetap menawarkan suguh hati/tali asih kepada sedikit penggarap yang masih bertahan menguasai areal tersebut.
"Nominal sangat bervariasi terhadap suguh hati yang sudah diberikan, mulai dari Rp1 juta hingga Rp300 juta, tergantung banyaknya aset di atas lahan garapan masyarakat tersebut baik berupa tanaman maupun bangunan dan sampai kemarin yang sudah suguh hati sudah 394 KK (kepala keluarga)," tegasnya.
PTPN III juga masih mengupayakan melalui jalur hukum, baik telah membuat laporan polisi di Kepolisian Daerah Sumatra Utara atas dugaan menguasai secara ilegal maupun penyerobotan lahan PTPN III terhadap beberapa orang yang kita anggap sebagai provokator, dan aktor di balik aktivitas penggarapan.
"Kami juga sudah memberikan somasi kepada beberapa masyarakat, terkhusus penggarap yang masih bertahan itu justru mencoba menggarap kembali lahan-lahan yang sudah di suguh hati. Makanya khusus hal ini kita tempuh jalur hukum, agar tidak menjadi contoh kepada yang lain. Selain tetap membuka jalur-jalur persuasif untuk penyelesaian penggarapan ilegal ini," tuturnya.
PARBOABOA telah berupaya mengkonfirmasi Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Pematang Siantar, Banuara Manurung terkait penyerobotan lahan ini. Namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada konfirmasi dari yang bersangkutan.