PARBOABOA, Pematang Siantar - Lapangan Merdeka di Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara menjadi salah satu saksi peristiwa perjuangan masyarakat melawan penjajahan Belanda, yang enggan angkat kaki, meski Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945.
Di Lapangan Merdeka pula, Bendera Merah Putih dikibarkan untuk pertama kalinya oleh pemuda pribumi dan kekuatan rakyat Siantar/Simalungun, setelah pertempuran melawan Belanda yang terjadi pada 27 September 1945.
"Tanggal 27 September 1945, di sekitar ini terjadi peristiwa upacara pengibaran bendera Merah Putih yang pertama di Kota Pematang Siantar/Simalungun. Oleh Pemuda Pribumi dan Kekuatan Rakyat Siantar/Simalungun", bunyi tulisan di prasasti agar bisa dikenang generasi penerus bangsa.
Di sebelah prasasti berdiri tembok yang terukir naskah teks proklamasi yang dilengkapi dengan lima tiang bendera. Bangunan tersebut menjadi monumen sejarah pergerakan kemerdekaan di Kota Pematang Siantar-Simalungun.
Sejarawan Universitas Simalungun (USI), Jalatua Habungaran Hasugian mengungkapkan, prasasti tersebut menjadi pengingat masyarakat terhadap perjuangan masyarakat Pematang Siantar yang digagas Abdul Aziz Siregar bersama puluhan pemuda di Lapangan Pagoda yang sekarang berganti menjadi Lapangan Merdeka pada 27 September 1945 silam.
"Prasasti itu dibangun pada tahun 1996 untuk memperingati bahwa di sana pernah terjadi peristiwa yang penting sebagai memori kebangsaan sekaligus edukasi historis bagi generasi muda di Kota Pematang Siantar," ujarnya saat dikonfirmasi kepada PARBOABOA, Senin (14/8/2023).
Jalatua menjelaskan lokasi tersebut merupakan wilayah perbatasan atau demarkasi pejuang Indonesia dengan tentara Belanda yang bernama Koninklijke Nederlands (ch)-Indische Leger (KNIL) yang saat itu ditandai dengan peristiwa Polinesial pada Tahun 1945.
"Peristiwa Polinesial ini merupakan aksi gencatan senjata yang terjadi saat pejuang Indonesia berada di sekitar Balai Kota dan Gedung Juang atau di samping lokasi parkir pariwisata sekarang. Sedangkan kubu KNIL atau yang lebih dikenal Tentara Kerajaan Hindia Belanda berada di Siantar Hotel. Sehingga, perbatasannya adalah Lapangan Merdeka yang saat itu masih menjadi satu dengan lokasi parkir pariwisata sebagai tempat pengibaran bendera Merah Putih tersebut," jelasnya.
Jalatua menceritakan mengapa pertempuran melawan Belanda masih terjadi di Siantar meski Indonesia telah merdeka.
Ia menyebut, berita Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan di Jakarta pada 17 Agustus 1945, tidak serta-merta segera diketahui seluruh rakyat Indonesia, terutama di Pematang Siantar, karena sarana komunikasi merupakan barang berharga yang sangat langka di masa itu.
"Kalau pun ada yang memiliki pesawat telepon atau radio, mereka sudah tergolong warga kelas atas. Setidaknya, mereka adalah para pedagang, pegawai kolonial atau keturunan raja (bangsawan)," tuturnya.
Selain sarana komunikasi, media cetak seperti koran dan majalah pun sangat terbatas, karena pemerintah kolonial Belanda maupun penguasa berikutnya, yakni Jepang tak gampang memberi izin. Penjajah kerap membekukan media-media yang ada, utamanya media yang bersikap kritis terhadap kebijakan penguasa.
"Oleh karena itu, menjadi lumrah jika berita kemerdekaan sangat lambat diketahui oleh penduduk. Apalagi tentara Jepang yang masih berada di beberapa wilayah Indonesia menjelang kemerdekaan kita berupaya menutup informasi agar rakyat jangan sampai mengetahui jika Indonesia sudah merdeka dan menyatakan informasi tersebut keliru," ujarnya.
Meski begitu, lanjut Jalatua, ada di antara tokoh-tokoh pergerakan atau penduduk yang memiliki radio mengetahui bahwa Indonesia sudah merdeka dan diam-diam menyebarkan informasinya secara terbatas kepada masyarakat dan pemuda yang ada di Pematang Siantar-Simalungun sendiri.
Jalatua mengungkapkan, salah seorang tokoh pergerakan yang mengetahui pengumuman tentang kemerdekaan dan terkenal di kalangan pejuang Siantar Simalungun ketika itu, yakni Abdullah Yusuf yang juga mendapat surat dari Dr. A. K. Gani dari Palembang meminta agar segera disampaikan berita kemerdekaan kepada segenap rakyat di Simalungun.
Hanya saja, penyebaran informasi terkait kemerdekaan secara luas kepada masyarakat di Siantar-Simalungun mengalami kendala, karena kekhawatiran akan reaksi tentara Jepang dan sisa tentara Belanda di sana.
Oleh karenanya, sebagai tokoh yang mengetahui pengumuman tentang Kemerdekaan Indonesia, Yusuf kemudian mengajak rekannya sesama pejuang kemerdekaan, Abdul Azis Siregar, Burhanuddin Kuncoro, Menes Tampubolon dan Ricardo Siahaan berdiskusi untuk mencari cara agar informasi kemerdekaan bisa diketahui masyarakat.
Namun, banyaknya pertimbangan dari Yusuf, membuat rekannya mengambil keputusan sendiri dengan menggelar apel pemuda di sekitar Lapangan Pagoda.
Saat apel, mereka juga mengibarkan bendera Merah Putih dan bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya sebagai tanda bahwa Indonesia telah merdeka. Sedangkan teks Proklamasi masih belum bisa dibacakan karena mereka belum memperoleh salinan naskahnya.
"Dengan semangat gegap gempita, pemuda pun pertama kalinya mengibarkan bendera Merah Putih yang sebelumnya sudah mereka siapkan," ungkap Jalatua.
Ternyata apel pemuda pengumuman kemerdekaan Indonesia yang disertai pengibaran bendera Merah Putih pertama kalinya itu diketahui dan diamati tentara KNIL dari markasnya di Siantar Hotel. Setelahnya, kontak senjata pun terjadi.
Saat itu ada dua anak muda bernama Muda Rajagukguk dan Ismail Situmorang, yang mengibarkan bendera kebangsaan Merah Putih. Keduanya gugur ditembak pasukan KNIL Belanda.
"Mengenang peristiwa inilah makanya di lokasi pengibaran bendera Merah Putih pertama kalinya ini, sekarang dibangun sebuah prasasti. Paling tidak, sekadar untuk membingkai memori kolektif publik, khususnya warga Kota (Pematang) Siantar untuk mengenang sebuah peristiwa sejarah kemerdekaan pada tahun 1945," imbuhnya.
Namun, Jalatua menyayangkan masih banyak masyarakat Pematang Siantar yang tidak mengetahui keberadaan prasasti yang menjadi momen sejarah pemuda kota itu saat Indonesia Merdeka tersebut. Lokasinya yang tersembunyi dan tidak menarik perhatian masyarakat untuk sekedar singgah dan mengingat nilai sejarah perjuangan yang ada di kota tersebut.
"Meskipun punya nilai historis, ironisnya prasasti ini seperti tersembunyi sehingga orang yang melintas tidak mengetahui sama sekali jika di sekitar itu pernah terjadi sebuah peristiwa sejarah, di lokasi tersebut sebagai pertanda pengibaran Merah Putih pertama kalinya di Kota Pematang Siantar," timpalnya.
Jalatua meminta Pemerintah Kota Pematang Siantar seharusnya melakukan perawatan dan menambah fasilitas pendukung, seperti kursi sebagai tempat istirahat masyarakat dan taman hiburan anak-anak di sekitar Prasasti Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama di Kota Pematang Siantar.
"Secara di lokasi gersang tidak ada pertanda, taman-taman di sekitar juga tidak ada ditanami bunga, bagaimana masyarakat mengetahui bahwa itu adalah monumen sejarah, sedangkan untuk menikmatinya saja pemerintah tidak memberikan fasilitas, apalagi untuk tempat istirahat dan hiburan anak-anak supaya betah di waktu liburan, kan miris," ketusnya.
Sementara saat dikonfirmasi PARBOABOA, Kepala Bidang (Kabid) Pariwisata di Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata (Disporbudpar) Pemko Pematang Siantar Rahmat Riadi mengaku prasasti tersebut telah direnovasi sejak 2021 lalu.
"Setiap hari kami (Disporbudpar) juga merawat kebersihan sekitar lokasi dari prasasti dan rutin mengganti bendera Merah Putih apabila sudah terlihat kusam," ujarnya, Senin (14/8/2023)
Rahmad membenarkan Disporbudpar tengah berupaya agar lokasi tersebut sebagai tempat rekreasi dan wisata sejarah yang bisa dinikmati masyarakat Kota Pematang Siantar.
"Ke depan Disporbudpar akan mengelola bangunan prasasti sebagai lokasi wisata yang wajib dilestarikan dan menjadikan lokasi sebagai wisata sejarah mengenang perjuangan di (Pematang) Siantar dalam masa penjajahan yang wajib dilestarikan. Diupayakan juga jika anggaran memungkinkan kami melakukan pemugaran prasasti tersebut agar lebih menarik wisatawan yang datang," pungkasnya.
Editor: Kurniati