parboaboa

Sengketa Lahan Rumpin: Adu Legalitas di Tanah Moyang

TIM Parboaboa | Liputan Unggulan | 09-11-2023

Konflik sengketa lahan antara masyarakat Desa Sukamulya dan TNI AU Atang Sendjaja Kabupaten Bogor masih berlangsung meski sudah belasan tahun. (Foto: PARBOABOA/Hari Setiawan)

PARBOABOA, Jakarta - Ridwan (41) masih tak habis pikir dengan kengototan TNI AU yang mengeklaim sepihak lahan seluas 1.000 hektare (ha) di Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor.

Padahal, lahan tersebut merupakan warisan para leluhur yang sudah sejak lama ditempati masyarakat setempat, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.

Menurut warga Kampung Cilangkap itu, warga punya sejumlah bukti kepemilikan, mulai dari registrasi buku tanah atau leter c desa, surat girik, hingga sertifikat hak milik.

Legalitas itu diperoleh melalui proses pendataan tanah di desa sesuai ketentuan undang-undang pokok agraria tahun 1960. 

"Persentasenya mungkin ada sekitar 80 persen, ada yang akta tanah, ada yang masih girik," ceritanya saat ditemui PARBOBOA di kediamannya, Kamis (2/11/2023) lalu.

Berbekal hasil pendataan tadi, warga 18 kampung di lahan yang kini dipersengketakan bahkan rutin memenuhi kewajiban mereka membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) tiap tahunnya.

Sementara itu, TNI AU tidak mempunyai alas hak yang kuat. Mereka tak mampu menunjukkan bukti kepemilikan sebagai basis klaim atas 1.000 ha lahan di Sukamulya.

TNI AU berdalih bahwa lahan yang diklaim merupakan warisan kolonial Jepang, sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Perang tahun 1950.

TNI AU Atang Sendjaja Kabupaten Bogor Mengklaim 1.000 ha tanah di Desa Sukamulya Kecamatan Rumpin. (Foto: PARBOABOA/Hari Setiawan)

Awal Oktober lalu eskalasi polemik kepemilikan lahan di Desa Sukamulya antara TNI AU dan warga kembali mencuat. Sempat terjadi ketegangan. Pemicunya adalah pengukuran oleh TNI AU di atas lahan yang menjadi objek sengketa.

Ridwan menilai, surat keputusan yang digunakan TNI AU sebagai dasar hukum punya kelemahan. Sebab, dokumen tersebut tidak merujuk pada ketentuan hukum agraria yang berlaku dan tidak ada pula tinjauan sosiologis dan historis tanah di daerah Sukamulya.

"Ini satu pihak mengeklaim mengakui tanpa memiliki alas hak apalagi bukti sejarah yang kuat," ungkapnya.

Masalahnya makin rumit karena TNI AU mendaftarkan lahan 1000 ha itu ke Kementerian Keuangan sebagai aset negara pada 2009. Padahal, saling klaim kepemilikan antara warga dan TNI AU belum tuntas. 

Maman Sumanta (74), Ketua Panitia Kerja (Panja) Agraria Desa Sukamulya, melihat kerancuan di balik sikap ngotot TNI AU.

"Dari tahun 2007 sampai hari ini belum ada penyelesaian konflik secara hukum," kata Maman kepada PARBOBOA, Kamis (2/11/2023).

Ia mempertanyakan tujuan di balik klaim TNI AU, yang meski tak didukung alas hak kuat tetapi tetap melakukan inventarisasi aset ke Kemenkeu.

Maman keberatan jika dasar yang digunakan TNI AU adalah Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Perang tahun 1950. Sebab, merujuk SK Menteri Agraria tanggal 28 Desember 1960, lahan yang diperlukan oleh TNI AU hanya seluas 36,600 Ha.

"Hanya 36 hektare sekian itu, kalau kita mengacu kepada Keputusan Menteri Agraria," ungkapnya.

Lahan Desa Sukamulya yang diklaim oleh TNI AU Atang Sendjaja Bogor. (Foto: PARBOABOA/Hari Setiawan)

Merujuk rencana pemanfaatan lahan dari total 1000 ha yang diklaim TNI AU, sebagian besar digunakan untuk pertanian warga, yakni 205,98 ha untuk pertanian darat dan 198,10 ha digunakan untuk lahan persawahan.

Sisanya digunakan untuk permukiman seluas 397,10 ha; lahan perkantoran termasuk Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Detasemen Bravo seluas 74,75 ha; serta prasarana umum seluas 109,47 Ha.

Kemudian, ada 39,80 ha yang digunakan untuk perumahan; 8,20 ha untuk pemakaman umum; 36,60 ha digunakan untuk lapangan terbang; dan 16 ha yang dijadikan aset pemerintah daerah.

Klasifikasi penggunaan tanah tersebut, kata Maman, membuat warga Desa Sukamulya khawatir. Perubahan peruntukan lahan dapat berdampak bagi penduduk di sana yang mayoritas menggantungkan hidup di pertanian. 

"Jadi Atang Sanjaya jangan main klaim 1.000 hektare saja kan gitu, ada masyarakat yang sudah memiliki surat hak milik minimal AJB," ungkap Maman.

Maman berharap, TNI AU merevisi inventaris kekayaan milik negara di Kemenkeu dengan register 50503007 seluas 449,2490 ha, dan register 50503008 seluas 550 ha.

Ia tak menampik bahwa hal ini memang tak mudah dilakukan tanpa keterlibatan dan kolaborasi sejumlah pemangku kepentingan.

"Beberapa menteri itu bisa duduk bersama, bisa dibawa ke rapat-rapat menteri atau rapat kabinet. Bisa juga melalui DPR Komisi I atau II dan Komisi XI," katanya.

Sementara itu, Kepala Desa Sukamulya, Ihwan Nur Arifin, tak bisa bicara banyak soal polemik lahan di wilayahnya. Ia baru saja menjabat enam bulan sebagai kepala desa Sukamulya lewat pergantian antarwaktu (PAW).

Meski demikian, ia ingin memastikan agar hak warga desanya bisa diakui negara tanpa dibayangi intimidasi dan tindakan represif aparat.

"Di sini ada tanah ulayat yang punya alasan dan bukti hak sedangkan TNI AU hanya berdasarkan inventaris aset negara," terang Arifin kepada PARBOABOA, Senin (6/11/2023).

Pada 10 Oktober 2023 lalu, Arifin dan beberapa delegasi masyarakat sempat menemui Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon. Kunjungan tersebut bertujuan untuk membahas perkembangan kasus ini. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut dari pertemuan itu.

Arifin mengatakan, warga Sukamulya tak akan berhenti memperjuangkan hak atas tanah yang sudah mereka tempati secara turun temurun hingga lima generasi.

"Ini menyangkut hajat hidup orang banyak, masyarakat ingin persoalan ini segera diselesaikan," kata Arifin.

Gejolak Perlawanan

Masyarakat Desa Sukamulya Rumpin Kabupaten Bogor melakukan orasi menolak keras 1.000 ha lahan yang diklaim TNI AU Atang Sendjaja, Rabu (04/1O/2023). (Foto: Dok Pribadi Junaedi)

Konflik terkait lahan di Desa Sukamulya muncul sejak belasan tahun lalu. Gejolak perlawanan warga Sukamulya pertama kali pecah pada 22 Januari 2007 silam. Saat itu, TNI AU memaksakan pembangunan proyek water training di kawasan tempat tinggal warga.

Proyek tersebut dibangun tepat di atas lahan persawahan warga Kampung Cibitung, seluas kurang lebih 10 Ha. Bagi warga, pembangunan fasilitas water training ini terkesan hanya dalih untuk melakukan pengerukan pasir sedot.

"Kami melakukan aksi demo di persawahan yang menjadi sumber penghidupan," kata Junaedi, koordinator Forum Masyarakat Desa (FMD) kepada Parboboa, Kamis (3/11/2023).

Dia bercerita, sejak aktivitas penggalian pasir berdalih water training itu beroperasi, kondisi Desa Sukamulya mulai tak karuan.

Warga terpaksa harus berdamai dengan jalanan yang rusak. Selain itu,  lalu-lalang kendaraan pengangkut pasir membuat debu tebal kerap mengotori rumah penduduk. 

Aktivitas tambang pasir ini juga berdampak pada berkurangnya pasokan air ke lahan persawahan. Pasalnya, galian water training yang dibuat jauh lebih dalam dari sumur-sumur warga sekitar.

Ditambah lagi dengan pembangunan perumahan dan Mako Den Bravo, yang telah mengakibatkaan tertimbunnya sumber pengairan sawah di Kampung Malahpar dan Cibitung.

Menurut Junaedi, siklus pertanian sawah mengalami penurunan intensitas. Dulu penduduk bisa panen 3 kali dalam setahun. Kini, kata Junaedi, hasil pertanian hanya bisa dipanen satu sampai dua kali saja dengan mengandalkan tadah hujan.

Tumpukan masalah itulah yang kemudian berpuncak pada aksi unjuk rasa pada 2007 di tambang pasir. Saat itu, warga yang memprotes pengerukan pasir diadang pasukan TNI AU. 

Situasi tak terkendali. Warga tetap ngotot menerobos masuk ke area tambang. Sementara aparat dengan peralatan lengkap berusaha membubarkan massa. Bentrok pun pecah. Sukamulya seketika mencekam.

Junaedi mengenang, banyak warga saat itu yang ditangkap, diculik dan disiksa. Bahkan, ada juga yang terkena tembakan. Warga yang terluka dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.

"Bahkan orang yang bersuara dalam hal itu itu diculik, diculik ke rumahnya lalu dianiaya entah di mana dianiayanya itu, setelah itu dia dibawa ke polsek dengan kondisi yang sudah terluka babak belur," cerita Junaedi.

Konflik mulai mereda setelah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) bersama KontraS dan Walhi mendatangi komisi II DPR RI. Mereka mendesak personil TNI AU menghentikan tindak kekerasan terhadap warga Sukamulya.

Selama beberapa tahun selepas bentrok, warga Sukamulya kerap mendapat intimidasi. Warga yang membangun usaha dihentikan secara paksa. Para pemilik tanah juga disomasi tanpa alasan jelas.

Pembentukan Tim Verifikasi Lahan

Badan Pertanahan Nasional (BPN) menganggap status tanah Desa Sukamulya masih dalam sengketa. (Foto: PARBOABOA/Hari Setiawan)

Pada tahun 2012 lalu, upaya penyelesaian kasus ini sempat dilakukan dengan membentuk tim verifikasi lahan yang melibatkan masyarakat, TNI AU, BPN Kabupaten Bogor hingga Camat Rumpin.

Verifikasi dilakukan terhadap informasi sejarah dan dokumen yang dimiliki warga dan TNI AU. Hasilnya, TNI AU hanya memiliki tanah seluas 36,6 ha yang merupakan lapangan udara peninggalan tentara Jepang.

Kemudian ditambah 24 ha lahan untuk perumahan prajurit dan 19 ha lahan untuk water training yang dibeli dari warga seharga Rp 5000 per meternya. 

"Warga merelakan 24 ha dan 19 ha yang dibeli AU walaupun ada unsur tekanan," ungkap Junaedi.

Namun hingga kini, kesepakatan tersebut tidak diindahkan TNI AU. Lahan seluas 1.000 Ha yang diinventarisasi sebagai aset negara belum juga direvisi.

Hal ini, kata Junaedi, membuat warga tidak bisa mengurus sertifikat tanah. Sebab, Badan Pertanahan Nasional (BPN) menganggap status tanah Desa Sukamulya masih dalam sengketa. 

Junaedi mendesak TNI AU untuk berkomitmen kepada hasil verifikasi yang melibatkan semua pemangku kepentingan. TNI AU juga diminta mencabut inventaris lahan yang sudah didaftarkan ke Kemenkeu pada 2009.

"Kami menyampaikan kepada Lanud Atang Sendjaja untuk mencabut dua register yang didaftarkan di Kementerian Keuangan Tahun 2009 itu," tegas Junaidi.

Lanud Atang Sandjaya Enggan Buka Suara

Pangkalan TNI AU Atang Sendjaja Di Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor. (Foto: PARBOABOA/Hari Setiawan)

Sementara itu, TNI AU memilih tak berkomentar soal kasus ini. Pada Senin (6/11/2023) lalu, reporter PARBOABOA menyambangi pangkalan TNI AU Atang Sendjaja untuk meminta klarifikasi.

Setelah hampir dua jam menunggu, staf Komandan Lanud Atang Sendjaja datang. Ia menyampaikan bahwa pihak Lanud tidak bisa memberikan keterangan terkait konflik tanah di Sukamulya.

Ia berdalih kewenangan memberikan keterangan ada di pimpinan. Namun, surat tugas PARBOBOA tetap diambil dengan alasan akan dihubungi kemudian hari.

Konflik ini juga mendapat perhatian serius dari  Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor. Kepala Kantor Wilayah BPN Bogor, Yuliana mengatakan, instansinya masih mencari pembuktian alas hak dan status hukum yang menjadi dokumen resmi terkait asal muasal lahan di Sukamulya.

"Kita mencoba menatanya ini dengan meletakkan riwayat sejarah dari keperdataan, pertanahan dari tanah tersebut gitu," kata Yuliana pada Senin (6/11/2023).

Menurutnya, dari data sementara yang diperoleh, status lahan tersebut awalnya merupakan eigendom. Artinya, kata dia, lahan yang disengketakan itu awalnya adalah tanah negara.

Eigendom verponding merupakan produk hukum agraria mengenai hak kepemilikan tanah yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda, di era kolonial.

"Itu awalnya dari eigendom artinya status tanahnya adalah tanah negara, dan hal itu bukan menurut saya akan tetapi menurut data yang ada," papar Yuliana.

Dari eigendom itu nanti akan bisa ditelusuri terkait status lahan yang sekaligus menjadi dasar pertimbangan sebelum mengambil keputusan.

"Nah jadi, kita dudukkan dulu, kalau memang sudah dikuasai negara misalnya dalam hal ini TNI AU, landasan pacu segala macam, itu mungkin yang diawalkan dulu diselesaikan," ungkapnya.

Yuliana menjamin pihaknya akan melakukan identifikasi secara obyektif tanpa memihak. 

"Kita tidak mengabaikan masyarakat akan tetapi kita terus berusaha dengan apapun yang kita lakukan itu untuk masyarakat," katanya.

Penyelesaian konflik agraria ini, kata Yuliana, tak bisa hanya mengandalkan BPN. Perlu pelibatan sejumlah pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, TNI AU, Gugus Tugas Reforma Agraria, serta pihak desa. 

Menurutnya, BPN hanya melaksanakan tugas dan wewenang yang sudah diberikan oleh negara untuk membantu masyarakat dalam hal administrasi legalisasi tanah.

"Jika ada masalah, bukan di level kita yang bisa menyelesaikan, mungkin solusi dari pemerintah yang duduk bersama," kata Yuliana.

Harapan terhadap Intervensi Presiden

Bentuk orasi masyarakat Desa Sukamulya agar TNI AU Atang Sendjaja mengembalikan tanah yang diklaim. (Foto: PARBOABOA/Hari Setiawan)

Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin mengatakan, intervensi presiden dalam kasus ini sangat diperlukan. Mengingat, TNI AU mempunyai kewenangan yang terbatas untuk mengambil keputusan.

"Pengambil keputusannya tidak berada di TNI AU, tidak ada juga di Kementerian Agraria, namun berada di Kementerian Pertahanan dan Presiden sendiri," kata Iwan kepada PARBOBOA, Minggu (5/11/2023).

Bagi Iwan, hal ini hanya bisa dilakukan jika pemerintah punya komitmen serius. Ia mendesak pembahasan persoalan tanah di Desa Sukamulya diagendakan khusus dalam rapat kabinet. Pemerintah, menurutnya, juga perlu mempertemukan warga Sukamulya dan TNI AURI.

Pada prinsipnya, kata dia, proses penyelesaian konflik tersebut mesti memenuhi unsur keadilan, tak hanya bagi TNI AU tetapi juga bagi warga Sukamulya.

"Karena kedua-duanya adalah kepentingan negara kita ya keputusannya ya dari kepala negara," terangnya.

Menurutnya, konflik ini tidak boleh dibiarkan berlarut demi meredam gejolak horizontal yang terjadi antara masyarakat dan TNI AU. 

Pemerintah juga perlu mengidentifikasi secara cermat status kepemilikan lahan tersebut dengan mempertimbangkan dokumen-dokumen hukum dan bukti historis sebagai alas hak kedua pihak.

"Jika klaim masyarakat disertai dengan bukti-bukti yang kuat, nah kemudian TNI AU tidak memiliki bukti-bukti yang kuat ya maka harus diserahkan kepada masyarakat," kata dia.

Hasil identifikasi tersebut nantinya akan menjadi dasar pertimbangan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah strategis yang tidak merugikan kedua pihak.

Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), terus mendorong proses penyelesaian konflik dilakukan secara transparan dengan melibatkan berbagai pihak.

“Yang terus kita dorong adalah pertemuan-pertemuan dengan pihak-pihak yang bersengketa, baik dari warga maupun TNI AU,” kata Divisi Hukum KontraS, Ihyaroza Yahya, kepada PARBOABOA, Selasa (7/11/2023). 

Ihyaroza juga mendesak Komnas HAM untuk terlibat menginvestigasi kasus ini. Ia berpendapat, persoalan tanah di Desa Sukamulya telah menyangkut hak hidup, hak tinggal dan hak untuk memperoleh rasa aman warga Sukamulya. 

“Komnas HAM perlu turun investigasi secara langsung terkait fenomena yang terjadi di Rumpin,” ungkapnya.

Reporter: Hari Setiawan

Editor : Andy Tandang

Tag : #sengketa lahan    #bogor    #liputan unggulan    #desa sukamulya    #tni au lanud atang sendjaja bogor    #kampung cilacap   

BACA JUGA

BERITA TERBARU