parboaboa

Penyandang Disabilitas dalam Pileg: Suaranya Rentan Disalahgunakan dan Masih Dicuekin Partai

TIM Parboaboa | Daerah | 29-06-2023

Fajri Hidayatullah, 32, penyandang disabilitas tunanetra yang sempat ingin maju sebagai calon legislatif (caleg) di pemilihan legislatif (Pileg) di Kabupaten Tangerang, 2024. (Foto: Dokumentasi Fajri Hidayatullah)

PARBOABOA - Fajri Hidayatullah, 32, sempat ingin maju sebagai calon legislatif (caleg) di pemilihan legislatif (Pileg) di Kabupaten Tangerang, 2024. Tetapi, laki-laki penyandang disabilitas tunanetra yang akrab disapa Fajri itu, harus mengurungkan niatnya karena kondisi yang belum memungkinkan.

Saat lahir Fajri merupakan non disabilitas atau terlahir normal. Akan tetapi, sejak 2004 ia kemudian dinyatakan menjadi disabilitas tunanetra total. Dia mulai tertarik di dunia politik sejak di bangku sekolah dasar. Saat itu dia kerap ikut ayah angkatnya, yang merupakan salah satu pengurus cabang partai politik, untuk kampanye maupun kegiatan lainnya.

“Jadi sejak kecil tepatnya di tahun 1999, saya sering diajak turun ke lapangan atau TPS (tempat pemungutan suara) di wilayah Tangerang untuk memperjuangkan suara partai," kata Fajri kepada Parboaboa saat dihubungi, Selasa (28/6/2023).

Berkesempatan bertemu dengan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarno Putri saat itu memotivasinya untuk mendalami dunia politik. Berangkat dari tekad itu, Fajri kuliah pada tahun 2015 dan berhasil menyelesaikan pendidikannya hingga gelar master, dengan predikat cumlaude di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

Di awal perkuliahan beberapa dosen sempat meragukan kemampuannya untuk belajar di universitas, karena pertama di Indonesia bahkan dunia disabilitas tunanetra mengambil ilmu politik. Tapi keragu-keraguan tersebut dia patahkan dengan kemampuannya mengikuti perkuliahan, hingga membuat tugas akhir.  

Selama kuliah juga aktif dalam berbagai organisasi disabilitas untuk menyuarakan hak-hak disabilitas. Fajri juga sempat bergabung ke dalam salah satu partai politik, yaitu Partai Demokrat, tepatnya sejak tahun 2018 sampai 2023 di wilayah Tangerang. “Setelah itu, saya jadi non partai sekarang," ungkapnya.

Kendati secara resmi Fajri belum mencalonkan diri, namun sempat ada keinginannya maju sebagai caleg untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Tangerang Raya atau DKI Jakarta. Ia sempat membangun konsolidasi basis massa, sehingga siapapun nantinya yang mengusung dirinya telah siap dengan visi dan misi untuk menciptakan regulasi terkait hak-hak disabilitas, sesuai UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Tetapi di tengah proses tersebut, Fajri kemudian diminta untuk menjadi salah satu komisioner di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. "Itulah yang membuat saya nggak jadi mencalonkan diri, karena kan harus konsentrasi di sana dan salah satunya tidak boleh berpolitik praktis," ujarnya.

Setelah mencoba untuk meminta restu kepada salah satu aktivis disabilitas senior, Fajri diminta untuk mempersiapkan diri untuk lima tahun ke depan. "Jadi saya hendak dikuatkan lebih ke DPR RI," tuturnya.

Dia tidak melanjutkan menjadi caleg juga karena merasa pencalonannya sebagai caleg dari penyandang disabilitas hanya dimanfaatkan untuk mendongkrak suara partai. Hal itu terjadi karena pendidikan politik, pendidikan kepemiluan dan lain sebagainya bagi penyandang disabilitas masih minim, dalam artian mereka belum memiliki bekal yang cukup.

Saat ini dia dan beberapa rekannya tengah fokus menjalankan peranannya sebagai salah satu pengurus di Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas (PPUAD). Fokus perhatiannya pada peranan disabilitas muda agar aktif memberikan pendidikan Pemilu.

Menurut Fajri, sejumlah disabilitas muda maupun yang sudah lanjut usia masih menganggap politik tidak penting. Berangkat dari situ mereka mencoba membangun kesadaran pentingnya menjaga suara mereka, agar tidak disalahgunakan pihak yang tidak bertanggung jawab.

Beberapa upaya yang mereka lakukan antara lain memeriksa daftar pemilih sementara hingga daftar pemilih tetap dan lain sebagainya. Melalui upaya ini, mereka berusaha menjamin keikutsertaan penyandang disabilitas dalam Pemilu—hak memilih dan dipilih—, seperti dijamin dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Fajri berharap rekannya sesama disabilitas memiliki keinginan untuk sadar akan pendidikan politik agar suara mereka tidak malah disalahgunakan. "Harapan saya terutama untuk teman-teman disabilitas agar memiliki keinginan atau melek politik, mau menjalani proses edukasi Pemilu sehingga teman-teman memiliki dasar informasi agar tidak mudah disalahgunakan," harapnya.

Partai Politik Masih Cuek Penyandang Disabilitas

Berdasarkan data Pemilu 2019 lalu, sebanyak 40 penyandang disabilitas terdaftar sebagai caleg, berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai ragam disabilitas, di antaranya tunanetra hingga pengguna kursi roda. Mereka didukung dari beberapa partai politik, yaitu PSI, Nasdem dan Perindo, berasal dari Sulawesi, Yogyakarta, Jawa Barat, Aceh, hingga Papua.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2019, terdapat 1.247.730 pemilih penyandang disabilitas, yang terdiri dari 83.182 tunadaksa, 166.364 tunanetra, 249.546 tunarungu, 332.728 tunagrahita dan 415.910 penyandang disabilitas lainya.

Keikutsertaan penyandang disabilitas sendiri juga diatur dalam aturan KPU terkait Keikutsertaan Penyandang Disabilitas. Pada Pasal 49 Ayat 5, Peraturan KPU No. 23 Tahun 2018 Tentang Kampanye Pemilihan Umum, KPU memberikan akses bagi penyandang disabilitas dalam penyelenggaraan debat pasangan calon.

Pasal 19 ayat 2, Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2018 Tentang Norma, Standar, Prosedur, Kebutuhan Pengadaan dan Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum, disebutkan TPS harus memberikan kemudahan akses bagi penyandang disabilitas.

Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2), Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Legislatif Pemilu 2019. Syarat calon mampu secara jasmani dan rohani tidak menghalangi penyandang disabilitas.

Meski telah dijamin dan diatur, namun menurut pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin Ujang, presentasi peran partai politik untuk mendukung penyandang disabilitas dalam pencalonan legislatif masih kecil. Hal itu dikarenakan masih banyak partai politik yang belum memberikan perhatian kepada kalangan disabilitas, terutama dalam mendukung disabilitas untuk maju sebagai caleg.

"Masih kecil ya, masih belum kelihatan kok, persentase partai politik masih cuek-cuek aja untuk mendukung penyandang disabilitas dalam pencalonan legislatif," kata Ujang kepada Parboaboa saat dihubungi, Kamis (29/6/2023).

Direktur Indonesia Political Review (IPR) itu menjelaskan terkait partisipasi penyandang disabilitas tidak lepas dari fasilitas dan aksesibilitas dalam Pemilu. Karena itu fasilitas dan aksesibilitasnya harus disediakan.

"Jadi penyandang disabilitas harus mendapatkan tempat tersendiri sehingga itu menjadi penting bagi para penyandang disabilitas," ujarnya.

Bahkan, dalam mendorong partisipasi politik penyandang disabilitas ini, katanya bukan hanya dari dua hal itu saja, akan tetapi juga dari dukungan pemerintah serta pihak-pihak lain termasuk partai politik.

"Supporting dari pemerintah dan pihak lain untuk mendorong mereka bisa berpartisipasi dan aktif di dunia politik, mungkin terkait dengan pemberian anggaran kepada mereka," ungkapnya.

Selain itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa penyandang disabilitas bisa mendapatkan pendidikan politik yang layak, agar mereka bisa menjadi caleg yang mumpuni untuk bersaing dalam kontestasi di Pemilu.

Menurutnya, butuh usaha-usaha yang keras dari banyak stakeholder pemilu seperti DPR, pemerintah, partai politik hingga KPU untuk membangun kesadaran dengan pendidikan politik yang konsisten dan berkelanjutan.

Salah satu indikator keberhasilan peran aktif pemerintah dalam meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas, katanya, yaitu dengan melihat dari segi kuantitas penyandang disabilitas menjadi caleg.

"Kita bisa melihat kuantitasnya, berapa ribu penyandang disabilitas terus berapa yang menjadi caleg. Lalu di daerah tersebut berapa ratus penyandang disabilitas dan berapa yang menjadi caleg," jelasnya.  

Apabila jumlah tersebut masih sedikit maka pemerintah dianggap tidak sukses. Apabila kuantitasnya besar maka pemerintah dianggap sukses meningkatkan partisipasi para penyandang disabilitas.

"Jadi titik poin ada di jumlah karena itu menjadi salah satu indikator untuk bisa melihat sukses atau tidaknya peran aktif pemerintah dalam meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas," tegasnya.

Laporan ini merupakan bagian ketiga dari liputan khusus ‘Caleg minoritas’.

Reporter: Hasanah Syakim

Editor : Tonggo Simangunsong

Tag : #caleg minoritas    #caleg grassroots    #liputan unggulan    #pemilu 2024    #money politic    #partai buruh    #berita unggulan   

BACA JUGA

BERITA TERBARU