PARBOABOA, Jakarta - Budayawan kondang, Butet Kartaredjasa, kini harus berurusan dengan polisi buntut pantunnya yang diduga menghina Presiden Jokowi.
Sang seniman berdarah Jogja itu, dinilai mengeluarkan umpatan kepada kepala negara kala memberikan orasinya di panggung rakyat Ganjar-Mahfud, di Kulonprogo, Minggu (28/1/2024).
Secara garis besar, pantun Butet berisi kritikannya terhadap praktek bernegara yang ia nilai mengalami kegagalan besar di era pemerintahan Presiden Jokowi.
Ia mengkritik kegagagalan revolusi mental, penguasa bertuankan konglomerat, pengangkangan konstitusi dan keperpihakan rezim kepada salah satu pasangan calon (Paslon) di pilpres.
Pada bagian lain, ia menggambarkan Jokowi sebagai sosok yang hanya bisa membagikan sembako rakyat, kontras dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri yang menurutnya konsisten menjaga keselamatan negara.
Di luar pantunnya, Butet juga disinyalir mengeluarkan kata-kata tak wajar yang mengarah ke presiden, yakni asu dan wedus.
Dalam bahasa Jawa, dua kata ini merupakan bentuk hinaan, karena menyebut manusia dengan sebutan asu yang berarti anjing dan wedus yang berarti kambing.
Kritikan berbalut karya sastra inilah yang menurut pelapor, yakni relawan Pro Jokowi (Projo), Butet Kertaradjasa terang-terangan melakukan penghinaan terhadap presiden.
Tak hanya Projo, pelaporan juga dilayangkan oleh relawan Jokowi lain di Jogja seperti, Jokowi Arus Bawah dan Sedulur Jokowi.
Didampingi oleh Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo-Gibran DIY, para relawan dalam laporannya menilai, Butet telah melakukan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan di depan umum.
Mereka juga menyayangkan pantun Butet, karena tidak menonjolkan keunggulan pasangan calon yang didukung, malah menyerang dan menghina orang lain.
Imajinasi tidak bisa dipenjara
Pantun budayawan Butet, dinilai oleh Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud sebagai refleksi terdalam atas kondisi demokrasi yang memprihatinkan belakangan.
Melalui karya sastra, sejumlah ketidakberesan itu dilukiskan melalui karya-karya imajinatif. Dalam konteks demokrasi, Jubir Muda TPN Ganjar-Mahfud, Yogen Sogen mengatakan, imajinasi tidak bisa dipenjarakan.
Sebab, selain karena punya tafsir yang luas, melalui imajinasi tersebut, ada semacam permenungan intim terhadap kondisi faktual demokrasi. Itulah yang membuat Yogen menyayangkan pelaporan yang dilayangkan oleh Projo terhadap budayawan Butet Kartaredjasa.
"Imajinasi tidak bisa dipenjarakan, tafsirnya luas. Pantun Mas Butet adalah refleksi terdalam atas benturan peristiwa yang dialami. Ia lahir dari imajinasi. Sekali lagi imajinasi tidak bisa dipenjarakan," tegas Yogen kepada PARBOABOA, Rabu (31/1/2024).
Menurut Yogen, apa yang dialami oleh budayawan Butet hanya mengulang kembali tragedi orde baru, dimana sejumlah sastrawan menjadi incaran penguasa karena kritikan-kritikan mereka yang tajam.
Ia mengatakan, pola ini kembali dimainkan karena penguasa, dengan kontrol luas terhadap demokrasi yang ia miliki merasa terusik dan terganggu.
"Seperti Penyair Wiji Thukul dan sastrawan lainnya di zaman orde baru juga diteror karena mengkritik lewat puisi, tapi kebenaran akan menemukan jalannya. Penguasa yang mendominasi selalu terusik jika para seniman, sastrawan dan budayawan sudah mengkritik, artinya situasi sedang tidak baik-baik saja," katanya.
Yogen menegaskan, melalui pantunnya, budayawan Butet Kartaredjasa tak punya maksud lain, selain memastikan tata kelolah demokrasi benar-benar berlandaskan akal dan pikiran yang jernih.
"Kritikan itu untuk menjernihkan akal dan pikiran yang tersesat, Mas Butet sedang mengoreksi dan menginterupsi tabiat penguasa lewat pantun. Sekali lagi, imajinasi tidak bisa dipenjarakan," tegas Yogen.
Pantun Butet Kartaredjasa
Berikut adalah pantut budayawan, Butet Kartaredjasa yang ia sampaikan di acara panggung rakyat Ganjar-Mahfud
Ada kucing nggondol iwak bawal
Aku marah tak lempar sandal
Jokowi maunya revolusi mental
Tapi gagal terjungkal-jungkal
Kucingnya kabur kakinya pincang
Ingin terbang tak bisa melayang
Ngakali survei supaya menang
Pun jika menang karena main curang
Satu satu aku sayang ibu
Dua dua aku sayang ayah
Untunglah jokower merasa ketipu
Penampilannya lugu ternyata licik ngakali mahkamah
Wong edan gondal gandul tanpo cawat
Bagi mereka, tuanku adalah konglomerat
Totkaca tulangnya besi, ototnya kawat
Bagi Ganjar Mahfud, tuanku adalah rakyat
Di sini, ning Kulon Progo, makanan tradisional geblek namanya
Ning Bantul namanya geplak
Seharusnya kita hormati yang memimpin negara
Tapi maaf kita muak karena dia memihak
Di sini keselamatan negara dijaga Megawati
Di sana sembako wira wiri dibagi Jokowi
Padahal sembakonya itu milik kita, duit pajak rakyat, membangun negara, suog
Di sini kita konsisten berdemokrasi
Di sana mereka ramai-ramai mengkhianati konstitusi
Kulon Progo bangga punya bandara, melengkapi Jogja yang istimewa Kita semua berkumpul di sini diikat tali jiwa, terutama Ganjar Mahfud gelorakan Revolusi Cinta