PARBOABOA, Jakarta - Delapan tahun silam, Surya Paloh pernah berjanji akan mengevaluasi keberadaan Partai NasDem bila kadernya terjerat korupsi.
Komitmen Paloh kala itu diucapkan di hadapan para calon legislatif (caleg) Partai NasDem di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, Senin (3/6/2015).
Bagi Paloh, korupsi tak hanya menjadi musuh bangsa, tetapi juga musuh utama partai yang perlu dibasmi. Ia tak ingin kader-kadernya terperangkap dalam pusaran rasuah setelah kekuasaan didapuk.
Komitmen ini bahkan mendorong Paloh untuk dengan tegas mengatakan, “tidak layak Partai NasDem dipertahankan” jika para kadernya terjebak sengkarut korupsi.
Sebagai partai yang masih seumur jagung saat itu, ketegasan sikap Paloh tentu menjadi angin segar bagi peradaban partai politik yang kerap diterpa persoalan korupsi.
Beberapa bulan setelahnya, janji Surya Paloh diuji. Tepat pada Kamis (15/10/2015), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal Partai NasDem, Patrice Rio Capella, sebagai tersangka.
Rio saat itu terbukti menerima hadiah dari Gubernur nonaktif Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, dan istrinya, Evy Susanti, untuk mengamankan kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial di Kejaksaan Agung.
Oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rio divonis satu tahun enam bulan penjara dan diwajibkan membayar denda sebesar Rp50 juta subsider satu bulan kurungan.
Saat itu, ingatan publik tertuju pada janji Paloh yang ingin membubarkan Partai NasDem jika kadernya terseret kasus korupsi. Sayangnya, janji tersebut belum juga tergenapi. NasDem tetap eksis melenggang.
Politikus NasDem, Luthfi Andi Mutty, sempat berdalih bahwa pernyataan Paloh berlaku jika kader melakukan korupsi terstruktur dan masif di internal partai. Menurutnya, kasus korupsi Rio tidak ada kaitannya dengan partai.
Delapan tahun kemudian, janji Paloh lagi-lagi diuji. Tepat pada Selasa (17/5/2023), Sekjen NasDem, Johnny G Plate, ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus korupsi Base Transceiver Station (BTS) 4G Kominfo.
Plate ditetapkan tersangka atas perannya selaku Menteri Kominfo sekaligus kuasa pengguna anggaran (KPA) proyek tahun jamak 2020-2025 senilai Rp 10 triliun.
Sebulan berselang, Plate didakwa merugikan negara Rp8 triliun dalam kasus dugaan korupsi penyediaan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1-5 Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).
Untuk kedua kalinya, Sekjen NasDem tersandung kasus korupsi. Paloh lagi-lagi enggan berkomentar terkait janjinya membubarkan partai yang lekat dengan slogan 'Restorasi Indonesia' itu.
Ia hanya menyinggung soal intervensi politik dan kekuasaan setelah Plate ditetapkan sebagai tersangka. Paloh juga sempat mengaku kasus yang menimpa Plate menjadi pukulan berat bagi partainya.
Kasus yang menyeret Johnny G Plate belum juga kelar, kini NasDem harus kembali menelan pil pahit.
Salah satu kader terbaiknya, Syahrul Yasin Limpo, diduga terlibat kasus korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan).
Pada Minggu (2/10/2023), KPK melakukan penggeledahan rumah dinas Menteri Pertanian itu yang terletak di Kompleks Widya Chandra, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
KPK menyita sejumlah barang bukti berupa uang tunai puluhan miliar dalam bentuk rupiah hingga mata uang asing.
Kabar teranyar pun beredar bahwa Syahrul Yasin Limpo telah ditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga antirasuah itu.
Setelah sejumlah elit partai yang terseret kasus korupsi, apakah Surya Paloh masih komit dengan janjinya membubarkan NasDem?
Hanya Retorika Politik
Pakar Politik Universitas Nasional (Unas), Prof. Massa Djafar menilai, Surya Paloh seharusnya tak perlu melontarkan narasi semacam itu. Tetapi sebagai sebuah retorika politik, hal ini adalah sesuatu yang biasa.
"Pak Surya Paloh tidak perlu ngomong kalau ada yang korupsi partai dibubarkan, tapi itu lebih kepada retorika untuk meyakinkan publik," ungkap Prof. Djafar kepada PARBOABOA, Kamis (5/10/2023) malam melalui sambungan telepon.
Menurut Djafar, akan lebih elegan jika Surya Paloh melakukan audit internal untuk melacak pejabat-pejabat partai yang nakal dan berada di pusaran korupsi.
Hal ini penting dilakukan, untuk menunjukkan bahwa Partai NasDem sesungguhnya memiliki political will dalam memberantas korupsi mulai dari internal partai itu sendiri.
"Lebih bagus secara diam-diam audit itu pejabat-pejabat di lingkungan NasDem yang menyolok, lalu diperiksa pertanyakan dari mana hartamu. Itu lebih 'cantik', untuk menunjukkan bahwa political will-nya memang sungguh-sungguh," ungkap Djafar.
Bagi Djafar, narasi membubarkan partai jika ada kadernya yang terjerat korupsi seperti yang diucapkan Paloh adalah sesuatu yang tidak relevan lagi.
Komitmen membasmi korupsi, kata dia, mesti diaktifkan melalui pembenahan ke dalam dengan membuat sejumlah regulasi yang setidaknya bisa meminimalisir peluang para kader untuk melakukan korupsi.
"Malah nggak relevan, kalau mau ya tunjukkan aja komitmen. Atau dia semakin ketat ke dalam internal partai, apakah itu membuat satu aturan main yang lebih keras, atau bisa juga buat kerja sama dengan aparat hukum. Lebih bagus begitu, bukan saja partai ini mau dibubarkan," kata Dajafar.
Djafar mengingatkan agar publik tidak perlu terkeco dengan narasi Surya Paloh. Alumnus Universiti Kebanggaan Malaysia (UKM) itu bahkan menantang Paloh untuk berani bersuara dan mendorong aparat penegak hukum mengusut partai-partai lain.
Menurut Djafar, banyak kader-kader dari partai lain yang juga terjerat kasus korupsi, seperti tersangka kasus suap Harun Masiku, yang sudah tiga tahun menjadi buronan dan belum juga berhasil ditangkap hingga saat ini.
Selain itu, ia juga menyinggung soal gagalnya program food estate atau lumbung pangan dengan anggaran ratusan triliun yang merupakan tanggung jawab Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.
Hal ini, kata Djafar, mestinya menjadi perhatian Surya Paloh agar bisa menunjukkan ke publik bahwa persoalan tersebut perlu diusut oleh penegak hukum dengan tidak tebang pilih.
"Justru yang kita tuntut itu, Pak Surya Paloh sebagai ketua partai berani nggak tuntut juga partai lain. Kan dia bisa bilang kenapa hanya kader-kader kami yang terus menjadi sasaran, sedangkan banyak juga kader-kader partai lain," kata Djafar.
Bahkan, kata Djafar, ada petinggi partai yang kasusnya disandera, tidak dibuka ke publik tetapi harus loyal terhadap penguasa.
"Kenapa nggak itu yang dipersoalkan. Tapi kalau bubar partai justru lucu, bukan itu akar masalahnya. Itu logikanya kan. Kalau partainya isinya korup semua, negara ini dibubarkan sekalian," tegas Djafar.
Semantara itu, pengamat politik Maksimus Ramses Lalongkoe mengatakan, ucapan Surya Paloh hanya sebagai narasi politik masa lalu.
"Kalau dilihat dari kondisi saat ini, itu menandakan pernyataan Paloh dulu hanya narasi politik sebab buktinya NasDem belum dibubarkan oleh Paloh," kata Ramses kepada PARBOABOA, Kamis (6/10/2023) malam.
Menurut Ramses, dengan tetap eksisnya NasDem sebagai partai politik hari ini, hendak menandakan bahwa Paloh tidak komit dengan ucapannya.
"Sepertinya demikian, Paloh tidak komit dengan janjinya," kata Ramses.
Ramses mengapresiasi bahwa Paloh berkeinginan untuk melakukan pembenahan partai dengan menertibkan para kader yang nakal, namun hal ini, kata dia, bukanlah perkara yang mudah.
"Perlu ada keseriusan dari internal partai itu sendiri," ungkap Direktur Eksekutif Lembaga Analisis Politik Indonesia itu.