PARBOABOA - Setiap harinya teknologi terus mengalami perkembangan dan pembaruan. Terlebih lagi perkembangan smartphone yang terus memperbarui fitur-fitur untuk menarik konsumen. Tentunya dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas.
Layar smartphone dilengkapi dengan berbagai fitur, seperti kunci layar, panggilan telepon darurat, hingga pintasan aplikasi.
Kunci layar atau lockscreen smartphone saat ini sudah canggih dengan dapat menggunakan kode angka atau huruf, menganalisis sidik jari, hingga memindai biometrik wajah.
Baru-baru ini negara Jepang mengeluarkan inovasi teknologi untuk membuka lockscreen smartphone dengan napas manusia. Bagaimana fitur ini bekerja?
Tidak bisa dipungkiri, sejumlah smartphone, seperti iPhone 12 atau versi lebih baru mendukung kerja pengenal wajah (Face ID) meski sedang memakai masker. Namun, hal ini juga berarti tingkatan keamanannya berkurang.
Untuk itulah, sekelompok peneliti dan mahasiswa mencoba meneliti solusi baru untuk mengidentifikasi dan membantu buka kunci smartphone. Meski tampaknya cara baru ini menarik, ada banyak kesulitan teknis dalam implementasinya.
Belum lama ini, peneliti di Kyushu University dan University of Tokyo Jepang menghadirkan metode baru untuk membuka smartphone, di mana pengguna hanya perlu bernapas.
Untuk mengerti bagaimana metode ini berjalan, kita perlu berkenalan dengan beberapa istilah. Misalnya ada yang disebut "hidung elektronik" atau electronic nose yang menggunakan sensor penciuman.
Dengan begitu teknologi bisa menganalisis berbagai bau di udara dan secara akurat mengidentifikasi komponen bau tersebut.
Dalam industri makanan, hidung elektronik dapat digunakan untuk mendeteksi makanan mana yang digunakan dan apakah rasanya enak atau tidak.
Menurut temuan para peneliti, komposisi nafas yang diembuskan manusia ternyata sangat kompleks.
Bahkan ketika orang makan, komponen nafasnya akan berubah. Kendati begitu, berdasarkan penelitian, nafas setiap orang memiliki ciri khas yang unik.
Oleh karena itu, para peneliti menilai bahwa nafas yang diembuskan manusia bisa dimanfaatkan untuk mengidentifikasi beberapa penyakit termasuk diabetes, atau otentikasi biometrik.
"Bau manusia muncul sebagai kategori baru otentikasi biometrik, yang pada dasarnya menggunakan komposisi kimia unik Anda untuk mengonfirmasi siapa Anda," kata Chaiyanut Jirayupat, penulis utama studi, dikutip dari Scienceblog, Jumat (30/9/2022).
Peneliti menemukan ada setidaknya 28 senyawa dalam setiap embusan nafas. Adapun sensor bau yang digunakan pada penelitian ini, memiliki 16 saluran dan setiap salurannya digunakan untuk mengidentifikasi beberapa bau.
Data dari sensor itu kemudian diteruskan ke machine learning untuk dianalisis komposisi kimia dari nafas setiap orang. Sehingga dapat menyusun profil yang akan dipakai untuk membedakan setiap individu.
Tingkat akurasi pengenal nafas ini diklaim mencapai 97,8 persen. Angka ini cukup mendekati tingkat akurasi sistem pemindai sidik jari maupun pengenal wajah.
Pengenal wajah memiliki tingkat akurasi sampai 99,97 persen, sementara pemindai sidik jari tingkat akurasinya 98,6 persen.
Namun, skala penelitian ini dianggap masih terlalu kecil. Dengan kata lain, teknologi ini belum akan diterapkan dalam waktu dekat.